Search

Tuesday, August 07, 2012

[Xenophobia] The Chosen Race: Does it ever exist?



THE CHOSEN RACE: DOES IT EVER EXIST?

Xenophobia akan terasa sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja jika kita lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang xenophobic. Agar bisa ‘mentas’ dari situasi tersebut tentu bukanlah hal yang mudah. Perlu sesuatu yang spektakuler yang menghantam keyakinan kita hingga kita tergoyah, kemudian merenungi perjalanan hidup kita, dan perlahan-lahan melepaskan diri dari cengkeramannya. Dan perlahan-lahan ini, bisa jadi it will take one’s whole life time. Paling tidak, hal inilah yang terjadi padaku.

Terlahir dari pasangan Gorontalo namun terlahir di tanah Jawa sedari kecil aku ditempa kebingungan yang mungkin bermula dari kebingungan kedua orangtua, akan membesarkan anak-anaknya tumbuh dengan senantiasa mengikuti budaya Gorontalo, atau berbaur menjadi seperti orang Jawa seperti para tetangga di sekitar, karena dari segi penampilan fisik, kita tidak jauh berbeda.

Orangtua yang mungkin mengalami gegar budaya – maklum hidup di zaman non-globalisasi  sehingga kurang informasi – terheran-heran mendapati perbedaan budaya yang kadang bertolak belakang seratus persen dengan adat istiadat yang mereka ikuti dengan istiqomah semenjak kecil. Contoh yang paling mudah adalah kebiasaan makan: orang Gorontalo harus selalu menghabiskan semua yang ada di piring sedangkan orang Jawa, konon agar terkesan sopan, tidak rakus, maka mereka terbiasa meninggalkan satu sendok nasi (atau ditambah dengan yang lain) di piring. Contoh lain, ketika aku masih kecil, di daerah tempat tinggalku waktu itu, aku sering mendapati sesajen yang ditaruh di perempatan jalan pada malam Jumat Kliwon.

Dua kebiasaan yang kusebut di atas kemudian dihubungkan dengan ajaran agama yang dianut oleh orangtua sebagai suatu perilaku yang mendatangkan mudharat dan dosa. Yang pertama, mubazir; yang kedua berupa dosa besar yang (konon) tak terampuni: musyrik.
Mungkin karena melihat kebiasaan-kebiasaan orang Jawa yang dianggap mendekatkan diri dengan kemudharatan – tanpa merasa perlu mempelajari terlebih dahulu apa yang melatarbelakanginya – orangtua tak bosan-bosannya mengingatkan anak-anaknya bahwa kita bukan orang Jawa. Sebegitu seringnya diingatkan bahwa kita bukan orang Jawa, Nana kecil sampai berpikir bahwa terlahir menjadi orang Jawa adalah sebuah kutukan. Dan aku bangga bahwa aku terlahir memiliki darah Gorontalo: it was a blessing. Sehingga satu kali ketika seorang teman sekolah bertanya apakah aku 100% berdarah Gorontalo – yang berarti kedua orangtua berdarah Gorontalo – atau mixed-blood 50% Gorontalo 50% Jawa, dengan inosen namun menyebalkan, aku menjawab, “Jangan menghina ya. Aku orang Gorontalo asli, bukan orang Jawa.” Tanpa menyadari bahwa itu bakal melukai perasaan yang bertanya. Tanpa menyadari bahwa kita sekeluarga tinggal di pulau Jawa. Shame on me. :-P Dan lebih parah lagi, aku tidak tahu banyak tentang Gorontalo kecuali bahwa kota yang terletak di Sulawesi Utara itu adalah kota kelahiran kedua orangtua, namun toh aku tetap merasa bangga terlahir tidak sebagai orang Jawa, namun terpilih menjadi orang Gorontalo.

Being the chosen

Tidak pernah kusadari bahwa the idea of being the chosen people itu menghinggapi banyak kalangan, dari belahan dunia mana pun, dimulai dari being the chosen nation, the chosen race, the chosen ethnic, hingga the chosen people from certain religion, dll.  Dan berhubung sewaktu kecil aku bersekolah di sebuah sekolah agama, terus menerus mendapatkan ajaran bahwa agama yang kuanut (duluuu) adalah agama yang sempurna, penyempurna agama-agama lain, dan being the chosen religion, hanya orang-orang yang beragama inilah yang akan masuk surga, maka mau tidak mau, aku mengimaninya.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di bangku SMP dan memiliki seorang teman yang beragama berbeda denganku, aku sering memandangnya dengan penuh belas kasihan, dia bakal masuk neraka. Satu kali dia iseng-iseng membolak-balik buku agamaku. Kebetulan dia menemukan tulisan syahadat, dimana dia mencoba membacanya (bukan yang bertuliskan huruf arab.) Setelah selesai, dengan dada ketar-ketir, innocently aku bilang ke dia, “Sekarang kamu telah masuk Islam. Bacaan syahadat yang barusan kamu baca itu adalah syarat pertama untuk seseorang yang akan masuk Islam,” dengan nada haru. Namun di luar perkiraanku, temanku ini shocked mendengarnya, dengan buru-buru dia mengatakan ingin membatalkan bacaan itu, dan menyatakan bahwa dia tetaplah keukeuh memeluk agamanya. Aku heran. Mengapa dia tidak mau masuk surga? Bukankah hanya yang beragama Islam saja yang masuk surga?

Dan begitulah cara pandangku: I am the chosen one. Cara berpikir ketika kecil menghadapi etnis yang berbeda mungkin semakin berkurang. Namun cara berpikir bahwa orang yang beragama di luar agamaku adalah ahli neraka tetap terbawa hingga saat aku menemukan cara pandang baru menyikapi posisi perempuan di masyarakat. Ketidakpuasan menerima posisi perempuan yang tidak setara dengan laki-laki dalam agama yang konon agama paling sempurna, yang kitab sucinya akan selalu terjaga hingga akhir zaman, plus kegagalan pernikahan yang pertama, didukung dengan sifat rebellious-ku, sedikit demi sedikit aku mulai berubah, from a very traditional narrow-minded woman, menjadi an open-minded one.

Berkenalan dengan ideologi feminisme, membaca buku-buku tentang cara memandang posisi perempuan yang setara dengan laki-laki, membuka pikiranku untuk memandang hal-hal lain dengan berbeda. The idea of being the chosen pun terasa menggelikan. Dari segi spiritual, aku berkembang (atau mengalami kemunduran? Seperti kata teman-teman kerjaku yang lama) dari sebagai seorang muslim (sok) relijius, menjadi muslim sekuler, hingga beberapa tahun terakhir aku menyadari aku tak lagi mengenakan sepatu yang sama: aku menyeberang ke ranah agnostik.

Di satu sisi aku merasa jauh lebih manusiawi, tak lagi memiliki cara berpikir ilahiah, sok menjadi ahlul jannah. Kusadari juga bahwa gembar-gembor toleransi yang kupelajari di waktu kecil dulu sebenarnya hanyalah lips service belaka, mungkin karena cekokan guru-guru agamaku dulu bahwa muslim adalah the chosen. 

“If only you had been happily married, Nana, you wouldn’t be who you are now,” kata seorang sahabat beberapa tahun lalu.

Apa pun dan bagaimana pun caranya itu, aku sendiri (nampaknya) telah berhasil melepaskan diri dari kubangan xenophobia yang mengukungku sekian lama. Jika ada beberapa teman yang mengenalku secara online – maupun langsung – yang ‘memujiku’ sebagai seseorang yang tidak judgmental, mereka tidak tahu betapa bahkan sampai sekarang pun aku masih berjuang untuk itu. Jika dulu aku selalu berpikir bahwa non muslim bakal masuk neraka, betapa pun baiknya hidup mereka di dunia, sekarang kebalikannya, orang-orang yang nampaknya sangat relijius dalam agama islamnya, sering kupandang bahwa tentu cara pandang mereka sama sempitnya dengan cara pandangku dulu. :'(

Perjuanganku masih panjang.

GL7 16.03 070812


Beberapa komen dari lapak sebelah yang bakal digusur tanggal 1 Desember 2012 nanti :'(

martoart wrote on Aug 8
Keep Posting

agar dunia ikut cerah
afemaleguest wrote today at 3:49 PM
martoart said
Keep Posting
I will Kang :)
dinamars wrote on Aug 8
keren mbak, mbak berani mengungkapkannya dlm tulisan ini. salut ya.. :)
afemaleguest wrote today at 3:49 PM
dinamars said
keren mbak, mbak berani mengungkapkannya dlm tulisan ini. salut ya.. :)
suwun :)
dinamars wrote on Aug 8, edited on Aug 8
ngomong2 the chosen race, jd keinget sm doktrinnya Nazi, hehehe. dan sayangnya pemahaman spt itu koq jg ada dlm Islam ya. kalau orang2 yg gak bijak hal ini bs dijadikan tameng/umpan utk menyulut perpecahan... ah, kalau manusia2 spt kita2 ini mo sadar, tdk ada yg superior selain Tuhan (bagi yg agamis) atau Zat di Luar Sana yg kekuatannya lebih besar dari kita.
afemaleguest wrote today at 3:53 PM
dinamars said
ngomong2 the chosen race, jd keinget sm doktrinnya Nazi, hehehe
semula aku tahunya memang hanya di Islam
kemudian Nazi,
ketika aku kuliah di American Studies, membaca karya John Winthrop tentang their chosen one -- immigrant dari England ke tanah Amerika yang konon akan menjadi penguasa dunia -- awalnya aku sempat tertawa dengan ide their being chosen one, tapi ketika teringat aku sendiri juga pernah berpikir begitu, dan ditertawakan seorang online friend dari California lebih dari satu dekade yang lalu, kupikir, this is really not funny, but ridiculous :(

yang berikutnya, the Jews ...
hadeeeehhhh ...
onit wrote on Aug 8
Terusin perjuangan yah mbak :)
soal pandangan thd org2 religius, mungkin bisa diatasi lewat non-stereotyping. Each individual kept surprising me. Kombinasi2 unik menarik. Kalo cuma religius tapi gak narrowminded sih banyak. Tapi kalo ada yg bener2 narrowminded biasanya bukan krn religiusnya, tp krn personality (masalah psikologis) atau emang belon cukup belajar.
but anyway congrats for not being judgmental. The world needs more people like you :)
afemaleguest wrote today at 3:54 PM
onit said
soal pandangan thd org2 religius, mungkin bisa diatasi lewat non-stereotyping.
yes, in fact, that is exactly what I have been doing so far ... trying to be not stereotyping
afemaleguest wrote today at 3:56 PM
onit said
but anyway congrats for not being judgmental.
aku sendiri merasa bersalah dengan pujian ini because in fact I still think that way, only hanya berhenti di otak, tidak sampe ke jari jemari (untuk mengetik), atau ke mulut (untuk keluar berupa omongan)
wayanlessy wrote on Aug 8
flagged, buat balik lagi, udah baca blm sempat komen bener. thank you tulisannya dear..
wayanlessy wrote on Aug 10
Salut untuk semangat mbak Nana untuk terus berjuang mencari terang. Kadang orang merasa telah memilih sesuatu dan lalu memutuskan diri untuk menutup pandangannya dan berhenti belajar, tapi tidak mbak Nana.
Mungkin perjalanan hidup mbak Nana dulu ketika berada dalam lingkungan religius terkepung oleh banyak orang-orang religius yang perpandangan sempit dan terjebak oleh kesombongan imani. Aku sependapat dengan mbak Onit, bahwa mencoba mengenal orang per-individunya akan membantu stereotyping terhadap kelompok yg religius. Semoga mbak Nana terus semangat berjuang dan dengan kecerdasan yg dimiliki, selalu kritis mengumpulkan hikmah dalam perjalanan hidup mbak Nana. ^_^

Makasih ya mbak sudah menuliskan pemikiran mbak Nana untuk menyumbang dan mendukung kegiatan menulis ttg Xenophobia ini. Berarti banget buatku.
afemaleguest wrote today at 3:56 PM
Mungkin perjalanan hidup mbak Nana dulu ketika berada dalam lingkungan religius terkepung oleh banyak orang-orang religius yang perpandangan sempit dan terjebak oleh kesombongan imani.
betul ...
afemaleguest wrote today at 3:57 PM
Makasih ya mbak sudah menuliskan pemikiran mbak Nana untuk menyumbang dan mendukung kegiatan menulis ttg Xenophobia ini. Berarti banget buatku.
it is a big pleasure for me too dear Lessy :)

No comments: