Search

Saturday, February 10, 2007

Perempuan ...

Pernah dengar para perempuan Jepang marah karena disebut sebagai “mesin beranak”?

Kaum feminis menyatakan bahwa menikah, hamil, melahirkan, dan menyusui tak lagi dikategorikan dalam KODRAT perempuan, namun lebih sebagai suatu pilihan dalam hidup. Perempuan TIDAK PERLU merasa HARUS menikah, HARUS hamil, yang konsekuensinya HARUS melahirkan, dan kemudian HARUS menyusui. Perempuan memiliki KUASA PENUH untuk menentukan apa yang ingin dia lakukan dalam hidup ini.

Nampaknya hal ini sangat disadari oleh kaum perempuan di Jepang—suatu negara yang blue film produksinya lebih sering melecehkan kaum perempuan, hanya sebagai pemuas kaum laki-laki, dimana si perempuan digambarkan sangat pasif, lemah tak berdaya di hadapan sang laki-laki yang digambarkan begitu gagah perkasa menguasai ranjang (oh well, Nana yang sok tahu ini cuma baca gambaran tentang ini dalam buku Si Parasit Lajang, if I am not mistaken, dan satu referensi dari seorang teman yang katanya hobby nonton blue film dari berbagai negara, sementara blue film produksi negara-negara Barat kadang mengisahkan si perempuan juga ikut andil aktif dalam adegan ranjang, yang berarti si perempuan itu MENIKMATI si laki-laki, dan tidak hanya pasif DINIKMATI—terbukti dari menurunnya tingkat kelahiran yang cukup drastis sehingga Perdana Menteri Jepang merasa perlu menyerukan kaum perempuan untuk menjadi “mesin beranak” kembali yang kemudian menyulut kemarahan kaum perempuan di Jepang.

Ketika membaca berita tersebut di surat kabar lokal, aku ingat seorang teman yang dilecehkan oleh suaminya karena tubuhnya menjadi gemuk setelah melahirkan. “Kamu tahu ga sih kalau tubuhmu itu memalukan?” kata si suami yang rasanya ingin kupukul kepalanya dengan sepatu bootku yang berhak 7 cm. Pelecehan secara psikologis ini berulang-ulang kali terjadi, dibarengi dengan kekerasan ekonomi—temanku ini tidak diberi uang belanja bulanan oleh suaminya dengan alasan uangnya untuk berbisnis.

Karena mereka beragama Katolik lah sehingga prosedur untuk bercerai menjadi sangat rumit, ketika akhirnya temanku memiliki keberanian untuk menggugat cerai suaminya. Sebagai sesama perempuan—not to mention my being feminist—tentu saja aku mendukung tindakan tersebut.

Namun beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, aku dikagetkan oleh pernyataannya, “Setelah lulus kuliah ini, program berikutnya adalah memberi adik untuk anakku. Setelah itu baru bercerai.” Oh God, kayak ga ada laki-laki lain saja yang lebih pantas untuk menjadi bapak anak keduanya? Mengapa dia masih mau memiliki anak dari laki-laki yang telah melecehkannya sedemian rupa? Yang lebih mengherankan lagi adalah: dia membaca buku-buku feminisme yang juga kubaca yang nota bene dia seharusnya tahu bahwa kaum perempuan berhak mengambil keputusan, menentukan pilihan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya, tanpa harus dibatasi oleh keberadaannya sebagai perempuan.

Apakah pilihan untuk hamil lagi dari laki-laki yang pernah dicintainya dan dipujanya namun kemudian melecehkannya hanya karena tubuhnya yang menjadi lebih gemuk dibanding ketika dia masih gadis adalah pilihan yang masuk akal?

Bagiku TIDAK. Temanku yang katanya seorang feminis ini masih belum mampu melepaskan diri dari belenggu dikotomi gambaran perempuan sebagai a whore and a prostitute.

PT56 21.40 060207

No comments: