Search

Tuesday, June 07, 2011

Sorry pal! No more click between us!

 

SORRY PAL, NO MORE CLICK BETWEEN US!

Terinspirasi curhat Febbie. Dia berkisah tentang ketidaknyamanan yang dia temukan tatkala kembali berinteraksi dengan teman-teman lama, SD, SMP, dan SMA. Mungkin juga teman-teman kuliah dulu. Hal ini membuatnya berintrospeksi diri: adakah yang salah dalam dirinya? Adakah dia telah menjelma sebagai teman nan sombong? De el el.

Dan aku pun ketularan kepengen curhat. LOL.

Di tahun 2005 dalam kelas ‘American Intellectual History’ seorang dosen tamu dari Michigan bertanya, “Have you ever found out why you did not want to marry your highschool boyfriend/girlfriend?” Kemudian professor satu ini berkisah tentang sekelumit kisah masa lalunya. Ketika duduk di bangku SMA, dia memiliki pacar yang kebetulan (katanya) paling cantik satu sekolahan sehingga dijuluki ‘Barbie’. (Kau tahu mengapa ‘Barbie’ kan? Entah disetujui atau tidak oleh seluruh makhluk di kolong langit ini, boneka Barbie dianggap sebagai representative kecantikan yang sempurna, mulai dari rambut yang panjang ikal dan tebal, mata yang bentuknya sempurna seperti buah almond, hidung yang mancung, bibir tipis merah menawan, pipi kencang yang tidak menggelambir, leher nan jenjang, tubuh yang proporsional dengan lekuk pinggang yang membuat kaum lelaki ‘straight’ berdecak, dada yang penuh ranum, pantat yang berisi, dan kaki panjang nan seksi.)

Kebetulan dosenku ini bernama Kenneth yang dipanggil Ken. Maka cocoklah pasangan ini mendapatkan gelar ‘Barbie and Ken from the school’, dimana banyak siswa di sekolah itu pantas merasa iri.

Selulus SMA, Ken dan Barbie melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Ken yang cerdas bergaul dengan orang-orang sejenisnya (seleksi alam?). Membaca buku-buku yang menunjang kuliahnya, berdiskusi dengan orang-orang yang (mungkin) selevel dengannya, yang haus akan ilmu pengetahuan (sesuai interest), dan lain sebagainya yang membuat cara berpikirnya berkembang sesuai prosedur-prosedur yang dia jalani.

Di sisi lain, Barbie yang semakin menyadari pesona fisiknya terus menggenjot pesona fisiknya sebagai satu hal yang sangat penting, maka dia pun bergaul dengan orang-orang yang cara berpikirnya sama; yang kebetulan kemudian membentuknya menjadi seseorang yang berperilaku dan bercara pandang yang jauh berbeda dengan Ken. Kalau pun dia membaca buku-buku, maka tentu buku-buku tersebut berbeda dengan apa yang dibaca Ken. Exposure-exposure yang dia dapatkan dalam kehidupannya sehari-hari tentu saja jauh berbeda dengan yang didapatkan oleh Ken.

Maka bisa dibayangkan tatkala Ken dan Barbie bertemu lagi. No more click! No more sparks!

*****

Facebook sebagai networking site yang lumayan berpengaruh di banyak kehidupan orang sejak tahun 2009 telah membuahhasilkan banyak reuni di kalangan masyarakat mana pun. Paling tidak yang kuamati di antara online buddies yang kudapati di ‘contact friend’ku. Berbeda dengan friendster yang bergaung cukup hebat antara tahun 2004-2008 dimana entah mengapa orang lebih cenderung menggunakan fake name dibanding real name, tak banyak reuni yang dihasilkan dari booming FS. Di FB entah mengapa banyak orang menggunakan real name manakala mereka memang berniat untuk menelusuri jejak teman-teman lama, dengan apapun alasan yang mereka miliki untuk terhubung dengan mereka kembali. (Meski akhirnya banyak juga kudapati banyak akun yang menggunakan fake name di FB. Aku yakin mereka yang termasuk kelompok ini tidak berkehendak terhubung dengan teman-teman lama. Hanya mereka sendiri yang tahu alasan masing-masing mengapa menggunakan nick ‘palsu’.)

Aku pun sempat terbengong-bengong mendapati banyak teman lama (baca ? SMA) memiliki akun di FB. “How wonderful FB is to connect old friends,” aku sempat berpikir seperti ini di tahun 2009. Di tahun yang sama pun aku menghadiri reuni SMA satu angkatan, yang dijadikan sebagai ‘embryo’ reuni yang lebih besar, reuni perak tahun 2011.

Sedikit background zaman aku duduk di bangku SMA tahun 1983-1986. Penjurusan IPA/IPS/Bahasa dimulai dari kelas satu semester dua. Praktis aku mengenal yang bukan di jurusanku hanya dalam kurun waktu kurang lebih enam bulan. Aku masuk jurusan Bahasa yang di angkatanku hanya ada 4 siswa satu kelas, dua perempuan, dua laki-laki. Bisa dibayangkan jika wajahku lumayan familiar di kalangan teman-teman seangkatan karenanya. Maka ketika menghadiri reuni ‘kecil’ tahun 2009 itu, aku memperkenalkan diri dengan, “Aku Nana, jurusan Bahasa,” manakala bertemu dengan orang yang telah lupa/pangling denganku. Maka mereka pun akan ingat. 

Saat itu yang hadir kurang dari 50 orang, dan aku sudah merasakan ketidak’click’an dengan yang lain. Aku merasa berada di daerah antah berantah. I could not enjoy the atmosphere but the delicious food. ? Obrolan yang ada jauh dari yang menjadi interestku. Mau berbicara tentang masa lalu, kebetulan hanya aku seorang yang hadir dari jurusanku, 75% yang lain tidak hadir. 

Satu kali secara kebetulan aku bertemu dengan teman seangkatan yang kebetulan dulu kelasnya terletak di samping kelasku. She remembered me very well, sedangkan aku ‘hanya’ ingat wajahnya. Setelah tahu kita seangkatan, dan kelasnya berada di samping kelasku, dia pun mengingatkanku lagi hal-hal konyol yang ‘katanya’ dulu sering kulakukan. 

“Kamu dulu waktu SMA tuh naksir Efendi atau Yusdi sih Na?” tanyanya polos. wakakakakaka ... Did I? Hohohoho ... Yang aku ingat dulu teman sekelasku naksir seseorang di kelasnya. Bukan aku.

Beberapa ‘reuni kecil’ yang diadakan setelah itu sebagai rapat untuk merencanakan reuni perak yang pernah kuhadiri sempat membuatku jengah manakala berbincang tentang hal-hal yang bagiku “engga banget’ deh. LOL. Misal, to kill time and the insecure atmosphere, aku membawa novel “Manjali dan Cakrabirawa”. Seorang rekan yang lihat, bertanya, “Buku apa Na? Primbon?” wakakakakaka ... (maaf beribu maaf para pembaca, aku tidak bermaksud merendahkan para pemuja buku primbon, namun itu bacaanku waktu SD-SMA. Di usia sekarang membaca buku itu sangat engga banget dah buatku. Qiqiqiqiqi ...)

Di saat lain, waktu rapat entah bagaimana kisahnya obrolan menjalar ke ‘komunitas’ jurusan IPA/IPS/Bahasa dimana kemudian dikotomi kaum cerdas versus kaum kurang cerdas disinggung-singgung. Karena dikotomi inilah maka teman-teman yang jurusan yang bukan kalangan orang cerdas merasa rendah diri untuk datang reuni untuk berbaur dengan yang lain. (Can anyone explain to me about this? )

Ketika beberapa teman tahu Angie anakku sekolah di sekolahku dulu, mereka berkomentar, “Anakmu pinter ya Na? Sekarang kan sulit banget diterima di SMA 3?” tapi ketika mereka tahu Angie masuk jurusan IPA, mereka berkomentar – entah bercanda entah serius – begini, “Benar-benar anak cerdas ya? Ga kayak nyokapnya yang ‘hanya’ masuk jurusan Bahasa.” (note => penggunaan tanda apostrophe sebagai penekanan dariku. Hihihihi ...)

Duapuluh lima tahun telah berlalu. Mengapa cara pandang mereka masih seperti itu ya? So pathetic. Belum lagi yang terlibat obrolan denganku lewat chatbox beberapa bulan lalu tentang usahanya cari istri lagi dengan alasan yang terlalu naif. (Baca di link ini.) There are still some other reasons that made me shocked, but let me keep them all by myself.

You can curse me as an intellectual snob. LOL. Moreover I am not a sociable person. I would rather be a recluse dah than socialize with such people.

 Nana Podungge
A graduate of one kinda most favorite public high school in my hometown,
a single parent,
an agnostic
and a feminist
GL7 14.00 030611

No comments: