Search

Saturday, May 30, 2020

Covid 19



Awal Maret 2020 ketika pemerintah pertama kali mengumumkan adanya pasien pertama (dan kedua ketiga karena mereka satu 'community' atau bahkan keluarga ya? Lupa) yang positif virus corona yang lebih dikenal sebagai covid 19, aku masih menganggapnya sepele. Apalagi ditambahi 'nyinyiran' orang bahwa orang meninggal yang disebabkan kecelakaan di jalan jumlahnya lebih tinggi ketimbang covid 19, aku benar-benar tidak menganggapnya serius. Plus pernyataan dokter Moh Indro Cahyono yang videonya bertebaran di medsos membuatku merasa aman, "aku tidak punya penyakit bawaan / comorbid" dan katanya covid 19 rentan untuk mereka yang berusia di atas 60 tahun.

 

Namun ketika mulai ada kabar ada pasien covid 19 yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang, loh, kok sudah sampai Semarang? Dan sudah ada pasien covid 19 yang meninggal di RS Moewardi Surakarta, aku mulai berpikir bahwa aku harus 'alert'. Meskipun mungkin jumlah pasien meninggal disebabkan covid 19 tidak sebanyak orang yang meninggal disebabkan kecelakaan di jalan, atau bahkan karena penyakit DBD maupun typhoid, covid 19 ini begitu mudah menular ke siapa saja tanpa pandang bulu. Dan, meski menurut teori bahwa mereka yang riskan terkena covid 19 ini mereka yang berusia di atas 60 tahun dan memiliki penyakit bawaan lain kenyataannya di Indonesia pasien yang meninggal di usia di bawah 50 tahun juga cukup banyak, plus juga pasien kanak-kanak yang di awal-awalnya dulu bakal aman.

 

Maka mulailah 'drama' karantina yang seumur hidupku -- setengah abad lebih -- belum pernah kualami. Stay at home, rebahan, rajin-rajin cuci tangan, mencuci baju tiap hari, terlebih jika pulang dari bepergian -- misal ke pasar atau supermarket untuk belanja bulanan. Tidak hanya itu, gegara tinggal di rumah, dan jumlah siswa yang menurun tajam, aku harus rela kehilangan kesempatan bekerja dan mendapatkan uang. Well, sebagai seorang loner sih, aku enjoy saja tinggal di rumah; yang tidak kunikmati ya itu tadi, no job means no money.

 

Meski menikmati stay at home, ga mungkin kan ya aku bakal terus terusan tinggal di rumah? Maka, sebenarnya, di balik stay at home ini tentu ada harapan penyebaran covid 19 benar-benar bisa ditekan, hingga di seluruh penjuru Indonesia kembali dikategorikan zona hijau alias bebas covid 19; hingga kita semua bisa beraktifitas seperti sedia kala.

 

Ini akhir Mei; berarti telah dua setengah bulan Indonesia berusaha untuk menerapkan 'stay at home' juga 'work from home' bagi sebagian pekerja. Telah kurang lebih sebulan sebagian wilayah Indonesia menjalani PSBB (pembatasan sosial berskala besar) maupun PKM (pembatasan kegiatan masyarakat), atau ' soft lockdown'. Sebagian pemerintah daerah mulai mempertimbangkan untuk melonggarkan PSBB / PKM, demi menggerakkan roda ekonomi yang tersendat-sendat gegara PSBB / PKM, dengan memberlakukan kebijakan yang disebut NEW NORMAL. Bagaimana ga tersendat-sendat, ambil contoh ringan saja yang terjadi di sekitarku. Satu warung soto yang biasanya masak beras 5 kg sehari, semenjak kebijakan 'stay at home' diberlakukan, si pemilik memasak hanya 1,5 kg sehari, itu pun kadang tidak sampai habis. Penjual daging ayam di pasar krempyeng dekat rumahku juga mengalami hal yang sama: biasa menjual sampai 50 kg sehari, di masa 'stay at home' dia hanya mampu menjual setengah dari jumlah sebelumnya; "Ini saya masih untung bisa terus berjualan daging ayam. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan kan?" katanya, pasrah.

 

Sialnya, sebagian rakyat Indonesia menerjemahkan NEW NORMAL sebagai virus corona tak lagi dianggap sebagai ancaman, hingga mereka pun kembali beraktifitas seperti semula. Sebagai pesepeda tentu yang kuamati adalah para pesepeda. Di masa pandemi begini, aku paling sepedaan sendirian (maksimal berdua dengan adikku yang tinggal satu rumah denganku); makanya aku kesal jika melihat rombongan orang gowes rame-rame, berkerumun, apalagi kemudian mereka mampir somewhere, misal angkringan, makan bareng-bareng, melupakan kemungkinan bahwa mungkin mereka akan mengeluarkan droplet yang akan menempel ke kawan sepedaan mereka, siapa tahu mereka ternyata OTG?

 

Jadi ingin menyitir status seorang kawan sekian hari lalu. Segala hal yang hadir dalam kehidupan kita selayaknya memberi kita satu pelajaran agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Apakah kehadiran covid 19 benar-benar telah mengubah manusia menjadi lebih baik? Jika kita belum mendapatkan pelajaran dari covid 19 ini, mungkin memang belum saatnya covid 19 menghilang.

 

PT56 13.23 30-Mei-2020


No comments: