Search

Sunday, November 08, 2020

Daddy's princess

 


"Every girl may not be the queen to her husband,
but she is always a princess to her father."

 

Waktu 'menemukan' meme ini, aku ingat seorang kawan (laki-laki) yang nampak memiliki hubungan yang begitu romantis dengan anak perempuannya. Aku juga ingat seorang teman sekolah dulu yang juga memiliki pengalaman yang mirip. Kemudian aku share meme itu di satu grup alumni, postingan itu mendapatkan 'reaction' lebih dari 200, dan puluhan komen yang semua mendukung pernyataan itu. Bahkan ada satu komen yang mengatakan bahwa dia memiliki 3 anak perempuan, dan semuanya adalah princess baginya.

 

Hubunganku dengan almarhum ayahku dulu tidak seromantis kawan sekolah yang kutulis di atas. Ayahku mungkin termasuk tipe orangtua jadul yang membuatnya merasa perlu menjaga citra di depan anak-anaknya. Begitu aku mengingat beliau. Tapi tentu aku tidak tahu bagaimana perasaan beliau terhadapku, anak perempuan pertamanya. (kakakku 2 laki-laki, yang satu meninggal di usia 5 bulan, yang satu meninggal tahun 2019, di usia 53 tahun. 2 adikku perempuan semua.) Meskipun begitu, aku ingat, cerita ibuku bahwa ayahku begitu bahagia ketika tahu bahwa anak ketiganya perempuan, ketika menggendongku pertama kali, beliau memanggilku, "Nona." mungkin begitu kaum laki-laki Gorontalo memanggil anak perempuan pertamanya? Ibuku yang 'mengubah' nama NONA menjadi NANA karena katanya satu saat nanti setelah dewasa, dan aku menikah, mosok akan dipanggil, "Ibu Nona", atau 'Nyonya Nona". Hihihi …

 

Tidak banyak yang kuingat dari hubunganku dengan ayahku.

 

Waktu SD -- kelas 1, 2, 3 -- ayahku yang mengajariku dan kakakku membaca Alquran. Aku yang dikaruniai otak lebih encer dibanding kakakku bisa dengan mudah membaca huruf-huruf hijaiyah itu, maka ayahku nampak tidak pernah emosi ketika mengajariku, namun beliau sering nampak emosi ketika mengajari kakakku. Ah … jadi ingat, waktu kecil dulu aku dan kakakku akrab sekali. Jika kakakku dimarahi ayah, aku yang menangis, sampai beliau bingung, yang dimarahi kakaknya kok yang nangis adiknya. :)

 

Ayahku juga yang mengajari Matematika saat masih SD. Beliau mengajari aku dan kakakku, membuatkan soal-soal cerita, dll. Aku selalu dengan mudah mengerjakannya, sedangkan kakakku harus mati-matian mengerjakannya. (Padahal beliau sibuk bekerja, tapi masih sempat mengajari membaca Alquran dan Matematika.)

 

Waktu lulus SD (MI Al-Khoiriyyah 1 Semarang), ayahku menawari aku melanjutkan sekolah di sekolah yang sama atau ke Muhammadiyah, seperti kakakku. Aku tidak mau satu sekolah dengan kakakku, lol, maka aku memilih melanjutkan ke SMP (Madrasah Tsanawiyah) Al-Khoiriyyah, ayahku mengiyakan. Namun ketika ada seorang kawan mengajakku mendaftar ke SMP N 1 Semarang, aku bilang ke ayahku, dia langsung antusias, dan membolehkanku. Syukurlah aku keterima, ga jadi balik ke sekolah lama, lol.

 

Saat duduk di bangku SMP, aku ikut kegiatan ekstra kurikuler karate (karena terinspirasi tokoh2 di komik milik Kho Ping Hoo yang dulu disewa oleh kakak sepupuku yang pernah mondok di Gontor, namun selama libur Ramadhan tinggal di Semarang). Ketika ada tes kenaikan (aku ingat dulu diadakan di STM Pembangunan, kadang di masjid Baiturrahman) ayahku yang mengantar dan menunggu sampai selesai.

 

Saat lulus SMP, dan akan mendaftar SMA, aku ingin melanjutkan ke SMA N 3, satu sekolah favorit. Ayahku menawar, "Tidak ke SMA N 6 saja?" beliau khawatir jika aku tidak keterima di SMA N 3 karena setahun sebelumnya, kakakku gagal diterima di sekolah yang terletak di seberang balaikota Semarang itu. Aku jawab, "Trust me, I know my capability." (eh, tidak dalam Bahasa Inggris ding, dalam Bahasa Indonesia saja, :) ) dan, ya, aku diterima.

 

Waktu akan penjurusan menjelang semester 2, ayahku menyarankan aku masuk ke IPS, diam-diam beliau ingin aku kuliah di Fakultas Hukum. "Jadilah hakim yang adil, seorang hakim kaki kanannya ada di surga, kaki kirinya ada di neraka, jadi terserah Nana, mau memilih seorang hakim yang adil atau sebaliknya." namun aku tidak tertarik. Kemudian ayahku menawar, "Ambil Ekonomi saja, Nana ga ingin bekerja di Bank kayak Papi?"  Tapi aku yang keras kepala tetap ingin masuk jurusan Bahasa. Dan ayahku yang demokratis membiarkan aku masuk jurusan yang aku idamkan.

 

Saat dapat formulir pendaftaran PMDK, diam-diam aku mendaftar di Universitas Gadjah Mada Fakultas Sastra jurusan Sastra Inggris. Aku diam-diam melakukannya karena khawatir orangtua tidak akan mengizinkanku keluar kota. Namun setelah ada pengumuman resmi aku diterima di UGM, waktu pulang dari sekolah, aku langsung ke kantor ayahku, mengabarinya, "Nana keterima di UGM." dan beliau bengong, hihihi. Tentu aku jauh lebih dekat dengan ibuku, namun saat itu, entah mengapa, aku lebih memilih mengabari ayahku terlebih dahulu, baru pulang ke rumah. Sorenya, saat ayah pulang dari kantor, ibuku mengabari, "Nana keterima di UGM.' ayahku dengan tenang menjawab, "Sudah tahu, tadi siang Nana ke kantor, ngabari." hihihi …

 

Tanpa aku tahu, 2 tahun setelah aku lulus SMA, ayahku pensiun. Seperti orang-orang lain yang pensiun, tanpa aku tahu, ayahku sebenarnya merasa gelisah akankah keuangannya cukup untuk membiayai 4 orang anak, dengan 1 anak kuliah di luar kota. Yang aku tahu 'hanya' kekhawatiran orangtua anak perempuannya akan kuliah di luar kota. Ibuku sempat bilang, "Ga usah lah melanjutkan kuliah di Jogja. Di Semarang saja." aku beralasan ini itu itu ini. :)

 

Meskipun begitu, saat akan dikarantina selama 2 hari (saat itu, calon mahasiswa yang keterima via PMDK dikarantina selama 2 hari ketika lulusan SMA lain tes masuk perguruan tinggi, yang saat itu disebut SIPENMARU, seleksi penerimaan mahasiswa baru), ayahku yang mengantar ke Jogja. Kita menginap dua malam di rumah (eks) kawan kerja ayah yang pindah ke Jogja.

 

Tahun 1987, ayahku berangkat naik haji sendiri. Waktu seorang sepupu yang sedang kuliah di Jogja bertanya, "Kenapa Tante Ida ga berangkat sekalian bareng Om?" aku jawab, "Karena Mami harus menjaga 3 orang anak di rumah," sepupuku bilang, "Loh, kan bisa bilang sama saya. Nanti saya akan ke Semarang untuk menjaga adik-adik."

 

Tahun 1988 gantian ibuku yang berangkat naik haji. Saat ini ayahku sudah pensiun. Kebetulan waktunya berbarengan dengan libur panjang semester genap, maka selama ibuku pergi, aku di Semarang. Ayahku mengajariku menyetir mobil, mencarikan SIM A untukku. Hampir tiap pagi kita pergi ke pasar belanja, aku benar-benar menggantikan posisi ibuku di rumah selama satu bulan lebih.

 

Tahun 1989 bulan September ayahku meninggal, setelah dirawat di rumah sakit selama kurang lebih satu minggu, itu adalah pertama kali ayahku sakit dan dirawat di rumah sakit. Saat pertama kali dibawa ke rumah sakit, beliau bilang, "Tidak usah ngabari Nana, nanti dia tidak bisa konsentrasi kuliah." namun  ibuku akhirnya menulis surat mengabari (belum ada telpon di rumah, juga belum ada telpon di rumah kos yang kutinggali) bahwa ayahku masuk rumah sakit. Surat dikirim hari Jumat, sampai kos hari Sabtu siang. Setelah membaca, aku langsung pulang ke Semarang. Tidak ada yang menunggu beliau di rumah sakit karena dengan halus beliau mengusir ibu dan kakak adikku saat bezoek di sore hari, "Sana kalian pulang. Nanti kalau Nana pulang, rumah dalam kondisi terkunci, Nana tidak bisa masuk rumah," demikian cerita ibuku.

 

Aku tidak punya firasat apa pun, jadi setelah sampai Semarang, aku tidak merasa perlu harus langsung ke rumah sakit untuk menjenguk ayahku. Kebetulan aku sampai rumah tak lama setelah ibu dan kakak adikku sampai rumah. Ketika kita sedang ngobrol-ngobrol di ruang makan, tahu-tahu ada utusan dari RS Telogoredjo datang, meminta kita ke rumah sakit. Ayahku 'nglimpe' kata ibuku. Beliau ingin istri dan anak-anaknya pulang karena beliau ingin pergi tanpa memandang wajah penuh isak tangis di sisinya. Mungkin.

 

Mungkin yang memiliki waktu-waktu 'romantis' dengan ayahku hanya aku, dibanding kakakku dan dua adikku. Kakakku mungkin tidak merasa begitu nyaman dengan ayahku karena pengalaman waktu kecil dulu, ayahku nampak lebih sayang kepadaku dibanding dia. Sedangkan dua adikku masih lebih kecil, apa lagi adik bungsuku, tidak banyak yang dia ingat dari ayahku; saat ayah kita meninggal, dia baru berusia 12 tahun.

 

Mungkin saja ayahku memandangku sebagai his princess, meski beliau tidak seromantis ayah kawan SMAku.

 

Al fatihah, Papi. Rest in peace forever. I love you.

 

PT56 18.48 06/11/2020

 

No comments: