Search

Monday, March 04, 2024

NH Dini dan Motinggo Busye

 

teras rumah tinggal NH Dini kecil

Dari NH Dini ke Motinggo Busye hingga Oh Mama Oh Papa

Saat berbincang dengan one loved of mine tentang keikutsertaanku dalam event BERSUKARIAWALK, dimana salah satu spot kami mampir adalah rumah tinggal masa kecil NH Dini, dia teringat pada his dear late Mom yang ternyata penyuka karya-karya NH Dini dan Motinggo Busye. Masih ada beberapa novel karya dua sastrawan Indonesia itu di rak buku di rumahnya. Maka obrolan kami pun mengalir kemana-mana, seperti kata-kata para buzzer politisi #ehhhh

 

Di rak bukuku tentu juga ada beberapa novel karya NH Dini. Tapi, aku tidak pernah punya novel karya Busye. Seingatku, aku pernah juga membaca karyanya, duluuuuuuuuuuuuu, saat my dear late Mom masih berlangganan majalah Kartini, saat aku masih duduk di bangku SMP dan SMA. Karya Busye yang kubaca waktu itu dalam bentuk cerita bersambung.

 

Dan membandingkan dua sastrawan ini mengingatkanku saat membaca artikel-artikel para feminis. Saat karya-karya Ayu Utami mendapar perhatian lebih di khalayak pecinta sastra, banyak kritikus sastra yang mengkritik adegan-adegan 'panas' yang bisa didapatkan di banyak novel karya AU. AU sendiri mengaku bahwa hanya di karyanya yang berupa biografi 'Sugija' (Mgr. Sugijapranata) pembaca tidak akan menemukan adegan 'panas'. Para kritikus ini pun membandingkannya dengan karya-karya Dini dan Busye.

 

Sekian puluh tahun yang lalu, kebetulan aku pernah menghadiri bincang-bincang dengan NH Dini di satu kesempatan. Dini bercerita tentang kritik yang dia terima karena dalam beberapa novel karyanya, dia pun menulis beberapa adegan yang 'nyerempet-nyerempet'. Namun herannya, karya-karya Busye yang sarat dengan adegan-adegan yang sama, tidak pernah dikritik di bagian yang 'itu'.

 

"Mengapa begitu?" tanya mamas.

 

Well, it's simple. Di masyarakat yang masih seksis tentu berpendapat bahwa lelaki boleh menulis novel-novel yang 'berbumbu' adegan seks, tapi kalau perempuan tidak boleh.

 

Dan begitu saja obrolan ini mengingatkanku pada kesukaanku membaca novelet-novelet yang kadang disisipkan sebagai bonus majalah Kartini, 40 tahun lalu. Masih ada satu kisah yang tidak pernah lekang dari ingatanku.

 

"Tell me about it, please." kata mamas.

 

Tokoh utamanya seorang perempuan, bernama Indi, yang sedang melanjutkan kuliah di Amrik. Di sana dia punya seorang teman dekat yang satu kali bertanya padanya, "Apa cita-citamu sepulang dari Amrik?"

 

"Aku ingin menjadi presiden," jawab Indi.

 

"Apa? Presiden? Mengapa? Bukankah jika menjadi presiden, kamu akan dibenci orang banyak?"

 

Sambil tertawa, Indi menjawab, "Oh, itu kan di negaramu. Di negara kami, Indonesia, presiden itu dicintai rakyatnya."

 

40 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMP, aku melihat 'kebenaran' di pernyataan Indi. Semua penduduk Indonesia mencintai presidennya.

 

Dan ternyata, di tahun 1998, rakyat yang (mungkin) sama memaksa Suharto turun dari tahta yang telah dia duduki selama 32 tahun. Dan di awal orde reformasi, dibuatlah satu UU bahwa seseorang bisa menjabat sebagai presiden hanya untuk 2 periode, tidak akan ada lagi seseorang memimpin Indonesia untuk lebih dari 10 tahun.

 

Dan ternyata (lagi), dari 'reels' pendek yang kutonton di IG beberapa hari lalu, aku baru mendapatkan informasi bagaimana mobil RI 1 itu dibuat sedemikian rupa -- misal terbuat dari bahan anti peluru, bannya terbuat dari blablabla -- untuk memastikan bahwa Presiden benar-benar terlindungi dari serangan yang tidak terduga.  Belum lagi pampapres yang jumlahnya banyak di sekitar Presiden siap untuk melindungi.

 

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, kondisi perpolitikan Indonesia sudah jauh berbeda. Tidak ada lagi presiden yang dicintai oleh 100% rakyatnya.

 

"Eh, btw, aku dulu kadang juga baca rubrik Oh Mama Oh Papa loh," kata mamas.

 

Haha … sama lah itu denganku; here is another similarity between us.j

 

PT56 11.05 04/03/2024

 

No comments: