Search

Monday, June 25, 2007

Memilih Sekolah 1

Tahun ajaran 2006/2007 akan segera usai. Para orang tua mulai disibukken mencari sekolah buat anak-anaknya. Yang lulus TK, sibuk mencari SD, yang lulus SD, sibuk mencari SMP, yang lulus SMP, sibuk mencari SMA, yang lulus SMA, sebagian telah lulus Ujian Masuk yang telah diselenggarakan oleh beberapa universitas (misal UGM dan Undip), yang belum berharap-harap cemas menunggu SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Menurutku, para orang tua yang keuangannya pas-pasan, atau yah .. berlebih sedikit, akan berharap anaknya diterima di Universitas Negeri karena selain mutu yang tidak begitu mengecewakan, SPP juga tidaklah sememberatkan seperti universitas swasta dengan mutu yang lumayan bagus.

Tahun ini aku tidak disibukkan kegiatan mencari sekolah karena tahun lalulah aku sibuk menimbang-nimbang SMA mana yang akan dimasuki oleh Angie. Alhamdulillah Angie diterima di sekolah impianku (dan juga impiannya, SMA N 3 Semarang). Namun ada seorang rekan kerjaku yang anaknya akan masuk SD tahun ini. Hampir tiap hari tatkala kita berbincang di kantor, tak bosan-bosannya dia bercerita tentang TK tempat anaknya bersekolah yang mata duitan dan tidak memperhatikan mutu.

Dulu dia pernah bilang bahwa baginya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, demi pembentukan sifat dan mental seseorang, orang tua harus (dengan catatan jikalau mampu) menyekolahkan anaknya di TK yang bermutu dan agamis, karena pendidikan TK lah yang akan menjadi dasar bagi seseorang. Itu sebabnya dua tahun yang lalu dia memasukkan anaknya ke sebuah TK Islam yang lumayan terpandang di Semarang, yang terletak tepat di pusat kota Semarang. Biaya masuk dan SPP bulanan yang lumayan mahal (bagi kantong seorang guru, bukan seorang pengusaha atau pegawai kantoran kelas atas) tidak menghalanginya asal anaknya mendapatkan pendidikan dasar yang, well, diharapkannya bermutu dan agamis.

Namun, apakah dia mendapatkan apa yang dia harapkan dan impikan?

“Masak sekolah Islam kok tidak mengajari murid-muridnya mengaji?” komplainnya satu kali.

Memang sangatlah mengherankan, meskipun kemampuan untuk mengaji ini menurutku tidak bisa orang tua mempasrahkannya kepada pihak sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Waktu Angie masih duduk di bangku TK, aku telah memperkenalkannya dengan huruf-huruf Arab dengan mengajarinya membaca QIRAATI atau yang sejenis itu yang kita (di Indonesia) kenal sebagai IQRA. Sehingga ketika di sekolah Angie belajar membaca huruf Arab dari guru-gurunya, Angie tak lagi merasa asing.

Kebetulan waktu itu Angie kumasukkan ke TK Islam, yang masih termasuk kategori sekolah baru didirikan di tahun 1995 itu. Ada dua alasan kuat mengapa Angie kumasukkan di sekolah itu dan tidak di TK Islam yang sudah terkenal yang terletak di pusat kota Semarang itu. Alasan pertama: karena masih sekolah baru, biaya masuk dan SPP bulanan tentu tidak semahal di TK Islam yang telah terkenal tersebut. Alasan kedua: sekolah baru ini terletak dekat dengan rumah, sekitar 300m.

Tatkala Angie duduk di bangku TK, belajar membaca huruf Arab termasuk salah satu pelajaran wajib di sekolah. Sedangkan di TK Islam terkenal dimana temanku menyekolahkan anak sulungnya, membaca huruf Arab merupakan kegiatan ekstra kurikuler. Sekolah mengundang guru mengaji. Satu orang guru mengaji akan mengajari sekelompok anak, dan orang tua anak-anak itu harus iuran untuk membayar guru mengaji tersebut.

Salah satu contoh komersil sekolah swasta menurutku. Istilah yang dipakai adalah “Sekolah membantu para orang tua mencarikan guru mengaji untuk anak-anaknya.” Istilah lainnya, sekolah memiliki bisnis sampingan. Menurutku. Juga menurut temanku itu.

Tatkala aku bertanya apakah orang tua murid lain juga mengeluhkan hal yang sama dengannya, temanku bilang, “Nampaknya tidak. Mereka semua orang kaya yang uangnya berlebih. Tentu mereka tidak keberatan mengeluarkan uang tambahan tiap bulan untuk itu.” BACA => bagi orang miskin jangan bermimpi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta mahal karena memimpikan pendidikan yang bermutu untuk anak-anaknya.

Komplain lain lagi dari temanku adalah tidak adanya kurikulum yang jelas di sekolah. Hal ini dia simpulkan dari jawaban sang guru kelas, “Ya kita lihat saja nanti Pak...” tatkala temanku bertanya kepadanya, “Outputnya nanti diharapkan anak-anak bisa mencapai apa/melakukan apa di akhir semester?”

Selain itu tidak adanya kerjasama antar guru kelas untuk melakukan satu kegiatan setiap hari. Ada empat kelas dengan empat guru yang berbeda. Di satu kelas yang gurunya kreatif menciptakan kegiatan tertentu pada hari-hari tertentu, para murid di kelas itupun akan ikut kreatif belajar melakukan ini itu. Di tiga kelas lain mungkin saja tidak melakukan apa-apa kecuali melanjutkan aktifitas yang belum selesai di hari-hari sebelumnya. Ketika temanku bertanya kepada anaknya, “Kok hari ini kamu menggambar pemandangan lagi?” anaknya menjawab, “Kemarin belum selesai. Ya hari ini dilanjutkan.” Jawaban yang menunjukkan tidak adanya tujuan yang jelas apa yang diharapkan dari anak-anak. Mungkin para guru akan merasa senang tatkala anak-anak belum selesai melakukan satu kegiatan di satu hari sehingga keesokan hari sang guru tak perlu repot mempersiapkan kegiatan apa yang akan dilakukan di kelas.

Kecenderungan sekolah “memanfaatkan” para orang tua yang kebetulan kaya (BACA รจ memiliki mobil) juga terlihat dari beberapa kegiatan yang mengharuskan anak-anak keluar sekolah. Beberapa kali pihak sekolah memberikan alasan, “Karena mobil sekolah tidak ber-AC” atau “Mobil sekolah sedang rusak” untuk kemudian meminta para orang tua murid untuk meminjamkan mobilnya untuk mengangkut anak-anak ke satu tempat, misal: museum.

Jika memang kegiatan keluar sekolah ini telah menjadi agenda rutin dari pihak sekolah, dan masuk dalam kurikulum, seharusnya sekolah selalu siap dengan armada angkutan yang akan membawa anak-anak ke lokasi tersebut.

Puncak kekecewaan temanku adalah tatkala acara perpisahan/pelepasan kemarin. Setiap anak dimintai iuran Rp. 100.000,00. Dengan jumlah uang yang cukup besar ini temanku mengharapkan paling tidak konsumsi yang pantas untuk orang tua murid dan para murid. Namun ternyata tidak. Yang dia dapati hanyalah snack sekedarnya. “Kemana uang yang Rp. 100.000,00 itu?” tanya temanku pada para orang tua murid lain.

“Oh, uang itu dipakai untuk membuat seragam baru para guru agar mereka memakai seragam baru di hari perpisahan ini. Juga untuk memberikan kenang-kenangan kepada para guru, masing-masing guru menerima cincin emas sebesar 2 gram. Dan hal ini telah berlaku selama bertahun-tahun.”

Dan, sekali lagi, bagi para orang tua yang kebanyakan orang kaya, tak satupun komplain. Hanya temanku yang mengeluh.

Satu peringatan bagi orang tua yang tidak memiliki uang berlebih, telitilah sebelum memilih sekolah untuk anak-anak.

PT56 12.42 210607

1 comment:

kritik said...

Loyola tu bukan hanya cukup terkenal, tapi sangat terkenal di Semarang. Loyola kan hampir tiap tahunnya jadi yang terbaik di Semarang berdasarkan ebtanas/uan. Kalau kasih statement jangan asal-asalan