Search

Tuesday, October 03, 2006

Wearing uniform, anyone?

Di tempat kerjaku—sebuah universitas swasta di Semarang—ada peraturan untuk memakai seragam. Semua karyawan—dosen dan non dosen—memakai seragam yang sama, merah untuk atasan pada hari Senin dan Rabu, biru untuk atasan pada hari Selasa dan Kamis, dengan bawahan hitam—rok untuk perempuan, dan celana panjang untuk laki-laki.

(“Apa esensi dari penyeragaman pakaian ini?” sebuah pertanyaan yang belum pernah terjawabkan.)

Beberapa tahun yang silam, tatkala peraturan memakai seragam ini mulai diberlakukan, aku pernah mewawancarai beberapa mahasiswa apa pendapat mereka tentang hal ini. Sebagian dari mereka ada yang cuek dan tidak ambil peduli (“yang penting mengenakan pakaian lah Ma’am,” canda mereka. LOL) ada yang menyambut hangat, namun banyak dari mereka yang tidak setuju; dengan berbagai macam alasan. Misal, “Bosen amat melihat semua dosen di depan kelas mengenakan baju yang sama. Tidak variatif sama sekali.” Ada juga yang mengatakan, “Kalau pegawai non dosen sih oke-oke saja, toh kita tidak berinteraksi dengan mereka setiap hari. Tapi kalau dosen kayaknya kok pemaksaan kehendak.” Dan ada juga yang mengatakan, “Kalau pun memakai seragam ini menjadi kewajiban, ya tolonglah dibedakan antara seragam untuk dosen dan non dosen. Kita mahasiswa kan kadang-kadang grogi kalau bertemu dosen di lift, atau di hall, atau dimana saja. Nah, kadang kita udah terlanjur grogi melihat seseorang yang berseragam, eh, ternyata hanya seorang pegawai non dosen. Mubazir amat nih perasaan groginya.” Huahahaha ...

Aku dan teman-temanku sefakultas yang mbalelo, paling malas mengenakan seragam, karena itu merupakan suatu opresi terhadap kebebasan memilih mengenakan pakaian sesuai karakter kita masing-masing. Maklum dosen Sastra, suka nyeni kan? LOL. Beberapa teman dosen perempuan suka mengenakan celana panjang dipadu dengan blus dan blazer dalam berbagai variasi warna, dan mereka sangat nyaman. Aku sendiri lebih merasa nyaman mengenakan rok panjang semata kaki dengan blus/blazer hitam, plus sepatu boots hitam dengan hak setinggi kurang lebih 7 cm. Kalau memakai sepatu boots dengan hak yang hanya 3 cm, atau kurang dari itu seperti memakai sepatu satpam. LOL. (Nah lo, stereotyping, eh? LOL.) Walhasil aku pun harus siap dikomentari “FUNKY” oleh orang. LOL.

Di tempat kerjaku yang lain—an English Course—tidak ada peraturan mengenakan seragam. Konon di kantor pusat di Jakarta pernah ada ide untuk menyediakan seragam untuk guru, dan ide ini langsung ditolak karena itu sama saja dengan pemasungan kreatifitas guru dalam memilih mengenakan pakaian yang sesuai dengan karakternya, selain pemaksaan menunjukkan karakter yang sama kepada para siswa, padahal tentu guru satu memiliki karakter yang berbeda dengan guru yang lain.

Jadi ingat beberapa tahun yang lalu ketika ada seorang ex student yang diterima menjadi guru di lembaga ini. Dia mengaku kepadaku, salah satu yang suka dia lakukan dengan teman-teman sekelasnya—ketika aku menjadi guru kelasnya—adalah memperhatikan caraku memadu-madankan pakaian dan sepatu yang sewarna, dan berapa pasang sepatu yang kira-kira kumiliki. LOL. (FYI, hal ini terjadi sebelum aku membentuk identitas diri sebagai “Ms. Black” LOL. Warna kesukaanku untuk pakaian, sepatu, dan tas adalah maroon, kemudian merah, dan hitam, selain beige.) Jikalau ada kebijakan bagi guru untuk mengenakan seragam, akan hilanglah kesempatan bagi para siswa untuk dengan “kurang kerjaan”nya memperhatikan cara berpakaian guru-guru. LOL.

Mengenai kegemaranku mengenakan busana serba hitam—bukan karena pengikut Permadi si paranormal LOL—ada banyak siswa yang bertanya, “Why black, Ma’am?”

Jawabanku bisa bervariasi, “People say that those wearing black always look elegant and charming.” Yang biasanya kemudian akan disambut dengan teriakan “huuuu....” oleh para siswa, terutama kalau aku berada di satu kelas baru. LOL.

Kadang-kadang aku menjawab, “Well, to make myself look slimmer.” LOL.

Kadang-kadang ada siswa bertanya, “Do you want to look gothic?” LOL.

Dan kujawab, “Oh well, not really. I just want to look mysterious, but not gothic.” LOL.

Jika menurut Angie kecil bahwa dokter seharusnya mengenakan pakaian dokternya ketika memeriksa pasien—agar lebih mantap, mungk in begitu pikir Angie kecil, LOL,--bagaimana dengan dosen? Seperti dalam postinganku beberapa hari lalu, yang penting adalah apa yang ada di otak seorang dosen yang akan dia bagikan kepada mahasiswanya, dan bukan apa yang melekat di badannya.

PT56 23.52 300906

No comments: