Search

Tuesday, May 05, 2020

RIP Lord Didi



Tulisan Vika Klaretha Dyahsasanti ini mewakili perasaanku. Di awal2 dulu aku tidak begitu bisa menikmati lagu campur sari. Namun, semenjak Didi Kempot melambung (lagi) dan diberi gelar "lord of the brokenheart", karena berada dimana pun, lagu2nya diputar dimana2, bahkan kawan2 sepedaan pun berlomba2 ngevlog dengan menyanyikan lagu2 Didi Kempot, aku jadi mulai iseng2 mendengarkan dan memperhatikan lirik2nya. Aku pun mengunduh lagu2nya dari youtube.

Selamat jalan kangmas. Selamat berbahagia di tempat barumu.
🙏🙏🙏
--------------

Kabar duka lagi, silih berganti. Kedukaan yang terasa beruntun ini selalu membuat saya merasa 2020 adalah tahun prihatin. Saya teringat Ratu Elizabeth. Pernah dalam suatu masa, Ratu merasa cobaan hidupnya lebih berat daripada tahun-tahun sebelumnya. Maka Ratu pun menyebut tahun 1992 itu sebagai annus horribilis, horrible year. Lawan dari annus mirabilis, miracle year.

Saya kira, bagi kita semua, 2020 ini adalah annus horribilis, ini semakin terasa tergenapi dengan berpulangnya Lord Dionysius Prasetya atau Didi Kempot. Kepergian yang mendadak, di saat Lord Didi baru saja membuat kegiatan pengumpulan dana spektakuler, di saat Lord Didi berada di puncak ketenarannya. Hati kita semua pun ambyar.

Sebenarnya saya bukan penyuka lagu campursari. Saya bukan penutur bahasa Jawa sejak lahir, sehingga awalnya saya asing dengan irama dan syair-syair lagu campursari. Ini masih ditambah, saya kurang suka pada tabuhan gendang dalam suatu lagu. Namun seiring berjalannya waktu, seiring makin terbiasanya saya mendengar langgam Jawa, saya mulai menyuka lagu-lagu legendaris seperti Mawar Biru, dan tentu saja Sewu Kutha serta Stasiun Balapan. Dua yang terakhir karya Lord Didi.

Demikianlah, meski bukan favorit, lagu-lagu campursari menjadi bagian dari keseharian saya. Terasa menyenangkan di telinga, dan menjadi sesuatu yang nyaman didengarkan di tanah Jawa ini. Bagi mereka para perantau, lagu-lagu campursari menjadi salah satu yang paling dirindukan dari kampung halamannya. "Ada rasa ayem tentrem saat mendengar lagu-lagu tersebut. Masyarakat yang nrimo, menjalani hidup dengan pasrah Gusti, tak suka ribut, dan selauw...." demikian penjelasan teman beberapa waktu lalu.

Dan di antara semua lagu campursari yang populer, lagu-lagu Lord Didi tentu primadonanya. Bersyair sederhana, gampang dipahami, namun mengena di hati. Menggunakan bahasa Jawa ngoko, bukan krama, membuat siapapun yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Jawa meski sedikit, paham arti lagu-lagunya. Ini yang membedakan karya Didi dengan banyak musik tradisi yang terikat pakem ketat seni adiluhung, prestisius, indah, epik, namun gagal mencapai khalayak dalam jumlah besar.

Mungkin pula karena tema-temanya memang hal-hal yang digeluti masyarakat sehari-hari. Jatuh cinta, patah hati, tertipu, hal-hal sedih tanpa harus meratap-ratap. Kalau saya perhatikan, hanya di lagu-lagu Lord Didi, seseorang bisa meratap sedih karena patah hati sekaligus ingin melampiaskannya dengan berjoded.

Beberapa waktu lalu, seorang sutradara dan juga penulis skenario serta kru film lain mengadakan diskusi tentang Lord Didi. Mereka akan membuat film tentang lagu-lagu Lord Didi yang kembali populer dan fenomenal. Hampir semua kami memberi ide cerita film tentang orang yang bangkit dari keterpurukan. Anak miskin yang kemudian berprestasi, orang patah hati yang kemudian menemukan cinta sejati, orang tertipu dan mendapat pencerahan....

Ini artinya, secara umum, vibrasi lagu-lagu Lord Didi adalah positif, meski lagu-lagunya berbicara tentang sesuatu yang terasa sedih seperti kata 'ambyar'. Saya kira di situlah kekuatan Lord Didi. Ia berbicara tentang sesuatu yang 'ambyar' tetapi sekaligus ia mempersatukan.

Dengan lagu-lagunya, Lord Didi membuat masyarakat Jawa kembali bersatu. Tua muda, miskin kaya, relijius atau nasionalis, apapun itu bersepakat bahwa lagunya 'aman' didengar di manapun. Tak akan menimbulkan debat, bahkan bisa dinikmati bersama tanpa ada sekat.

Fenomena kembalinya Lord Didi di kancah musik orang Jawa itu juga saya ingat sebagai titik balik yang indah. Sekitar dua tahun lalu, dalam suatu acara perpisahan Diklat, untuk pertama kalinya saya kembali melihat betapa semua beramai-ramai turun berjoged. Tanpa ada sekat, tanpa ada batasan-batasan ideologi yang belakangan ini sering membatasi interaksi perempuan dan laki-laki di ruang publik. Juga tak ada bahasan menyebalkan seperti norak, ganjen, ataupun memalukan. Yang ada hanyalah guyub.

Sejak itu saya melihat, semua acara dimana lagu-lagu Lord Didi dinyanyikan selalu bernuansa sama. Guyub, rukun dan egaliter. Semua bebas berjoged, di dekat siapa pun, dan semua pun bebas bernyanyi. Membuat saya sedikit menyesal, tidak mampu menyanyi lagu-lagu campursari dengan baik, sehingga bisa berbagi kebahagiaan bersama dalam acara-acara gembira itu. Segera saja acara-acara apapun selalu diisi kegiatan ramah-tamah dengan bernyanyi dan berjoged lagu-lagu Didi Kempot.

Begitulah, orang Jawa kembali pada identitas 'guyub rukun' nya seiring maraknya lagu-lagu Lord Didi. Dan sejak itu, bahasan tentang melestarikan budaya Jawa, berikut kegiatan-kegiatan 'nguri uri budaya Jawi' kembali popular. Masyarakat Jawa secara umum tak lagi terlalu silau pada budaya luar. Terima kasih yang luar biasa pada Lord Didi, seorang pemersatu tanpa banyak jargon dan petuah.

Tetiba saya teringat sepenggal kalimat yang ditulis GM pada obituari Arief Budiman, yang juga baru saja berpulang dan meninggalkan kehilangan besar bagi bangsa ini. Tulis GM, "seorang yang menghilang setelah melaksanakan keadilan tanpa menunggu, tanpa perlu aplaus dalam pengorbanannya."

Saya kira, kalimat itu pun pas ditujukan pada Lord Didi.

Selamat jalan...
Rahayu Ing Palereman.

05 Mei 2020

No comments: