Search

Sunday, November 08, 2020

P a s s i o n

 


Beberapa waktu lalu seorang kawan medsos menulis tentang 'passion'; dia memberi definisi passion sebagai sesuatu yang kita lakukan karena kita suka; kita tetap akan melakukannya meski (1) kita tidak dibayar (2) butuh waktu dan energi untuk melakukannya.

 

Seketika aku berkaca pada diriku sendiri. Satu kali duluuu aku pernah berkata bahwa aku ingin mengajar/berbagi ilmu dengan yang lain sampai pada hari terakhirku menghembuskan nafas. Waktu aku kuliah di program studi "American Studies" di Universitas Gadjah Mada, ada seorang dosen senior yang masih mengajar, tahun itu usianya mencapai angka 70 tahun dan masih nampak sehat dan bahagia duduk di depan kelas di hadapan sekian puluh mahasiswa. Dia langsung menjadi role model bagiku.

 

Mengajar

 

Kupikir pasti 'teaching' adalah passion-ku.

 

Sekian tahun berlalu. Sekarang aku mulai berpikir-pikir untuk mengaku bahwa teaching is my passion. Apakah (1) aku akan tetap mengajar meski tidak dibayar? (2) akankah aku menghabiskan waktu dan energi tanpa dibayar untuk berbagi ilmu dengan orang lain?

 

Pandemi covid 19 yang ternyata berlarut-larut ini membuatku berpikir ulang akankah aku tetap mengaku bahwa teaching is my passion. Sekian bulan aku menganggur di rumah, tidak ada kelas yang kuampu, dan aku menjadi malas ngapa-ngapain; apalagi cukup dengan 'rebahan' aku bisa menjadi pahlawan kesehatan. Hihihi …

 

 

Setelah berpikir-pikir, aku sampai ke kesimpulan (sementara): bahwa mengajar itu kan tidak harus berarti kita pergi ke satu tempat, kemudian bertemu dengan sejumlah orang yang menjadi siswa/mahasiswa. Yang penting adalah terjadi transfering knowledge to others. Sebelum pandemi, aku cukup sering bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawan. Saat-saat demikian itu, di tengah-tengah obrolan, akan sangat mungkin terjadi kita saling bertukar informasi, bisa jadi sampai ke pengetahuan ini itu itu ini. My main interest sih jelas tentang kesetaraan jender dan spiritualitas; dua hal yang dulu (saat mengampu kelas 'conversation' dimana kadang aku memberlakukan 'free topic to discuss') sering juga aku jadikan pembahasan.

 

Namun, jika teaching ini memasukkan syarat pergi ke suatu tempat, membutuhkan waktu sekian menit/jam, dan tidak dibayar, apalagi perginya ke satu institusi resmi, ya aku ga mau dong ya. Hihihi …

 



 

Menulis

 

Kawan medsos yang kusebut di paragraf pertama kemudian menyebut bahwa menulis adalah passion-nya. Dia akan tetap menulis sampai kapan saja, meski tidak dibayar.

 

Ahaaa … kayaknya itu cocok buatku!

 

Pertama kali membuat blog di akhir tahun 2005, di satu situs yang kemudian hilang. Tentu aku menulis ini untuk membagikan apa yang ada di otakku kepada pembaca. Saat itu lumayan banyak orang yang membaca tulisanku (situs ini ber-home-based di England) dan menulis komen. Tentu aku senang sekali. Meski aku tidak dibayar, meski untuk mengunggahnya di blog aku kudu ke warnet, mengeluarkan biaya sekian ribu rupiah per jam (masih jarang, atau mungkin nyaris belum ada wifi dimana-mana), menanggung resiko mungkin disket bakal terkontaminasi virus, lol.

 

Mungkin karena seperti kata Charlotte Perkins Gilman, seorang penulis Amerika yang lahir di abad 19, bahwa "writing is cure", aku menemukan kepuasan tersendiri setelah menyelesaikan satu tulisan. Entah apakah akan ada yang membacanya, aku tidak peduli. Dan jelas aku tidak peduli apakah aku dibayar atau tidak, aku akan tetap menulis.

 

Saat aku malas 'mempekerjakan' otak untuk menulis sesuatu yang 'serius' yaaa minimal aku akan menulis pengalamanku bersepeda kesini kesana kesitu kemari. Pokoknya menulis, kemudian mengunggahnya di blog atau media sosial lain.

 



Bersepeda

 

Selain menulis, aku berpikir bersepeda itu juga passion bagiku. :D

 

Beberapa kali ketika dolan bersepeda antar kota antar propinsi dengan Ranz, aku bertemu orang yang 'menginterogasi' kegiatan kita bersepeda berhari-hari, yang intinya adalah bagaimana mungkin seseorang bisa dolan berhari-hari di tanggal-tanggal yang tidak berwarna merah, dan nampak nyantai, apakah kita dibayar untuk itu? Jadi, pekerjaan kita adalah bersepeda dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain. Dan jika dibayar, siapa yang membayar? Untuk apa?

 

Menghadapi orang-orang seperti itu, biasanya aku dan Ranz Cuma senyum-senyum saja. Tapi saat kita hanya berdua dan memperbincangkan tentang hal itu, kita akan tertawa, namun sembari berharap, "Kapan kita beneran dibayar hanya untuk sepedaan?"

 

Nah, karena kita bersepeda dengan suka cita, tidak dibayar, untuk kemudian mengabarkan pada dunia bahwa salah satu cara menikmati hidup adalah bersepeda dan mengenali kota-kota yang kita lewati dari atas sadel sepeda, berbagi foto-foto lokasi yang eksotis dan cantik, yang berarti juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membaca kisah kita atau melihat foto-foto hasil jepretan Ranz (mostly), bisa kan jika kukatakan bahwa bikepacking is also my passion?

 

Memasak

 

Akhir-akhir ini, gegara pandemi dan aku menjadi pengangguran full time, lol, entah mengapa aku mulai iseng memasak masakan yang sebelum pandemi belum pernah kumasak. Misal: pempek, selat Solo, ayam rica, ayam betutu, capcay, sup jagung, dll. Dan … yang bahagia dengan kegiatanku yang baru ini tak lain dan tak bukan tentu Angie, anakku. Setiap hari dia membawa bekal makan siang ke kantor, dan selepas lebaran tahun 2020, ibunya kian bervariasi memasak untuknya, ga melulu hanya sup sosis, sosis goreng, ayam goreng dan sambal bawang, tumis buncis. Hahahah …

 

Apakah memasak bisa menjadi passion-ku juga? Well, mungkin saja, tapi tentu hanya untuk keluargaku, terutama untuk Angie. Untuk orang lain? Hmmm … pikir-pikir dulu, karena aku ga pede dengan masakanku, eh, belum pede. Hahahahahah … eh, kalau pun pede, mungkin aku ga akan seantusias jika dibandingkan dengan harus bersepeda, harus menulis. Hohoho …

 

Jadi?

 

Yaah … kesimpulannya adalah bahwa passion-ku itu menulis dan bersepeda. Yeay. :D

 

PT56 18.04 08/11/2020

 


No comments: