Search

Wednesday, June 08, 2011

Penumpang versus Kondektur


Penumpang: bukankah mereka memiliki hak memilih?

Sejak Angie kuliah di Fakultas Psikologi yang kampusnya terletak di daerah Tembalang di tahun akademik 2009/2010, kita berdua shared our beloved though old motorcycle. ? Karena lokasi kampusnya yang paling pojok dari kawasan Universitas Diponegoro – dekat kandang sapi pula – maka Angie pun lebih ‘menguasai’ motor dibandingkan aku. Kebetulan sekolah tempat aku berbagi ilmu sejak tahun ajaran 2008/2009 terletak di pinggir jalan raya yang dilewati Angie sehingga aku biasa turun di seberang lokasi sekolah setiap kali kita berdua berangkat bareng di pagi hari dan kemudian Angie melanjutkan perjalanan.

(FYI, ke tempat kerjaku di pagi hari ini aku jarang naik si Orange, realistis ajah. Hihihi ... ini alasan yang kupakai untuk ngeles: jarak rumah – sekolah sih tidak jauh, hanya sekitar 8,5 kilometer. Namun karena trek yang menanjak, aku butuh waktu sekitar satu jam gowes dari rumah ke sekolah. Ini berarti kalau naik sepeda aku harus berangkat dari rumah jam lima pagi agar sampai sekolah jam enam hingga aku masih punya waktu satu jam untuk mandi, bersih-bersih diri, ganti baju, sarapan, dll. Jam ‘kerja’ dimulai jam tujuh. Nah, frankly speaking, berangkat dari rumah jam 5 pagi gowes naik tanjakan letter S di jalan Rinjani itu membuatku merasa unsafe karena tentu masih sepi. Aku biasa gowes ke kantor di tempatku ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sejak tahun 1996 di sore hari. Jam kerjaku di sini jam 17-19, kadang 17-21. Biasanya pulang dari sekolah, aku masih sempat pulang ke rumah, mandi, kemudian berangkat kerja lagi.)

Di tahun ajaran pertama – tahun 2009/2010, pertama kali Angie jadi mahasiswa – biasanya Angie pulang dari kampus terlebih dahulu. Sore, seusai jam kantor jam 15.00, aku pulang naik bus sampai di lapangan Kalisari dimana Angie menjemputku untuk kemudian pulang ke rumah bersama. Semula aku naik bus kota – baik yang damri maupun yang lain. Tentu jika bisa memilih, aku lebih suka naik bus damri yang berase karena tidak perlu bergelut dengan rasa panas. Selain itu juga tidak pake ‘ngetem’ yang bikin bete. Namun tidak selalu bus damri yang datang terlebih dahulu tatkala aku dalam masa penantian sehingga sering juga aku naik bus kota yang lain yang sering ngetem audzubillah lamanya.

Satu kali seorang rekan kerja mengajakku berjalan ke arah utara terlebih dahulu, melewati pasar Jatingaleh. Dia ‘mengajariku’ naik bus luar kota yang datang dari Salatiga maupun Ambarawa yang tidak melewati depan sekolah karena harus masuk jalan tol. Meski harus ‘bersusah payah’ berjalan terlebih dahulu kearah utara selama kurang lebih 3-5 menit, bus yang datang dari dua kota di sebelah Selatan Semarang ini memiliki dua kelebihan: pertama, tidak pakai ngetem (karena mereka langsung muter ke jalan dokter Cipto untuk kembali ke arah Selatan setelah melewati pasar Johar), dan ongkos lebih murah seribu rupiah dibandingkan ongkos naik bus kota.

Di tahun ajaran 2010/2011, Angie lebih sering ngendon di kampus atau pun di kos teman kuliahnya hingga jam 15.00 maka di tahun kedua Angie kuliah ini aku sering pulang bareng dia setelah dia jemput. Namun toh once in a while kadang aku masih perlu naik bus. Seperti dua hari yang lalu, Senin 6 Juni 2011. Pengalaman dua hari lalu inilah yang utamanya ingin kuceritakan di tulisan ini.

Bahwa terjadi rebutan penumpang antara bus kota non damri dengan bus-bus kecil yang datang dari Salatiga atau pun Ambarawa sebenarnya sudah pernah kudengar. Itu sebab kadang tidak mudah bagiku mencegat bus yang datang dari dua kota ini. Mereka seperti jual mahal mendapatkan calon penumpang karena mereka ternyata ogah berurusan dengan bus-bus kota lain. Namun toh aku tetap saja ndableg mencoba mencegatnya, jika memang tidak ada bus damri yang lewat. ?

Dua hari lalu setelah dicueki kondektur dari dua bus dari dua kota itu, (dan aku nyueki banyak kondektur bus kota lain) akhirnya ada bus dari Salatiga yang berhenti pas di depanku karena harus menurunkan penumpang. Dengan hati lega dan gembira aku naik bus itu dan duduk manis di deretan kursi di belakang, ngabarin Angie agar jemput aku di lapangan Kalisari 10 menit kemudian.

Kurang lebih 5 menit setelah itu, ketika bus menurunkan penumpang, ada bus kota yang berhenti pas di belakang bus yang kunaiki. Sang kondektur bus kota di belakang nyamper ke bus yang kunaiki sambil ngomel-ngomel dan memaksa turun seorang penumpang perempuan yang kebetulan naik bus yang sama denganku setelah aku, namun dia memilih berdiri di dekat pintu.

“Tadi masih ada satu penumpang lagi yang kamu rebut dariku!” teriak si kondektur bus kota sengit sambil memandang ke seluruh penjuru bus. Ketika dia menatap wajahku, dia berseru, “Ibu yang itu!”

Kondektur itu telah berhasil memaksa penumpang perempuan setelah aku untuk pindah ke bus dia, tapi aku males lah harus pindah, mana aku sudah duduk PW pula. Maka aku pelototin mata dengan mimik wajah galak. Dan benarlah, dia langsung ngacir tanpa berani memaksaku untuk pindah.

Jika saja bus kota non damri itu tidak ngetem, tentu aku ga perlu bersusah payah berjalan ke arah utara untuk kemudian naik bus yang datang dari Salatiga maupun Ambarawa. Tinggal berjalan keluar sekolah dan menunggu bus kota lewat.

Tapi masak penumpang tak memiliki hak untuk memilih bus atau angkutan kota yang akan dinaiki?
GL7 13.15 080611

No comments: