Search

Wednesday, December 21, 2022

Sang Bucin yang Selingkuh

 


Ini kisah seorang kawan saya, bukan saya ya gaes. Ini mengacu ke tulisan yang saya beri judul "sinetron".

 

Kawan saya, panggil saja D, bercerita dia dan suaminya (panggil saja L) berpacaran cukup lama, sekitar 10 tahun. D kuliah di Jogja, pacarnya (yang kemudian menjadi suaminya) kuliah di Bandung. D, yang mengaku tipe perempuan yang tidak bisa punya pacar yang tinggal jauh, pernah bilang ke L untuk putus saja. Toh kalau berjodoh, mereka akan bersatu kembali. L tidak setuju untuk putus. Bahkan ketika D bilang, "aku ga bisa ga punya pacar," L bilang, "kamu boleh punya pacar lain, just for fun, di kota dimana kamu tinggal. Asal kamu menjaga komitmen kita untuk nanti bersatu."

 

Sepuluh tahun kemudian, D dan L menikah. Lima tahun pertama mereka hidup hanya berdua karena D tak juga kunjung hamil. Namun mereka tetap romantis. D yang bukan tipe orang 'morning riser' sering kali saat bangun pukul tujuh pagi sudah mendapati rumah yang bersih dan di meja makan ada makanan untuk sarapan. Sang suami yang kadang harus berangkat ke rumah sakit pukul enam pagi biasa bangun pagi-pagi sekali, membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk istri tercinta.

 

Setelah bangun pagi dan sarapan -- yang dimasak sang suami -- D melakukan household chores yang lain, termasuk menyiapkan makan malam. Jam kerja D -- dari jam 5 sore hingga jam 9 malam -- membuat D tidak bisa menemani sang suami makan malam bersama.

 

"Lah, punya suami dokter yang notabene penghasilannya mencukupi, buat apa D bekerja?" ya, L paham bahwa sang istri pun butuh mengktualisasi diri: bekerja sesuai passion dan skill-nya. Dan tentu saja axioma "duit istri ya milik istri saja, sedangkan duit suami juga menjadi milik istri" berlaku di pasangan D dan L ini.

 

Lima tahun kemudian D hamil dan punya anak pertama. D merasa hidupnya penuh berkah: memiliki suami yang cinta, penuh perhatian, dan akhirnya dia dan suaminya dikaruniai seorang anak laki-laki. Tiga tahun kemudian, anak kedua mereka, perempuan, kian melengkapi kehidupan keluarga kecil ini.

 

Tak lama setelah anak kedua lahir, L pun menyelesaikan studi sub spesialisnya. Dengan diperolehnya gelar sub spesialis ini, keuangan keluarga pun meningkat pesat. D pun kian sibuk merawat kedua buah hatinya, hingga tak perlu lagi bekerja. Semua kebutuhan keuangan jelas menjadi tanggung jawab sang suami.

 

Sang suami kian sibuk di pekerjaannya; demi karirnya kadang dia harus ikut international conference di negara manca, selain juga di kota-kota metropolitan dalam negeri. Nah, di saat inilah, konon L mulai tergoda tantangan kawan-kawannya: 'jajan'; menjajal PSK (yang konon) nomor satu di kota X. Sekali berhasil, dia pun mengulang lagi. Demikian terus menerus, hingga D pun tahu.

 

Di tulisan "sinetron" ada yang menulis komen, "sebaiknya jangan 'jajan', poligami saja lebih baik." D dan L memeluk agama yang tidak membolehkan poligami. Jadi, jelas L tidak poligami. Dan, di banyak kasus, biasanya, jika "hanya jajan" (dengan tanda petik), ini tidak akan berlangsung lama, mungkin hanya fisik yang terlibat disini, tanpa ada emosi dan hati yang ikut bermain. Poligami lain kali. Poligami adalah kisah ketidaksetiaan seorang laki-laki seumur hidupnya, dengan 'memanfaatkan' ayat-ayat di kitab suci untuk menyembunyikan ketidakmampuannya menjaga libido.

 

Di tulisan yang sama ada yang menulis komen, "yang penting kan suaminya pulang". Mungkin ada benarnya, tapi ini tidak berarti D akan pasrah saja. ada betulnya yang penting suaminya pulang, tapi dengan ketidaksetiaannya di luar rumah, D pun mematok peraturan: "kamu jangan pernah menyentuhku lagi! Aku ga mau ketularan jika kamu terkena penyakit!" D menggunakan surat nikahnya untuk terus menerus merasa berhak menerima uang untuk kebutuhan sehari-hari anak-anaknya, sekaligus dirinya sendiri.

 

"Anak-anakku sudah terbiasa hidup 'enak' mbak, aku ga mungkin memilih pisah dari suamiku jika itu berarti anak-anak akan hidup tanpa 'gelimang' uang. Aku memilih jalan ini (terus hidup dalam pernikahan yang tidak jelas) demi anak-anak, meski banyak orang yang mencibir, "ah dia mah cinta duitnya suaminya, ga mau hidup susah!" tapi apa mereka tahu apa yang sebenarnya aku rasakan?" kata D satu kali, saat curhat kepada saya. "Toh aku punya surat nikah yang bisa terus aku pakai untuk senjata," lanjutnya.

 

Demikianlah hidup ini. Selalu wang sinawang.

 

Ditulis dengan seizin yang mengalami sendiri.

 

PT56 11.33 21/12/22

 

No comments: