Search

Saturday, October 21, 2006

Superioritas Laki-Laki

Why do people get married?

Kembali ke pertanyaan klise yang beberapa bulan lalu cukup sering kubahas dalam blog.

Aku yakin seharusnya orang menikah bukan hanya karena ingin mengikuti norma masyarakat sebagai "orang yang normal" => setelah memasuki umur tertentu, seseorang harus menikah agar dianggap "normal".

Menikah bukan hanya untuk memiliki keturunan, karena tanpa menikah orang tetap bisa memiliki keturunan, asalkan they have sex, dan terjadi pertemuan antara sperma dan sel telur.

Menikah bukan hanya untuk mendapatkan "tunjangan menikah" dari tempat kerja.

Menikah bukan hanya agar memiliki legal partner to have sex, agar dianggap sebagai orang "baik-baik".

dan lain lain ...

Menurutku yang paling penting dari menikah adalah memiliki someone to talk to, someone to listen to, someone to rely on, seseorang yang bisa 'soothing' kita tatkala kita "panas" di luar, ketika seseorang membuat kita mangkel atau jengkel, atau tatkala kita merasa gembira, pasangan kitalah yang akan kita luapi kegembiraan itu pertama kali, untuk berbagi kebahagiaan tersebut.

Aku memiliki seorang rekan kerja laki-laki yang cara pandangnya menunjukkan bahwa sebagai laki-laki dia harus superior, dia harus mampu mengayomi istrinya, mencukupi segala kebutuhannya, harus "lebih" dari istrinya, dll. Kalau memang dia mampu, ya go ahead lah. It is not a big deal. Tapi kalau dia tidak--atau belum--mampu? Buat apa memaksa diri? Komunikasi dengan istri adalah jalan yang terbaik. Bukankah fungsi soul mate--istilah orang Inggris--atau sigaring nyawa--istilah orang Jawa--adalah untuk berbagi suka dan duka?

Rekan kerjaku ini sedang menanti kelahiran anak pertamanya. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya karena baru saja dia "diturunkan" statusnya dari karyawan kontrak menjadi karyawan part-timer. Dan dia merasa tidak sampai hati untuk memberitahu istrinya masalah ini. Beberapa hari lalu dia cerita istrinya minta dibelikan baju lebaran, dan dia tidak kuasa menolaknya.

He is a very good husband, that's for sure. Tapi, mengapa dia membuat beban di pundaknya lebih berat dengan tidak membaginya dengan soulmatenya? Apakah istrinya tidak akan mau mengerti kesulitan sang suami yang baik hati ini?

Aku sendiri selalu terbuka masalah keuangan dengan anakku. Sebisa mungkin aku membagi yang aku miliki dengan Angie. Kalau aku tidak punya uang, aku akan bilang terus terang kepadanya ketika dia minta dibelikan sesuatu dan dia selalu mengerti. Kalau aku punya uang berlebih, aku akan membelikan apa yang dia ingini. Bukankah hidup menjadi lebih mudah dan ringan?

Mengapa rekan kerjaku itu tidak segera "melepaskan" saja beban superioritas sebagai laki-laki yang selalu dia sandang? Seperti aku pun telah melepaskan superioritasku sebagai seorang Ibu di mata Angie.

FBS UA 12.00 201006

No comments: