Search

Saturday, August 04, 2007

Elvaretta

I went to bed very late last night, almost 1am. It was not because I was still creative to express things crowding my mind in a form of writing. I was even idle, I was not a creator, just a consumer: I watched television! 


Bagi mereka yang mengenalku dengan baik—bahwa aku tidak suka duduk di depan kotak ajaib (I am no longer sure though whether people still consider television a magical box LOL)—tentu heran, ada magnit apakah yang membuatku rela duduk berjam-jam melototin monitor televisi di ruang makan, dan meninggalkan desktop kesayangan di kamar tidur? Mana banyak nyamuk di ruang makan ikut bersuka cita mendapatkan mangsa empuk—AKU. 


Magnit itu bernama acara PEMILIHAN PUTRI INDONESIA.


Well, sejak kapan Nana bersedia menonton acara beauty pageant macam ini yang bagi para SEBAGIAN feminis justru merendahkan kaum perempuan? Meskipun konon penilaiannya berdasarkan brain, behavior, and beauty, banyak orang menuduh acara pageant seperti ini hanyalah untuk mengukur berapa ukuran dada, pinggang, dan pinggul, dan bukan how brainy a woman is.


(Catatan: hanya SEBAGIAN, bukan SELURUH feminis. Ini tidak berarti bahwa para feminis suaranya terbagi menjadi dua, tidak. Menurut pendapatku pribadi, yang paling penting dan krusial dalam perjuangan kesetaraan jender yang dilakukan oleh para feminis adalah memberikan kesempatan yang adil kepada para perempuan untuk mengejar apa yang mereka cita-citakan dalam segala bidang; tentunya termasuk mengikuti acara beauty pageant. Seorang perempuan harus tahu bahwa mereka tetap bisa menjadi SUBJEK, dan tidak melulu menjadi OBJEK. Bahkan tatkala seorang perempuan menjadikan dirinya sebagai ‘objek’ dalam satu kasus dengan sadar, dia tetaplah memegang peran sebagai subjek dari dalam dirinya sendiri. Seorang Inul adalah SUBJEK yang menyihir para penontonnya dengan goyang ngebornya.


Contoh kecil: tatkala the second wave of women’s movement in 1960s kaum feminis “memerangi” pilihan sebagai seorang housewife (perempuan selalu menjadi pihak yang ‘dikalahkan’ dalam satu perkawinan karena ego laki-laki yang selalu ingin menjadi lebih dibanding perempuan yang biasanya dapat direalisasikan dalam sebuah institusi perkawinan; seperti kata Dennison “Marriage is an institution that robs a woman of her individuality and reduces her to the level of a prostitute”) kaum feminis beberapa dekade setelah itu melihat pilihan untuk menjadi seorang housewife juga merupakan sesuatu yang harus dihormati dan bukan lagi ditertawakan. Seorang feminis tidak selalu harus berkonotasi anti perkawinan, lesbian, memilih pekerjaan yang maskulin, dll.)


Kembali ke PPI (Pemilihan Putri Indonesia). Ada magnit apa dalam PPI semalam? Kebetulan wakil Jawa Tengah yang bernama Elvaretta Nathania Gunawan (baru akhir-akhir ini aku NGEH nama lengkap Elva LOL) adalah salah satu ex student of mine in my ex workplace (you can read my post I entitled UTOPIA di blog http://afeministblog.blogspot.com to know why I no longer worked there).
Kurang lebih satu tahun yang lalu Elva bercerita tentang ambisinya untuk mengikuti PPI, karena Nadine Chandrawinata—Putri Indonesia 2005—inspired her. Kalau Nadine yang berwajah bule itu (yang tentu saja tidak menunjukkan keeksotisan kecantikan perempuan Indonesia) bisa terpilih sebagai Putri Indonesia, mengapa Elva tidak berpeluang? Menurutku pribadi, Elva tentulah mampu mewujudkan impiannya tersebut mengingat dia merupakan salah satu mahasiswa yang cukup menonjol dengan kecerdasan yang di atas rata-rata mahasiswa lain, selain memang tinggi tubuhnya yang menonjol, 178cm. Bukan melulu karena wajah cantiknya yang kebule-bulean. 


Kekalahan Nadine dalam ajang Miss Universe—dengan melakukan kesalahan yang cukup fatal menurutku, membuat dia menjadi bulan-bulanan media maupun milis-mlis di tahun 2006 lalu—kupikir akan sedikit menyurutkan niat Elva. Media pun menuduh pihak PPI bersifat kekanak-kanakan dengan memilih Nadine sebagai Putri Indonesia justru karena tubuhnya yang tinggi semampai dengan wajah kebule-bulean, dengan alasan “Agar terlihat di antara finalis-finalis Miss Universe yang lain.” Media pun berujar bahwa seharusnya PPI memilih finalis yang berwajah eksotis khas Indonesia.


Sekitar satu setengah bulan yang lalu dalam profile friendsternya, Elva menuliskan, “Frends, aku mewakili Jawa Tengah dalam PPI. Doakan aku ya?” Wah ... she really pursued her dream? I was amazed. She dreamed of following Nadine’s step, and she did real things to make her dream come true. (Bandingkan denganku yang bermimpi menulis novel, ataupun menulis buku untuk diterbitkan dan sampai sekarang I don’t do any real things yet. Dasar lelet!!! LOL. A perfectionist procrastinator!!!)

I wished Elva all the best. I wished she could represent Indonesia in Miss Universe pageant. Meskipun tentu saja cemoohan media terhadap Nadine membuatku kurang yakin. Jikalau Nadine terpilih sebagai Putri Indonesia 2005 karena wajahnya yang kebule-bulean, jangan-jangan Elva justru terjegal karena hal yang sama.


Semalam tatkala dia masuk ke sepuluh besar, aku biasa-biasa saja, tidak terlalu excited, karena dengan kualitas yang dimiliki Elva, dia memang pantas—dan harus—masuk ke sepuluh besar. Maklum lah, kata pepatah tidak kenal maka tidak sayang. aku tidak kenal para finalis dari propinsi yang lain, ya wajar kan kalau aku tidak menjagokan mereka? LOL. Namun tatkala penjurian di tingkat 10 besar ini, finalis dari Sumatra Utara, Duma Riris Silalahi, cukup menarik perhatianku dengan her smart answer, confidence, tidak terlihat grogi sama sekali, meskipun dia ketiban sampur untuk maju nomor satu. (Jadi ingat pelatih modelling Angie yang selalu ingin Angie maju nomor satu untuk langsung mencuri perhatian para juri tatkala Angie kecil dulu sering ikut lomba fashion.) Duma bakal menjadi pesaing ketat bagi Elva, menurut penjurianku sendiri. LOL.



Aku cukup bangga tatkala Elva mampu melewati 10 besar dan terpilih sebagai salah satu finalis lima besar. Jawaban Elva akan pertanyaan Dewi Motik Pramono yang berhubungan dengan global warming pun sangat meyakinkan, kata terakhir terucap di detik 29, dari 30 detik yang diberikan. Karena yang kujagokan hanya dua—Elva dan Duma—aku jadi tidak begitu memperhatikan jawaban ketiga finalis lain, kecuali finalis Jatim yang terlihat grogi tatkala menjawab pertanyaan juri. I directly ren-penciled her.


Namun ternyata selepas tengah malam, entah aku yang ngantuk, atau para juri di JCC yang ngantuk, LOL finalis Jatim—Putri Raesmawati—yang terlihat grogi tatkala menjawab pertanyaan juri justru masuk tiga besar, dan langkah Elva harus terhenti di situ. Duma masih melaju ke babak ke tiga besar. Aku menjagokan Duma untuk menjadi Putri Indonesia 2007.


Pertanyaan terakhir yang diucapkan oleh Ferdy Hasan untuk ketiga finalis, “Apa beda pahlawan dan pecundang?” ternyata merupakan pemicu keberuntungan bagi Putri Raesmawati. Jawabannya, “Beda pahlawan dan pecundang adalah bahwa pahlawan mati hanya satu kali dalam hidupnya, sedangkan pecundang mati berkali-kali” memukai dewan juri di JCC, bukan di rumahku yang berlokasi di PT56. LOL. Di babak puncak ini, Duma terlihat agak grogi, padahal jawabannya menurutku lebih cerdas dibandingkan Putri. Jawaban paling mengecewakan bagiku dilontarkan oleh Tri Handayani, wakil DKI, “Pahlawan karena mereka sedang beruntung, pecundang karena mereka sedang sial.” In some cases, memang ada orang yang mendapatkan gelar ‘pahlawan’ karena keberuntugnan semata, namun toh tidak bisa dipukul rata seperti itu?


(Contoh: Siapakah seorang Pangeran Diponegoro? Dia adalah pahlawan di mata orang Indonesia, dan beliau berjuang dengan keras, bukan semata-mata karena keberuntungan kita menyebutnya sebagai pahlawan. Di mata orang Belanda memang dia adalah seorang pemberontak. Siapakah seorang Datuk Maringgih dalam SITTI NURBAJA? Dia adalah seorang lelaki bandot tua yang suka daun muda, an antagonist, oleh karena itu harus dibinasakan. Demikian tulis Marah Roesli yang menulis novel itu berdasarkan ‘pesanan’ pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan bila kita menggunakan teori poskolonial, Datuk Maringgih adalah seorang pahlawan, karena dalam novel tersebut dikisahkan menentang Belanda, a protagonist, isn’t he?)


Jawaban Putri “seorang pecundang adalah seseorang yang mati berkali-kali”, bisa diinterpretasikan (read it between the lines) adalah seseorang yang memiliki determination yang sangat tinggi. Mencoba satu hal, gagal (atau mati), dia akan bangkit lagi, mencoba di bidang lain, gagal lagi? (mati lagi) bangkit lagi, mencoba lagi. STOP TRYING IS NOT A CHOICE. Bukankah ada kata pepatah, “Kegagalan adalah sukses yang tertunda?”)


Well, Elva, you did not fail. You have done a very great job. And I am very proud of you, just like your parents, your friends, and the citizens of Central Java. Go on pursuing your dream.


PT56 12.15 040807


P.S.: Especially written for Elvaretta Nathania Gunawan

No comments: