Search

Tuesday, March 19, 2019

Beradaptasi


Ada orang yang beradaptasi dengan lingkungan -- baik yang dia masuki dengan sengaja maupun merupakan konsekuensi pilihan -- dengan cepat, ada yang lambat, namun aku yakin juga ada yang stagnan.

gambar diambil dari sini

Pernikahan termasuk salah satu lingkungan yang sejenis ini. Banyak orang menikah tanpa menyadari bahwa dengan pernikahan, mereka memasuki satu fase kehidupan baru dengan lingkungan yang bisa jadi berbeda dari yang mereka bayangkan semula. Yang mereka bayangkan lebih sering seperti yang didongengkan dalam fairy tales, yang sialnya hanya dikisahkan, "after getting married, they live happily ever after". Dan dongeng berhenti di pesta pernikahan. Seolah setelah menikah, tak ada lagi kisah tentang pertengkaran, air mata, dan lain sebagainya. Padahal tentu sudah banyak contoh yang bisa kita lihat di sekitar kita, betapa orang hidup itu sering dirongrong pertanyaan, "kapan menikah?" setelah menikah, pertanyaan selanjutnya adalah, "kapan punya anak?" setelah punya anak yang pertama, "kapan punya anak lagi? Masak punya anak Cuma satu?" dan seterusnya … dan seterusnya. Emang enak dirongrong terus menerus oleh orang-orang yang bahkan tak membantu apa pun dalam kehidupan kita, kecuali nyinyir?

gambar diambil dari mojok

Lingkungan 'baru' yang tak diantisipasi ini akan membuat seseorang melakukan hal-hal yang tanpa dia pahami akan menyebabkan orang-orang lain yang ada di sekitarnya ikut serta menjadi korban. Seorang laki-laki yang shocked mendapati kehidupan pernikahan akan memperlakukan istrinya dengan tidak semestinya; hal ini juga bisa terjadi sebaliknya. Jika keduanya 'lulus' dalam lingkungan yang baru (pernikahan) belum tentu mereka akan lulus dalam fase selanjutnya, punya anak. Di kultur patriarki yang masih berpandangan bahwa mengurus anak adalah tanggung jawab seorang perempuan sepenuhnya, akan membuat seorang laki-laki tak perlu merasa ikut membantu istrinya mengurus anak. Jika sang istri mengalami post-partum depression, kehadiran anak -- yang mungkin lahir atas keinginan keduanya, atau hanya merupakan resiko dari tindakan coitus yang pasangan ini lakukan -- bisa menyebabkan sang istri menjadi korban, jika sang istri baik-baik saja, namun secara mental si laki-laki belum siap punya anak, dan tidak tahu harus 'ngapain' setelah sang anak dilahirkan, akan membuat anaknya menjadi korban.

Banyak orang memandang pengalaman pribadinya bagaimana orang tua mereka memperlakukan mereka sebagai anak menjadi satu landasan memperlakukan anaknya. Memang kadang hal ini berhasil menjadikan seorang anak memiliki kepribadian dan karakter yang baik, namun tak semua pengalaman sang orangtua cocok jika diterapkan pada anak mereka. Apalagi zaman telah berubah. Seseorang yang dilahirkan di dekade enampuluhan -- misalnya -- namun baru punya anak di awal abad milenial, dan tetap memandang pengalaman pribadinya dibesarkan oleh orangtuanya di dekade tujuhpuluhan sampai delapanpuluhan sebagai acuan memperlakukan anaknya yang merupakan generasi Z tentu akan sangat tidak tepat.

Bagaimanakah menyadarkan orang agar tak membuat orang lain menjadi korban dari apa yang mereka lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja?

LG 11.41 19-Mar-2019


No comments: