Search

Wednesday, March 13, 2019

Dating Single Moms?

Bromo, August 2023
 
Tulisan ini merupakan respon tulisan serupa di link ini, yang ditulis oleh seorang single mom dari kultur Barat. Respon ditulis oleh seorang single mom yang hidup di kultur Timur, berdasarkan pengalaman pribadi, dengan cara berpikir yang mungkin ga Timur-Timur amat. :D

Ada minimal sembilan poin yang ditulis mengapa dating single moms tidak semudah orang kira. :) Kesembilan poin itu ditulis tentu berdasarkan pengalaman seorang perempuan yang tinggal di negeri Barat. (Amerika apa ya?) Mungkin tidak semua akan kutulis responnya, hanya poin-poin yang 'mungkin' hanya dialami oleh seorang single mom di Indonesia.

  1. First of all, don't call us MILFs.

Bagi yang mungkin sangat inosen dan belum tahu singkatan apakah MILF itu, perlu saya jelaskan bahwa MILF itu singkatan dari "Moms I'd like to f*ck" atau mungkin lebih 'simpel'nya kata itu bisa diartikan "objek seks".

15 tahun lalu, saat saya masih super inosen, lol, saya punya kenalan seorang laki-laki yang masih berusia di awal 20-an. Dia bilang, laki-laki seusia dia sangat suka ngedate dengan perempuan yang berusia di atasnya, yang sudah (pernah) menikah, karena satu hal: mereka akan mendapatkan kepuasan seksual dengan mudah, karena perempuan-perempuan itu tak perlu lagi membentengi 'selaput dara' mereka yang jelas-jelas sudah sobek. LOL. (Dengan asumsi, semua perempuan yang sudah menikah telah melakukan 'coitus' dengan pasangannya masing-masing lho ya.)

Dan seperti kata salah seorang sobatku "semua laki-laki inginnya satu 'itu' mbak, jangan terlalu inosen dong"; satu 'petuah bijak' lol yang dia sampaikan padaku hampir 20 tahun yang lalu, saat saya masih jauh lebih inosen dibandingkan 15 tahun yang lalu. Kekekekeke …

Experiences mature people, do you agree?

Sangat mengesalkan, bagi saya pribadi, you know, jika semua laki-laki yang tertarik pada single moms selalu didasarkan pada satu hal ini. Kalau pun sampai satu hal ini terjadi itu adalah bonus, namun bukan hal utama. Jangan terlalu berpikir bahwa semua single moms segitu desperate-nya karena dianggap jablay hingga mau-mau saja diajak gituan. Lebih mengesalkan lagi jika seorang laki-laki terlihat sok moralis (di awal), "saya ga akan ngajak yang engga2 kok," tapi baru juga 2/3 minggu berlalu, sudah ngajakin phone sex.

  1. We haven't lowered the bar

Para single moms tidak segitu desperate-nya lah untuk mendapatkan pasangan (ngedate) sehingga merendahkan standar, apalagi jika dianggap berpikir, "siapa saja boleh deh, yang penting ada yang mau." LOL.

Ini masih ada hubungan dengan nomor satu di atas juga. Jangan dikira hanya dengan dikirimi gambar/meme/video "I need you badly" atau "teganya dirimu nyuekin aku" kita akan mudah luruh. Apalagi dikirimin foto diri yang sedang horny, kemudian dikira kita akan serta merta ketularan horny dan menjawab, "oke deh, yuk." You must be pulling my leg. LOL.

Kecuali, ini mungkin lho ya, kecuali jika memang kamu seorang laki-laki yang ganteng dan sexy-nya seperti Freddie Mercuri di usianya yang pas matang, sekitar 35 - 38. apalagi jika ditambah tajir, hingga ketika ngedate, ga perlu mikirin duit. Kekekekeke …

  1. We are not Daddy shopping

FYI, mungkin tidak sedikit laki-laki yang tidak siap ditinggal istri -- entah karena meninggal atau perceraian -- bukan hanya karena kebutuhan seks namun terutama tidak tahu kudu ngapain untuk membesarkan anak seorang diri. Hingga, bahkan di kencan yang pertama, telah berbisik ke telinga calon pasangannya, "Aku ingin kamu menjadi ibu anak-anakku." Bagi sebagian perempuan, mungkin kalimat itu terdengar sangat sweet dan cute, lol, namun bagi perempuan lain kalimat itu mengesankan betapa tidak bertanggungjawabnya si laki-laki. Ketika memutuskan untuk punya anak, siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, harus siap untuk menjadi single parent, untuk mengantisipasi apa pun yang bakal terjadi.

Well, mungkin ada juga single mom yang mencari calon suami untuk membantunya membesarkan analk-anaknya, terutama dalam bidang finansial, tapi jangan digebyah uyah dong, bahwa semua perempuan seperti itu.


  1. Even if you pay, dates cost us too

Di artikel yang asli, untuk poin ini, si penulis menulis pengalamannya ketika dia harus membayar lebih mahal untuk menyewa 'baby sitter' yang akan menjaga anaknya ketika dia ngedate dengan seorang laki-laki. Pengalaman ini membeberkan bahwa ketika kencan, meski si laki-laki yang membayar -- makan, minum, dll -- bukan berarti si perempuan tidak mengeluarkan uang sepeser pun.

Di Indonesia, mungkin situasinya berbeda. Masih banyak single moms yang 'mungkin' mudah meninggalkan anak-anak untuk berkencan, karena mereka masih tinggal dengan anggota keluarga yang lain. Atau mungkin anak bisa dititipkan ke tetangga, dengan memberi buah tangan ketika usai kencan dan menjemput anak dari tetangga. Atau, anak-anak diajak sekalian, mungkin akan menjadi momen yang tepat untuk mengenalkan anak-anak dengan calon pasangan sang ibu. Eh? LOL.

  1. No glove, no love

Kondom, seharusnya dianggap sebagai sahabat mereka yang 'sexually active', tak hanya untuk pencegahan kehamilan di luar pernikahan, namun terlebih lagi untuk benteng agar tidak tertular penyakit seksual.

Sudah tahu kan 'penemuan' yang mengejutkan sekian tahun lalu bahwa banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV? Hal ini memberi kita 'pelajaran' bahwa suami-suami para ibu rumah tangga itu menularkan penyakit itu kepada istri-istrinya dari melakukan hubungan seks yang tidak aman -- alias tanpa kondom -- di luar rumah, entah dengan pekerja seks, atau dengan siapa lagi.

Jika para ibu-ibu rumah tangga itu saja harus melindungi diri dari berbagai penyakit menular -- misal dengan meminta sang suami menggunakan kondom -- apalagi para single moms, yang bakal terkena permasalahan yang lebih berat jika mereka tertular penyakit seksual, siapa yang akan merawat anak-anak, dan biaya pengobatan yang tidak sedikit, plus time consuming.

Nomor ini bisa jadi merupakan kelanjutan poin satu dan dua di atas. Jika seorang laki-laki telah dianggap 'lulus screening'  hingga bisa membawa seorang single mom ke tempat tidur, jangan lupa sedia kondom. :)

  1. We are not looking to raise another kid

Terdengar egois ya? Tapi, siapa pun boleh egois dong, tak hanya laki-laki. :D

Tidak semua single moms menginginkan pasangan untuk mencarikan 'ayah pengganti' buat anak-anak mereka lho. Banyak dari mereka yang 'hanya' ingin memiliki hubungan yang sehat, antara laki-laki dan perempuan. Nah, ini berarti mereka pun tidak berarti siap untuk menjadi ibu tiri/sambung anak-anak si laki-laki.

Ini adalah hal penting, jadi benar-bear butuh dibahas di awal hubungan. What kinda relationship do the two people want? Jika dua-duanya tidak keberatan untuk menjadi ayah/ibu tiri bagi anak-anak pasangannya, ya go ahead. Namun, jika salah satu tidak menginginkan hal ini, jangan dipaksakan. Mending putus di awal sebelum segalanya kian runyam.

  1. Go over your hang-ups about co-parenting

Ada banyak pasangan yang meski telah berpisah, mereka tetap committed untuk membesarkan anak-anak mereka bersama-sama. Hal ini berarti memungkinkan mereka untuk terus berhubungan, terutama untuk membahas tentang apa-apa yang dikaitkan dengan anak-anak. Jadi, jangan mudah baper jika pasanganmu berhubungan dengan eks suami/istri. Mungkin mereka hanya berdiskusi tentang anak-anak, dan bukan apakah mereka akan CLBK. :D

Namun, jika calon pasanganmu benar-benar tak lagi berhubungan dengan mantannya. Berbahagia lah. Kamu tak perlu merasa cemburu tak penting karena mantan ini.

  1. Our kids come first but we don't come last

Bagi banyak single moms (tidak semua ya) anak-anak jauh lebih penting dibanding hal-hal lain sehingga sebelum mereka mengambil keputusan untuk mau menikah lagi, perasaan anak-anak adalah poin utama untuk menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa para single moms itu menganggap diri sendiri tidak penting. Mereka juga penting. Maka, satu hal sangat penting sebelum memutuskan menikah lagi adalah apakah pernikahan (baru) itu akan memberi rasa nyaman bagi mereka, sekaligus untuk anak-anak. Apakah dalam pernikahan yang baru para perempuan ini tetap cukup punya waktu (dan dana) untuk menyenangkan diri sendiri, tak melulu harus mengurus pasangan (yang baru) dan anak-anak, apalagi jika ditambahi dengan anak-anak dari pasangan (yang baru).

Saya mengenal dan mendengar cerita banyak perempuan yang menikah lagi hanya dengan mementingkan perasaan mereka sendiri, dan mengesampingkan perasaan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan sebelumnya. Atau bahkan mengingkari kenyataan bahwa mereka punya anak dengan cara menitipkan anak-anak kepada orangtua, agar bebas untuk menikah lagi. Hal seperti ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar di kemudian hari. Jadi, sebaiknya dihindari deh.

  1. We have so much less time to waste

Single moms yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial tentu tak punya waktu luang hanya untuk berhura-hura. Mereka tentu telah mempertimbangkan segala hal secara matang sebelum melakukan ini itu itu ini. Jika kencan dengan seorang laki-laki hanya akan membuang-buang waktu, dan tak ada manfaatnya, tentu mereka lebih memilih menghabiskan waktu dengan anak-anaknya. Atau menikmati 'me-time' dong. :)

Mengacu ke paragraf di atas, jika seorang laki-laki hanya tertarik pada seorang perempuan namun tak mau menerima anak yang akan dibawa si perempuan itu dalam pernikahan, sebaiknya tidak usah bermain-main dengan perempuan ini. Tak semua single moms punya waktu luang untuk main-main tidak jelas. Trauma seorang anak yang tidak diinginkan oleh sang ibu karena sang ibu memilih menikah dengan laki-laki lain, ketimbang merawat dan membesarkan anaknya sendiri akan menghasilkan trauma-trauma lain, dan korban-korban lain.

gambar diimpor dari sini


Women were born to nurture, not to get nurtured?

Saya pernah membaca pernyataan ini somewhere, tapi lupa dimana. Oke, bila dihubungkan dengan satu waktu sekian ribu tahun yang lalu, setelah kaum perempuan menemukan teknologi bercocok tanam, saat dimulainya dikotomi area kekuasaan: laki-laki di luar rumah untuk berburu binatang, perempuan di rumah untuk bercocok tanam (di ladang sekitar tempat tinggal). Namun, konon, sebelum teknologi bercocok tanam ditemukan (oleh kaum perempuan), tentunya laki-laki perempuan sama-sama berburu dong? Ketika kemudian perempuan mulai bercocok tanam, mengapa mereka harus mendadak menerima 'takdir' sebagai nurturer? Bukan lagi hunter?


Dalam drama "The Cocktail Party" karya T. S. Eliot, ada satu tokoh perempuan, Celia, yang panggilan jiwanya adalah to love others, to dedicate her life for others. Kebahagiaan yang sempurna dia dapatkan setelah mendarmabaktikan hidupnya sebagai "sister" di satu komunitas pagan. Sementara itu, dalam novela "The Yellow Wallpaper" karya Charlotte Perkins Gilman, sang tokoh utama, perempuan tak bernama, dikisahkan sebagai seorang perempuan yang bahkan tak mampu mencintai anak yang dia lahirkan sendiri.

"Personal is political"

Prinsip kaum feminis ini cocok diterapkan dalam segala situasi. Perempuan adalah makhluk sempurna, complete, dan memiliki hak penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, apakah dia akan menjadi seorang nurturer, hunter, atau apa pun juga. Tanpa laki-laki dalam hidupnya, dia telah 'complete; tanpa memiliki anak, dia juga makhluk 'complete'. Dengan memiliki pasangan hidup, atau mungkin anak, tak akan membuatnya 'lebih lengkap' ketimbang tidak punya.

LG 11.54 06-Mar-2019


No comments: