Search

Wednesday, April 10, 2024

Missing Mom

 

the pic was taken in 1987, if I am not mistaken

I am missing Mom, on this particular day, Idul Fitri 1445 H or 10 April 2024.

 

Kangen yang bukan berarti I wanna see her in front of me. I know this is something impossible to happen. Kalau pun aku bisa melakukan komunikasi dengan orang yang sudah meninggal -- seperti yang diaku oleh Cel, Ekani's hubby (Ekani and I used to work in the same uni, long time ago) -- aku pikir, kangenku juga bukan berarti I wanna have a chat with her.

 

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan facebook yang tahu bahwa aku berdarah Gorontalo, mengunggah video lagu 'Hulondalo Lipu'U' di satu komen di satu statusku. Saat itu, aku menonton video itu dengan seksama, kebetulan ada 'subtitle' di bawah lirik yang juga disematkan di video tersebut. Nama gunung 'Tilongkabila', nama sungai 'Bone' dan nama danau 'Limboto benar-benar mengingatkanku akan masa kecil ketika Mom mengajari anak-anak lagu ini. Tentunya Mom tidak ingin anak-anaknya tidak mengenal kota kelahirannya.

 

Dan, di hari yang Fitri ini, begitu saja aku ingin mendengarkan lagu ini lagi. Dan untuk pertama kali aku menyadari betapa dulu aku tidak pernah begitu memperhatikan bagaimana perasaan Mom: jauh dari keluarga, tercerabut dari budaya yang dia kenal sejak lahir. Aku ingat, Mom suka cerita betapa beliau sering menangis karena kangen kakak-kakak dan adik semata wayangnya. I was listening to her but I could not figure it out how she was exactly feeling.

 

Hari ini, aku mencoba menyelami perasaan beliau. Saat Dad masih ada sih, I believe she was fine 'enough', meski saat Mom cerita-cerita tentang kampung halamannya ini saat aku masih kecil, yang berarti Dad masih ada. Setelah Dad wafat di tahun 1989, dan Mom memilih untuk tetap tinggal di Semarang, dan bukannya kembali ke Gorontalo, tentu Mom paham resikonya. Waktu Pa'ade (begitulah aku memanggil adik Mom) datang ke Semarang beberapa bulan setelah Dad wafat, Pa'ade menawari Mom untuk kembali ke Gorontalo, agar dekat dengan saudara-saudara. Tentu hidup akan lebih 'mudah' (baru kali ini aku berpikir begini, though) bagi Mom karena ada kakak adik di sekitarnya. Meski jika Mom memutuskan untuk kembali ke Gorontalo, ini berarti kami semua harus menghadapi kinda new life. Aku yang masih kuliah di Jogja, mungkin bisa terus ngekos. Yusdi, kakak, sudah menjelang lulus kuliah, berarti mungkin dia bisa ikut mengurus perpindahan keluarga ke Gorontalo. Nunuk yang masih duduk di bangku SMK bisa saja pindah sekolah ke Gorontalo, atau tetap di Semarang, sampai lulus SMK. Rizka yang masih duduk di bangku SD yang paling gampang ikut pindah ke Gorontalo.

 

Namun Mom memutuskan untuk tetap tinggal di Semarang, jauh dari kakak adik dan sepupu-sepupu, dengan alasan, "anak-anak sudah cukup besar, bisa menjadi pengganti bapaknya," Maka, bagi kami berempat, there was nothing new, except bahwa kami tak lagi memiliki Ayah yang tinggal bersama kami, yang ada 'hanya' kenangan bahwa kami memiliki Ayah yang begitu mencintai Mom sehingga sepeninggal beliau, Mom tetap bisa membiayai sekolah dan kuliah anak-anak dari tabungan dan uang pensiun. Tapi, kami, anak-anak, tentu tidak terlalu memahami apa yang sebenarnya Mom hadapi dan rasakan kan ya.

 

Aku pernah memiliki keinginan untuk membawa Mom menengok Gorontalo setelah aku lulus kuliah dan bekerja. (Kami Cuma sekali sempat berkunjung ke Gorontalo, di tahun 1977, saat Rizka si bungsu belum lahir.) Namun ternyata keinginan itu hanya berhenti di keinginan, I could not make my own dream come true, sampai Mom wafat di tahun 2018. :( tapi, memang seingatku setelah Dad wafat di tahun 1989, Mom malah ga pernah lagi kudengar merindukan kampung halamannya. Mungkin karena alasan Mom waktu Pa'ade mengajak pulang ke Gorontalo dan Mom tolak adalah, "Kak Muien dimakamkan di sini, Semarang. Saya tidak mau jauh dari makamnya." (My dad's name = Muien.) dan pastinya, tinggal di mana pun seseorang, dia akan menghadapi masalah yang mau tidak mau harus dia hadapi dan pecahkan sendiri, pada akhirnya.

 

Well, seingatku waktu itu aku bersyukur Mom memutuskan tetap tinggal di Semarang. Tetap mendidik anak-anak (dari segi agama) dengan tegas. Namun, saat aku mulai 'mbalelo' menjadi seorang agnostic (meski aku tetap menolak berbincang-bincang tentang satu hal ini), Mom Cuma ngomel-ngomel, dan aku terus diam tidak mau membalas. Satu hal yang aku tunggu-tunggu (frankly speaking): beliau mengusirku dari rumah. Namun ternyata she didn't do it.

 

Di masa-masa menjelang akhir usia Mom, terkadang beliau nampak terharu saat aku membelikannya sesuatu, meski itu hanya baju baru. Juga nampak terharus saat malam-malam aku dan Angie menjaga beliau di rumah sakit saat opname. Bahkan di masa terakhir beliau, 1 Syawal 1439 H, aku dan Angie tetap stay di ruang tunggu ICU rumah sakit, menunggui Mom, sementara kakak adik dan keponakan di rumah sempat shalat Ied bareng-bareng. Mom wafat tanggal 3 Syawal 1439 H atau 17 Juni 2018, hari Minggu.

 

Rest in peace, dearest Mom. 

Regards for Dad, and my two elder brothers.

 

PT56 19.43 10 April 2024

 

No comments: