Search

Saturday, February 10, 2007

P E T I R

Aku baru saja selesai membaca PETIR, novel Dewi Lestari alias Dee serial Supernova yang ketiga. Too late, huh? LOL. Better late than never, wise people say. (Nana cuma ngeles nih. LOL.) Akhir Mei 2006 yang lalu, aku membeli kumpulan prosa Dewi Lestari yang bertajuk FILOSOFI KOPI dan menyukai pandangan hidup Dee yang tersirat dalam karya-karya yang terkompilasi dalam buku itu. Namun, aku belum juga tergoda untuk membeli buku-buku Dee yang lain. Alasan utama yang pasti adalah: HARGA. LOL. Ga murah harga novel-novel Dee bagiku. Aku sendiri membatasi diri bersedia membeli buku yang berharga di atas Rp. 50.000,00 kalau buku itu tema utamanya adalah tentang feminisme/gender/perempuan. Di luar tema favoritku tersebut, aku mematok harga paling mahal yang mampu menggerakkan hatiku untuk membelinya berkisar antara Rp. 30.000,00 sampai Rp. 35.000,00.
PETIR pertama kali diterbitkan tahun 2004, tidak jelas bulan apa. Namun, pada bulan Mei 2004 aku membeli jurnal PROSA EDISI “Yang Jelita Yang Cerita”, dan ada nukilan cerita PETIR di situ, yang sangat kusukai. (In short, bagi yang belum tahu storyline PETIR, Dee melukiskan—atau menuliskan yah? LOL—konflik yang dialami oleh seorang anak Chinese by blood, tapi pribumi by nature, diramu dengan konflik spiritual d/h agama. (d/h apaan sih Na? Entahlah, cuma ketularan Dee aja nih. Wakakakaka ...)
Adikku membeli PETIR beberapa bulan lalu, dan bercerita sedikit tentang konflik yang ada di dalamnya, yang mengingatkanku pada cerpen Dee yang kubaca tahun 2004 lalu. Saat itu aku belum NGEH juga kalau cerpen yang kubaca di jurnal PROSA tersebut merupakan nukilan novel Dee, yang menunjukkan ternyata aku juga seorang yang telmi. LOL. NOTE: Adikku membeli PETIR setelah diprovokasi seorang temannya, setelah dia juga menikmati membaca karya-karya Dee dalam buku FILOSOFI KOPI (hasi pinjam dari kakaknya—aku—tentu saja. LOL.)
Mengapa aku tidak segera ngecek di jurnal PROSA waktu itu? Oh well, hal ini disebabkan terjadi masalah teknis. LOL. Aku sekarang tinggal di satu singgasana yang sering kupaksatulis PT56, sedangkan bukuku tersebut tertinggal di singgasana yang lain, dimana aksesku ke situ ga begitu bagus. LOL.
Dan hari ini aku baru saja selesai membaca PETIR. Lha kok akhirnya aku terprovokasi juga membacanya, padahal adikku membelinya beberapa bulan yang lalu? Sekitar setengah tahun lah. Jawabannya adalah karena akhir-akhir ini mood membaca novel sedang menguasaiku. Pertama: sepulang dari Cirebon, aku membaca Princess Diary. ketika sedang jalan-jalan di Gramedia Grage Mall, Angie spotted that favorite teenlit of hers, setelah menunggu penerbitan Princess Diary serial keenam ini selama lebih dari satu tahun. Di awal membaca PD, aku terganggu dengan sulitnya berkonsentrasi untuk membaca satu buku penuh. Maklum, aku terbiasa membaca artikel-artikel ilmiah (cie .. sok ilmiah nih???) dalam Jurnal Perempuan (dan buku-buku lain, sebangksa KAJIAN BUDAYA FEMINIS) yang paling banter cuma 30 halaman. Pada waktu itu, seorang teman kerja meminjam PETIR dari adikku yang tentu saja harus melalui aku sebagai kurir. Sebelum menyerahkan novel tersebut kepada rekan kerjaku, aku sempat membuka beberapa halaman depan, wah ... kok aku langsung suka?
Alhasil, setelah menemukan keasikan membaca PD—Princess Diary maksudku—dan menyelesaikannya, aku memprovokasi rekan kerjaku yang juga menikmati membaca PD. “Eh, kalau kamu sudah selesai membaca PETIR, entar tukeran dengan PD yah? Aku belum baca tuh novel.”
Sebelum menulis ini, aku mencari arsip postingan blog yang tentang Dewi Lestari dan Filosofi Kopi. I wrote them by the end of May 2006. Dalam PETIR, sangat terlihat jelas perjalanan spiritualitas Dee, mengapa dia pindah dari satu agama ke agama lain. Aku sendiri merasa mengalami perjalanan spiritualitas yang serupa dengan Dee, dalam hal mempertanyakan apakah orang yang tidak ke gereja, atau ke masjid, atau yang tidak melakukan ritual ibadah secara kasat mata—bagi orang Islam tentu saja shalat, membaca Alquran—berarti orang tersebut jauh dari Tuhannya? Tuhan ada dalam hati kita masing-masing, seperti juga setan pun ada dalam diri masing-masing manusia. Perang antara the good and the bad itu ada dalam diri kita, yang tidak kasat mata tentu saja. Mengapa orang-orang yang sok relijius itu kemudian membakukan definisi bahwa orang-orang yang tidak melakukan ibadah yang kasat mata tersebut adalah orang-orang yang tidak bagus kualitas keimanannya? Bukankah yang tahu kualitas keimanan seseorang hanyalah THE OMNIPOTENT? Human beings tahu apa sih? LOL.
Nah lo!!! Si Nana yang sekuler ini pun telah menjadi seorang a spiritual SNOB yang menyebalkan karena merasa sok bener juga, karena telah menuding-nuding orang-orang yang berada di seberang jalan dariku ini sebagai MENUDINGKU SEBAGAI ORANG YANG TIDAK BERIMAN. Oh well, bukannya tidak beriman sih, tapi kurang iman. LOL.ternyata aku pun sama-sama annoyingly judgmental juga dengan orang-orang yang kutuduh judgmental. LOL. LOL.
Bagi mereka yang mengalami perjalanan spiritual sepertiku dan Dee, baca PETIR deh. Bakal ga nyesel. LOL.
PT56 22.30 090207

No comments: