Search

Wednesday, September 01, 2021

Isolasi Mandiri

 ISOLASI MANDIRI

Akhirnya, covid 19 pun datang ke rumahku. Bukan aku, atau Angie, tapi suami adik bungsuku yang 'ketiban sampur' kali ini.
Rumah yang kutinggali ini adalah rumah warisan orangtua. Aku dan keluarga pindah kesini tanggal 17 April 1981. alhamdulillah rumah ini cukup luas, dan kami (aku dan keluarga) biasa 'membagi' (secara visual) rumah ini menjadi 'rumah bagian depan' (ada 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu dan 1 ruang keluarga) dan 'rumah bagian belakang' (ada 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang makan, 1 dapur). Selain itu, masih ada halaman samping di sebelah Selatan rumah yang cukup luas untuk kami menggerakkan badan selama terpaksa isolasi mandiri dengan limpahan sinar matahari yang cukup. Di sisi Utara rumah (samping ruang makan) juga ada sedikit ruang terbuka yang biasa kami pakai untuk menjemur baju setelah dicuci. Sedangkan untuk suami adikku berjemur, dia bisa melakukannya di halaman depan rumah, di ujung Selatan yang juga terkena sinar matahari selepas pukul 08.30 pagi.
Awal mula covid 19 datang, 5 Juli saat suami adikku ke Weleri untuk urusan pekerjaan. Disana bertemu dengan seorang kolega. Hari itu juga dia pulang ke Semarang; keesokan hari berangkat ke Weleri lagi. Menginap disana beberapa hari, baru pulang hari Sabtu 10 Juni, dengan keluhan, "tubuhku terasa tidak enak."
Hari gini, saat covid19 tersebar dimana-mana, tentu kami sekeluarga langsung 'alert'. Adikku langsung menginstruksikan suaminya untuk memakai masker selama di rumah, terutama saat keluar dari kamar. Wiken itu dia masih mandi di kamar mandi belakang. Sebenarnya aku ingin langsung memintanya tidak perlu ke rumah bagian belakang, tapi kami sekeluarga masih belum yakin apakah dia hanya sekedar tidak enak badan karena kelelahan atau karena terpapar virus.
Hari Senin 12 Juli, dia berangkat lagi ke Weleri. Stay disana beberapa hari dan mengabari bahwa tubuhnya kian terasa tidak enak. Adikku pun melarangnya untuk pulang ke Semarang, agar tidak menulari yang tinggal di rumah. Sekitar hari Jumat 15 Juli adikku mengabari pak RT tempat tinggal kami tentang kondisi suaminya, pak RT pun melarang suami adikku untuk pulang. 🙁 Kemudian adikku berpikiran untuk menghubungi pak RT dimana suaminya sedang berada, di Weleri, dengan harapan satgas covid yang berada di Weleri bersedia 'mengurusi' suaminya.
Singkat cerita, hari Senin 19 Juli, suami adikku memaksakan diri untuk pulang ke Semarang karena ternyata petugas puskesmas yang terletak dekat rumahnya di Weleri bilang takut untuk datang ngecek. 🙁 pak Lurah yang pernah positif covid 19 pun takut datang, khawatir terinfeksi lagi. 'Untung'nya perjalanan pulang ke Semarang lancar, -- tidak ada 'cegatan' yang katanya berlapis-lapis di jalan menuju masuk kota Semarang. Kami yang ada di rumah sudah siap 'menyambut'nya, 2 anak-anak (usia 7 dan 10) alhamdulillah mudah diberi pengertian untuk tetap berada di rumah bagian belakang. Kamar depan dipakai untuk isolasi mandiri. Yang isoman masih bisa bergerak lumayan leluasa; selain di kamar, ada kamar sebelah yang dihubungkan oleh pintu 'dalam' plus kamar mandi. Dia juga bisa keluar ke teras. Syukurlah teras cukup luas sehingga tidak akan 'menakuti' orang-orang lewat jika mereka tahu ada yang positif covid 19 di rumah kami, dan yang sedang isoman berjemur di teras.
Untuk makan, adikku meletakkan makanan di ruang tamu dibungkus kertas makanan, atau plastik. Di kamar untuk isoman sudah disediakan piring dan sendok. Adikku dan suaminya tidak berpapasan, meski tentu ketika adikku meletakkan makanan di ruang tamu, dia mengenakan masker, dan langsung membasuh tangan dengan hand sanitizer setelah kembali dari ruang tamu menuju belakang.
Tanggal 19 Juli itu suami adikku swab antigen di klinik Hasna, dan hasilnya positif. Saat adikku mengabari pak RT, ternyata dia malah mengomeli adikku yang mempersilakan suaminya kembali ke rumah. 🙁 namun, kemudian dia melaporkan pada satgas covid di RT kami, dan memberi kami bantuan berupa beras 5 kg, minyak goreng 1 liter, beberapa bungkus mie instant, satu kaleng kecil korned dan setengah kg gula pasir. Kisah beberapa kawan tentang 'jaga tangga' di daerahnya yang siap mengantar makanan siap makan sehari 3 kali tidak ada di RT kami; atau ada tetangga yang mengantar sayur-sayuran untuk kami masak sehingga kami tidak perlu keluar rumah juga tidak ada. Meskipun begitu, kami tetap bersyukur karena ada tukang sayur langganan yang kiosnya terletak di ujung gang 9 (rumah kami di ujung gang 😎 bersedia mengantar sayur mayur dan lauk yang kami pesan lewat WA ke rumah beberapa kali.
Sementara itu, dengan usaha menghubungi temannya yang pernah menjalani karantina, adikku mendapatkan nomor telpon beberapa orang yang bisa dihubungi untuk meminta akses bisa masuk karantina di rumah dinas Walikota. Ini karena suami adikku merasa kurang nyaman isolasi mandiri di rumah. Alhamdulillah hari Rabu 21 Juli ada kabar baik ada kamar kosong di rumah dinas Walikota. Karena tidak ada ambulance yang siap menjemput (semua ambulance sibuk), suami adikku berangkat ke rumah dinas Walikota naik taksi online. Alhamdulillah sopir grab yang kami pesan, tidak keberatan membawa pasien positif covid 19.
Sementara kami semua tetap stay di rumah bagian belakang, (kamar tempat isoman plus ruang tamu tetap tidak kami jamah sama sekali), kadang adik bungsuku masih keluar rumah karena keperluan sekolah 2 anaknya. Kebetulan si Adek baru keterima kelas 1 SD negeri dekat rumah, plus si kakak yang baru naik kelas butuh buku-buku yang harus dibeli.
Hari Minggu 25 Juli sore, aku dan Angie keluar rumah, Angie harus swab antigen dahulu sebelum hari Senin 26 kembali 'work from office' setelah WFH satu bulan. Sesampai rumah, adikku mengabari ada kabar dari rumah dinas Walikota bahwa suaminya dianggap sudah cukup sehat sehingga diminta untuk pulang. Dengan catatan masih tetap harus jaga jarak dengan yang lain, isoman masih berlangsung sampai 2 minggu sejak dia dinyatakan positif covid 19. Kenyataannya, kami sekeluarga memintanya untuk tetap jaga jarak sampai 2 minggu setelah 25 Juli itu.
Alhamdulillah masa isolasi mandiri sudah usai. PPKM sungguh tidak terasa memberatkan sama sekali jika kita telah merasa menjadi 'tawanan di dalam rumah sendiri'. Well, at least, buat kami sekeluarga.
Semoga kita semua selalu diparingi kesehatan oleh Yang Maha Kuasa, dan kita mampu memanfaatkan kehidupan kita untuk kemaslahatan bersama, bagaimana pun itu caranya. Amin.
N. B.:
Keterangan foto, aku tetap berusaha menyalakan 'strava' selama harus isolasi mandiri dengan berjalan kaki di halaman samping rumah, sekalian berjemur, kadang sendiri, kadang 2 keponakan ikut menemani berputar-putar. Well, dari pada tidak bergerak sama sekali, ye kan?
Semarang, 10 Agustus 2021




No comments: