Search

Tuesday, November 15, 2011

Obrolan 'biasa'

Beberapa bulan terakhir ini di lapak sebelah aku bergabung dengan grup SMP N 1 Semarang angkatan 1983 (lulus tahun 1983). Sebenarnya 'pengalaman' ketika bergabung dengan grup ALSTE 1986 (alumni SMA N 3 Semarang lulus tahun 1986) membuatku agak malas berhubungan lagi dengan 'teman-teman' lama karena belum tentu 'click' lagi (misal dalam tulisanku yang ini. Namun karena entah mengapa, akhirnya toh aku ga nolak juga ketika dimasukkan ke dalam grup alumni SMP ini.

Seperti di grup Alste '86, di grup SMP pun aku semula anteng-anteng saja, tidak ikut posting di wall grup atau pun komen di wall post maupun di foto reuni yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. (Aku dengan sengaja tidak ikut hadir.)

Namun cerita akhirnya melenceng dari yang kurencanakan semula, (yakni bersembunyi di pojokan sambil nonton teman-teman lain berinteraksi) Semua gara-gara sang panitia 'reuni setelah 30 tahun' memunculkan foto-foto alumni per kelas, kemudian secara acak foto-foto itu diposting satu persatu, lengkap dengan nama lengkap, waktu kelas 3 masuk kelas yang mana, plus alamat. Aku pun penasaran mengasah ingatanku yang ternyata terbukti parah.

Dan aku mulai komen dari satu foto ke foto yang lain.

Sampai ketemu dengan seorang teman ex sekelas dulu yang kebetulan masih ingat aku dengan baik. Dan obrolan biasa khas bertemu 'teman lama' pun terjadi.

Dia bertanya, "Anakmu berapa Na?"

Entah mengapa aku selalu merasa 'terselamatkan' dengan keadaan bahwa aku punya anak satu jika seseorang dari masa lalu bertanya hal ini. Mengapa aku harus merasa 'terselamatkan'? Karena toh ternyata aku tetap saja tidak atau belum bisa melepaskan 'stigma' bahwa orang-orang seusiaku tentu akan dilabeli 'kasian yaaa belum punya anak ...' atau 'kasian yaaa umur segini belum laku juga' (emang jualan?)

Aku menjawab, "Satu."

Dia, "Anakku sudah tiga Na. Yang paling besar umur 4 tahun. Yang paling kecil 1,5 tahun."

Aku sempat heran sebenarnya, dia satu angkatan denganku, yang berarti usianya sama dong denganku, atau paling tidak yahhh ... jarak satu dua tahun lah. (zamanku belum ada kelas 'akselerasi' yang membuat seseorang bisa menyelesaikan sekolah yang harusnya ditempuh 3 tahun menjadi 2 tahun). Ini berarti untuk anak bungsunya dia hamil dan melahirkan di atas usia 40 tahun, usia yang riskan untuk seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan.

Namun toh, hal ini kupendam saja. Well, people have their own business, don't they?

Aku, "Anakku sudah besar, usianya 20 tahun. Sekarang sudah kuliah di Psikologi Undip semester 5."

(bingung mau jawab apa, maka ya kalimat itu lah yang keluar. )

Dia, "Lho? Anakmu kok sudah besar sekali?"

GLEG!

Aku jadi bingung. Kok begitu komentarnya yak? Dan aku yang terlalu terbiasa mencoba membaca between the lines atau mengira-ira ada apa di balik kelambu, langsung pikiranku menerawang jauh, apa maksud komentarnya itu?

Padahal mungkin saja dia berkomentar itu hanya sekedar komentar saja ya? Tanpa dia pikir panjang sebelumnya. (Maka, yang kupikir adalah mengapa orang ngomong asal ngomong saja ya? Ga dipikir apa akibatnya? hadeeeeehhhh ...)

Aku, "Aku menikah usia 23 tahun. Punya anak usia 24 tahun."

Dia, "Oooo ..."

Dan entah mengapa, 'usil'ku pun kumat, untuk 'membalas' keasal-njeplakannya.

Aku, "Lha, anakmu kok masih kecil-kecil?"

hihihihihi ...

Namun toh aku tetap saja merasa ga enak hati karena telah bertanya sesuatu yang mungkin akan membuatnya merasa tidak nyaman. Maka kalimat tanya itu segera kusambung dengan, "Berarti kamu melahirkan pada usia yang sudah sangat riskan ya? Ckckckck ... Kamu pemberani sekali mengambil resiko."

*curcol biasa ga penting.

PT28 18.18 141111

No comments: