Search

Thursday, July 19, 2018

Membaca "Semua untuk Hindia"

di blog sebelah, aku menulis aku tengah kehilangan antusiasme untuk menulis kisah mbolangku. tapi, eh, memang aku juga jarang sepedaan sekarang. hanya bersepeda ke kantor. well, tentu saja bike to work terus kujalankan, namun bersepeda di hari Minggu, apalagi mbolang berdua dengan Ranz, sangat jarang kulakukan akhir-akhir ini.


namun, untunglah, aku tidak kehilangan keinginan untuk membaca. beberapa minggu yang lalu, aku, angie, bersama dua adikku dan dua keponakan jalan-jalan ke satu toko buku, dan aku membeli beberapa buku. satu buku yang selama beberapa minggu terakhir menghuni tasku berjudul "semua untuk hindia" karangan iksaka banu, satu buku yang dilabeli sebagai buku kumpulan cerpen berlatar belakang sejarah. untuk menulis ini, iksaka banu melakukan riset mendalam dari buku-buku sejarah yang ada.

satu cerita yang pertama kali menarik perhatianku -- hingga aku termangu-mangu seusai membacanya -- berjudul "stambul dua pedang". aku membacanya sambil membayangkan satu masa yang telah berlalu sekian puluh atau ratus tahun. ada ya kisah cinta segitiga seperti itu di waktu yang begitu lampau. tapi, well, kisah cinta memang tak akan pernah bergeser jauh, tidak ada yang baru dalam kisah cinta, seharusnya begitu kan ya.

well, meski berlatar sejarah, aku yakin semua kisah di buku itu fiktif belaka, aku mengakui iksaka banu -- satu nama yang baru saja kukenal beberapa bulan terakhir ini karena seorang kawan medsos mempromosikannya -- sangat piawai meramu alur dan konflik cerita. aku yang pernah belajar sastra pun terpana, terutama ketika si laki-laki bule belanda mengaku mencintai perempuan pribumi yang dia cintai sebagai perempuan seutuhnya, bukan hanya sekedar menjadikannya seorang 'nyai', namun benar-benar seorang istri.

satu cerita yang kubaca di pinggir sungai banjirkanal barat, seusai ngeloop bkb sekian kali naik sepeda, berjudul "semua untuk hindia" judul yang diambil sebagai judul buku. latar belakang kisah ini adalah perang puputan di bali. well, aku sudah pernah mendengar tentang perang puputan, tentang sekelompok orang (keluarga istana) yang tidak mau melawan penjajah belanda, dan memilih mati secara terhormat. bahkan ketika mereka ditembak oleh penjajah, dan hampir mati, mereka melempar kepeng atau perhiasan kepada tentara penjajah yang "membantu mereka cepat mati". dan ... di pinggir sungai, sore itu, aku menangis. :( cengeng yaaa

IB 180 10.33 190718

note:
aku sedang malas menggunakan capslock. :P

No comments: