Search

Saturday, February 03, 2024

Jokowi nan Otentik

 


YANG KITA LAWAN DARI JOKOWI ITU KE-OTENTISITAS-ANNYA

 

Disclaimer:

tulisan ini saya salin dari wall Andi Setiono

 

Bagi orang Jawa, entah etnis yang lain. Salah satu pepatah yang paling penting untuk dijunjung tinggi berbunyi: "tega larane, ora tega patine". Artinya kita boleh saja, mengkritik, menyalahpahami, atau gagal mengerti tentang perilaku seorang yang kita sayangi. Atau dalam konteks bermasyarakat pemimpin kita. Tapi tidak sampai ke titik ingin mempermalukan, menjatuhkan atau bahkan membunuhnya.

 

Itu etik dasar, minimal yang saya pegang dan coba saya tularkan di lingkaran hidup saya. Apalagi ia adalah orang yang pernah kita dukung, kita belai, dan sempat demikian kita sayangi. Meludahinya semestinya sama dengan meludahi muka kita sendiri. Hingga pernah muncul sepotong kalimat indah: Jokowi adalah Kita.

 

Bagi saya prinsip "mikul dhuwur, mendem jero" sampai kapan pun akan tetap berlaku. Memiliki rasa hormat dan tahu berterimakasih itu adalah yang terbaik. Sebetapa pun itu jadi terlihat konyol dan bodoh! Bahwa di luar sana tidak begitu, itu urusan masing-masing…

 

Situasi terkini, hari2 ini sebagian sangat besar kita memandang Jokowi adalah sejelek-jeleknya manusia yang pernah dilahirkan di Indonesia. Setiap hari saya membaca orang yang kecewa padanya. Kecewa itu baik2 saja, tak ada yang salah. Tapi mendramatisirnya sedemikian rupa, lalu menggiring opini publik seolah2 dirinya adalah pemilik kebenaran. Mereka yang merasa bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.

 

Apa yang disebut sebagai "Playing God", tentu sebagai antonim dari sebagian pemimpin yang suka "Playing Victims". Dua gaya dramatik yang silih berganti diperankan oleh kedua belah pihak.

 

Sedemikian rupa, ia memainkan peran melalui jari-jemarinya di medsos, seolah ia adalah pemilik otoritas kekuasaan sesungguhnya. Sekali lagi tidak salah, dan baik2 saja. Mereka menunjukkan sikap wong kelaran (orang tersakiti), yang ujung2nya apa boleh buat kita harus menganggapnya sebagai wong lara (orang sakit). Sehingga kita harus bersikap harus tega karo larane. Yo ben wae wae, pada lara dewe-dewe. Rasakno…

 

Artinya apa? Baik yang mengumpat, mencurigai, memfitnah maupun sebaliknya yang diumpat, dicurigai, difitnah sejatinya sama saja. Pada-pada wong lara, sama2 sakit! Pun barangkali saya, yang menuliskan artikel ini, saya pun merasa diri ikut-ikutan sakit, sekalipun saya berusaha keras memahami kedua belah pihak. Tidak mudah, tapi tetap akan saya lakukan untuk memberikan perimbangan.

 

Lalu, apakah kita akan menuju "pati"-ne, kematian-nya? Sesuatu yang disinyalir bahwa Pilpres kali ini akan berakhir kacau dan rusuh?

 

Kematian itu bagi orang Jawa di masa lalu, bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi menyakitkan. Apa pun caranya ia adalah jalan pembebasan. Tapi justru karena soal itulah, kita lalu mengatakan "ora tega patine". Karena kita terlalu menyayangi kehidupan. Pun demikian, kondis kraman, begal-pati, yang mawut, yang dalam kosa kata global disebut chaos, anarkiis, dan rebel. Justru adalah jalan terpendek menuju perubahan.

 

Dalam teks dan konteks inilah, saya ingin sedikit menuliskan kenapa seorang Jokowi bisa sedemikian mengharu biru kita. Justru ketika kita semakin mengkritik, membenci, dan menyalahpahami-nya. Kita boleh saja berdebat sampai kerongkongan kering dan hilang suara. Realitasnya, ia tak menunjukkan siatuasi panik atau gusar. Kepanikan dan kegusaran dirinya tak lebih framing yang dipaksakan, dengan dalil ini itu. Akrobat pembenaran dari perasaan kita yang galau, kacau dan campur aduk.

 

Bagi saya persoalan yang kita hadapi dalam teks dan konteks Jokowi adalah sisi ke-otentik-annya. Apa itu otentik?

Secara singkat ke-otentik-an bermakna keaslian yang dapat menarik minat orang lain. Artinya ia memiliki sifat asli yang unik, yang kadang terbaca kadang tidak, bisa kita duga tapi ternyata tidak. Ia berbeda dengan autentik yang melulu merupakan kata sifat yang berarti dapat dipercaya, asli, tulen, dan sah. Konteks dari otentik di sini adalah ia selalu melakukan kebaruan, ia selalu melakukan sesuatu yang anomali. Sesuatu yang terkadang dianggap pada jangka sangat pendek tidak lumrah.

 

Dalam konteks ini, barangkali yang selalu dipersoalkan oleh dan bagi publik adalah teks dan konteks: benar dan salah, baik dan buruk, pantas tak pantas, dst dst. Sesuatu yang sebenarnya bersifat sangat relatif dan tidak langgeng.

Dari Jokowi, kita melihat hal tersebut dengan sangat mencolok mata, bagaimana ia dianggap tidak konsisten. Padahal ia justru konsisten pada ketidak konsistenan-nya itu. Ia selalu berubah, justru karena ia selalu berada pada titik yang memungkinkan atau malah mengharuskan ada perubahan. Ia menjadi pusat titik cair di pusat kebekuan. Ia mendayung merengkuh masa depan, di tengah orang yang hanya peduli pada diri sendiri di hari ini.

 

Akibatnya ia tampak selalu salah. Satu saat ia disalahkan oleh musuh2 di garis awalnya, lalu di tengah jalan dimusuhi oleh para pendukungnya. Di akhir barangkali, semua adalah musuhnya. Dalam lingkaran setan kebencian dan aura salah paham ini lah, ia berada.

 

Saat ia direndahkan oleh Ketua Partai-nya sendiri, seolah hal ini adalah keniscayaan. Karena di partainya ada hukum besi, pejah gesang nderek Bu Ketua. Padahal orang juga abai pada realitas, si ibu makin menua, jadi pikun, dan mudah emosi. Ketika ia mencoba membela diri, ia dianggap tidak tahu terima kasih. Ketika keluarganya satu persatu mulai meninggalkan garis kebijakan partai, lalu ia dianggap malin kundang dan pengkhianat.

 

Ketika para pendukung dan relawannya mulai ngelunjak, dan merasa tanpa mereka bahwa ia bukan siapa2. Lalu seolah menuntut sesuatu yang di luar kemampuan dirinya, untuk harus selalu mendengar para relawannya. Kita lupa jika Jokowi bisa bertahan sampai detik ini, tentu bukan perkara mudah. Ia harus mau jadi "bapak asuh" bagi semua golongan atau partai. Ia bisa bersikap keras, tapi pasti tidak sampai mematikan.

 

Ia bisa saja mematikan HTI, FPI, atau organisasi sejenis, tapi hanya secara informal administratif. Tapi manusia, semangat gerakannya, kiprah sosialnya bernilai tetap. Dan dalam konteks ini pula, ia berusaha keras menjadikannya otentik, dalam arti ia mewujudkan setiap cita2 dasar yang berpotensi mangkrak dan tertunda seperti IKN misalnya. Maupun proyek2 baru infrastruktur yang dulu kita mimpi di siang bolong pun tidak bakal terwujud.

 

Ia mendayung di antara para hipokrit, penjilat, dan tamak. Hingga biaya jadi mahal atau kemahalan, satu2nya yang menjadi pasti!

 

Dalam pusaran inilah, ia berdiri dan bertahan. Selalu ada persoalan serius dalam ide besar: lanjut atau mangkrak. Pihak oposisi, dalam format demokrasi apa pun, selalu melihat apa pun yang diperbuat rivalnya adalah salah dan buruk. Itu hukum besi ilmu politik. Karena apa? Ya sekedar meningkatkan nilai tawarnya belaka. Tak lebih!

 

Ketika partai pendukung utamanya, dianggapnya tak lagi jadi penyokong ide2 besarnya. Apa yang dipahami secara konstitusional, sebagai perpajangan jabatan untuk "Tiga Periode". Lalu ia mencoba mencari jalan keluar. Kok ndilalah, justru pada titik dimana, apa yang selama ini dianggap musuh besarnya. Pada mereka lah, harapan "koalisi baru" itu bisa terbentuk dan terbangun.

 

Itulah kutukan demokrasi ala2 Amerika. Terbuka dalam sedemikian banyak hal, tapi terbatas dalam jangka waktu. Berbeda dengan tuntutan demokrasi terpimpin yang menuntut loyalitas tak terbatas. Demokrasi di zaman milenial selalu butuh kesegaran. Hingga akhirnya resiko selalu dihitung belakangan, karena toh sama2 mengandung resiko. Apa sih yang tak mengandung resiko di abad sosial media ini.

 

Setiap kepala adalah kebenaran dan selera, dimana masing2 ingin didengar suaranya. Padahal masing2 kepala adalah keterbatasan dan ketidak utuhan informasi.

 

Di sini lah, lagi-lagi Jokowi memunculkan ke-otentik-an dirinya. Ia menjadi beda, ia tak bisa diatur, ia abai terhadap masa lalunya, ia memutuskan memilih jalannya sendiri. Dalam konteks ini, ia berani mengambil resiko, dan pasti sudah siap dengan resiko terburuk yang akan dihadapinya kelak. Ia menjadi seolah tidak peduli pada publik, karena justru ia terbiasa pada reaksi para pembencinya.

 

Ia sudah terlalu biasa, dengan suara minor terhadap dirinya. Sesuatu yang menjadikannya menjadi sangat otentik. Yang barangkali, menjadikannya presiden paling berbeda dibanding keenam presiden yang sebelumnya. Terlepas dari persoalan: selera suka tidak suka, atau ukuran praktis benar salah, atau bahkan parameter moral benar salah sekalipun. Ia tetap menempuh jalan ninja-nya sendiri. Yang melulu persoalan pilihan!

 

Ia barangkali justru sangat mendengar lingkaran terdekatnya, yang paling ia percaya. Bahwa kelompok intelektual (asli maupun palsu) yang ceriwis dan setiap hari menghujat tak lebih 10 % itu. Terus menerus berdengung, ngacapruk, dan malah bersiasat jahat. Membuat badai dalam stoples, yang sesungguhnya tak lebih obrolan angkringan. Yang akan berakhir, ketika pedagangnya bosan, puyeng dan melengos tutup warung.

 

Karena ia tahu, semua gerakan itu butuh bohir, penyandang dana. Yang sialnya itu semua, petanya telah teridentifikasi. Itulah gambaran kita sebagai kaum pencacau, pengigau yang merasa setiap patah kata kita adalah azimat penyelamat hidup manusia.

 

Sementara hidup kita sendiri, tak akan lebih baik. Karena sering kita melupakan prinsip dasar: kebaikan sejati hanya bisa ditempuh melalui jalan kebaikan.

 

Kabecikan tinemu kanti laku lan lelaku!

.

.

.

NB: Karya lukis terbaik yang pernah dibuat untuk menggambarkan betapa sangat mudahnya moral dijadikan patokan umum untuk menghukum seseorang, tanpa proses pemeriksaan yang seksama. Adalah sebuah lukisan dari era klasik Yunani, yang sangat banyak memiliki versi, sehingga judul-nya pun bisa apa saja. Inilah salah satu lukisan yang paling sering ditafsirkan ulang dengan berbagai background yang berbeda.

 

Lukisan di bawah ini, menceritakan hubungan yang barangkali sampai kapan pun, ketika patokan kita adalah "moral semu" atau moral menurut ukuran umum. Orang Jogja menyebutnya sebagai "umume". Lukisan yang kita anggap sebagai romantis, cenderung erotis dan seronok, yang sejak zaman dahulu kala disebut buruk dan sesat.

 

Menceritakan seorang laki2 yang dipenjara, bernama Cimon yang menyusu pada seorang perempuan bernama Piro. Belakangan diketahui keduanya adalah seorang ayah dan anak perempuan satu2nya. Si ayah dipenjara karena dituduh mencuri sepotong roti. Ia sedemikian miskin dan tak mampu membela diri, lalu dihukum dengan cara dibiarkan mati kelaparan. Tak boleh satu orang pun memberi makan minum padanya, hingga ia mati.

 

Si anak yang tak tega, kemudian meminta izin untuk mengunjungi ayahnya setiap hari. Kecurigaan muncul dari para petugas penjara, mengapa si ayah tak kunjung mati dan malah tetap segar bugar. Kemudian diketahui, si anak berbagi air susunya yang menjadi jatah anak bayinya yang baru lahir dengan ayahnya. Hingga ia tetap bisa bertahan hidup. Tak jelas bagaimana akhir cerita ini? Dan barangkali tak penting apakah kedua orang ini dihukum atau dibebaskan.

Yang pasti cerita ini menginspirasi banyak agama besar yang kemudian lahir, mengenai begitu rapuh dan relatifnya ukuran moralitas itu. Bagi kaum "moralis umume", Cimon dan Pero, keduanya pantas dihukum bakar hidup2 untuk menebus kesalahannya. Namun konon Tuhan berpendapat lain, keduanya dianggap simbol cinta kasih dan etika dasar kemanusiaan. Konon keduanya diperkenankan menjadi orang yang pertama membuka pintu Surga.

 

Apakah Jokowi adalah seorang Cimon, sedangkan Gibran adalah Pero? Tentu saja tidak.

 

Bagian yang jelas terjadi di hari ini, sebagian (ya catat sebagian besar) publik, telah menghukum sedemikian rupa Jokowi dengan berbagai stigma dan tuduhan sedemikian buruk. Tanpa pernah mau bersabar menunggu cerita lanjutan, atau barangkali inti dasar masalah yang melatarbelakanginya.

 

Bagi saya, yang paling mengherankan justru mereka yang paling "bernafsu membunuh" Jokowi dan anaknya adalah mereka2 yang selama ini setidaknya ikut menikmati segala "berkah" kepemimpinan Jokowi.

 

Mereka2 yang selama ini merasa mengenal sedemikian rupa Jokowi. Sehingga sebagaimana teks di atas mendaku "Jokowi adalah Kita". Padahal dengan ke-otentik-annya Jokowi adalah pribadi yang juga sangat merdeka, fokus pada rencana2 pribadinya. Apa yang sebagian orang sebut sebagai "koppig", keras kepala dan teguh pada pilihannya. Lalu ketika kita kecewa lalu menghujatnya sedemikian rupa. Seolah Jokowi satu2nya Dewa adalh formulasi pikiran, perpanjangan tangan, dan gerakan kaki milik kita.

 

Jokowi bisa saja jatuh di tengah jalan, ia bisa terserimpung oleh ulahnya. Tapi saya akan tetap menyisakan pikiran dan prasangka baik, sebagaimana cerita Cimon dan Piro. Tak banyak yang saya tahu, ada apa di balik semua cerita ini. Dan bagaimana akhir perjalanannya. Di masa sekarang ini, kecenderungan kita salah duga itu selalu lebih besar dari saat kita berbaik sangka.

 

Selalu, selalu, dan selalu.

 

Sebagai orang yang tak pernah mengambil untung apa pun, dengan dukungan saya terhadapnya selama 10 tahun terakhir. Saya memilih bersabar menunggu dan melihat apa yang kelak terjadi.

 

No comments: