Search

Wednesday, September 06, 2023

PEMERINTAHAN ORDE BARU versus PEMERINTAHAN JOKOWI

 

baris depan kanan - kiri: Valen, Mayang, Romo Setyo, Ayu Utami

Kehadiran beberapa aktivis reformasi 98 dalam event 'Sekolah Basis 3' di Omah Petroek tanggal 25 - 27 Agustus 2023 yang baru lalu kian menghangatkan diskusi yang ada.

 

Aktivis yang mendapatkan kesempatan pertama kali sharing adalah Valentina Sagala. Dia dikenal sebagai aktivis perempuan dan pendiri Institut Perempuan, sebuah organisasi nirlaba yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak, memantai perumusan kebijakan dan penegakan hukum. Valen mengawali sharingnya dengan mengatakan bahwa dunia demo dulu itu awalnya kurang menarik baginya. Kehidupan keluarga yang serba berkecukupan -- sehingga memandang pemerintah OrBa dengan kacamata yang positif -- membuatnya kurang tertarik dalam hal demo-demo yang melawan pemerintah. Hingga akhirnya dia melanjutkan studinya ke Universitas Padjajaran dan Universitas Parahiyangan.

 

Aktivis kedua adalah Suci Mayang Sari, yang sekarang terjun ke dunia politik, bergabung dengan PSI. Dia sempat 'melarikan diri' ke Jerman setelah OrBa jatuh. Dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah Pak Jokowi dinyatakan terpilih sebagai presiden di tahun 2014 karena "hidup di Jerman kurang menantang. Tantangan sehari-hari di sana paling adalah 'bagaimana membuat roti yang mengembang dengan baik' misalnya." Mayang -- yang sering dituduh sebagai istri kedua Bambang Trihatmojo, gegara memiliki nama yang mirip dengan pelantun lagu 'Tiada Lagi' -- bercerita dia berada di kampusnya Universitas Trisakti ketika terjadi penembakan pada beberapa mahasiswa Universitas itu, betapa 'chaotic' suasana saat itu.

 

Ada dua pertanyaan yang menarik yang saya catat dari audience setelah keduanya berbagi pengalaman saat mereka dulu terlibat dalam demo menurunkan orang terkuat di zaman OrBa itu.

 

  1. Mengapa gerakan mahasiswa sekarang tidak bisa seberhasil gerakan mahasiswa di tahun 98? Mengapa masyarakat tidak mendukung gerakan mahasiswa sekarang ini? Tidak seperti yang terjadi di tahun 98?
  2. Apakah Mayang merasa kecewa kembali ke Indonesia -- meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Jerman -- karena ternyata toh pemerintahan Jokowi akhirnya menyerupai pemerintahan OrBa?

 

Valen menjawab pertanyaan pertama dengan mengatakan bahwa mahasiswa harus fokus pada tujuan. Tujuannya apa? Jika tujuan itu belum tercapai, jangan berhenti, teruslah melakukan 'gerakan' (alias demo).

 

Jujur saja, saya gemas dengan jawaban Valen. Di satu sisi benar, jika melakukan satu gerakan, kita harus berorientasi pada tujuan. Di sisi lain? Jelas pemerintahan Jokowi belum bisa dikatakan setali tiga uang dengan pemerintahan orde baru yang telah memerintah selama 32 tahun, sehingga masyarakat pun muak dengan cara orang nomor satu orba itu memerintah. Maka, tidak heran jika saat itu masyarakat dengan berbondong-bondong mendukung gerakan mahasiswa, tanpa pamrih.

 

Sekarang, sebagian besar masyarakat memandang pemerintahan Jokowi dengan positif. Bisa dimaklumi jika mereka (nampak) tidak peduli pada segala macam demo yang dilakukan oleh mahasiswa sekarang ini. Kata seorang sobat, "jika para mahasiswa itu ingin ber'demo' demi kemajuan bangsa, cukuplah mereka belajar yang tekun di bangku kuliah. Setelah lulus, bekerjalah dengan giat, dan hindari segala praktik KKN yang merugikan masyarakat." sudah mending jika mereka berdemo dengan baik, tanpa mengganggu lalu lintas. Bayangkan kesalnya masyarakat yang hendak pergi ke satu tempat terburu-buru, eh, dalam perjalanan mereka harus melewati gerombolan  'mahasiswa' yang sedang membakar ban di tengah jalan. Dan seenaknya mereka bilang, "ini kami lakukan demi rakyat."

 

Yang mengajukan pertanyaan adalah seorang mahasiswa yang masih kuliah di strata S1, bisa ditebak dia tentu lahir jauh setelah reformasi tahun 1998. Bisa jadi dia belum mendapatkan gambaran yang lengkap apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa 1998 itu didukung penuh oleh masyarakat dan mencapai tujuannya: menjatuhkan orang nomor satu di orde baru.

 

Bulan Mei 2023, saat saya menghadiri acara 'Quo Vadis Ayu Utami?" di Taman Indonesia Kaya Semarang, saya bertanya kepada Ayu, "mengapa novel MAYA tidak dilanjutkan?" (Background: saat menulis novel BILANGAN FU, Ayu bilang, banyak ide yang ingin dia masukkan ke dalam novel itu, namun belum juga dia tuliskan, novel sudah mencapai halaman 531. Dia simpan ide-ide itu, untuk dia tuliskan di novel-novel lain yang memiliki tokoh utama yang sama -- MARJA, SANDI YUDA, DAN PARANG JATI -- yang dia rencanakan sampai 12 judul. Namun, setelah menerbitkan MAYA (novel ketiga seri Bilangan Fu setelah Manjali dan Lalita), Ayu tak lagi melanjutkannya.) Jawaban Ayu sangatlah menarik disimak,

 

"Kondisi sosial politik Indonesia sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan di awal reformasi, apa lagi dengan zaman orde baru. Dulu, pemerintah adalah 'the villain' sedangkan masyarakat adalah 'the hero'. Sekarang belum tentu seperti itu. (sebagian kelompok) masyarakat sekarang bisa juga dikategorikan sebagai the villain, meski juga tetap ada mereka yang duduk di jajaran pejabat pemerintahan yang tetap berada di sisi the villain."

 

Untuk pertanyaan kedua, Mayang menyatakan dia tidak kecewa. Dia melihat banyak sisi positif dari pemerintahan Jokowi, terutama di sisi ekonomi. Sisi kebebasan berpendapat pun jelas terlihat di masa pemerintahan lelaki yang berasal dari Solo ini. Berapa banyak orang mengatakan 'presiden kok plonga plongo?" namun orangnya tetap hidup. Di zaman orba? Jika ada yang berani mengatakan seperti ini dan ditujukan kepada penguasa orba namor satu itu, semua orang bisa menebak apa yang akan terjadi pada orang itu: hilang tak tentu rimbanya.

 

Meskipun begitu, tentu kita semua tetap diharapkan untuk tetap kritis terhadap jalannya pemerintahan. Kritis yang membangun, bukan hanya waton mengumpat dan ad hominem.

 

PT56 12.54 06.09.2023

 

No comments: