Search

Wednesday, May 02, 2012

Mari mengamen :)

NAIK BUS KOTA?

Beberapa kali dalam seminggu aku harus pulang dari sekolah naik bus kota karena Angie selesai kuliah sampai sore hari sehingga tidak bisa menjemputku. Seperti yang kutulis di blog beberapa bulan lalu (klik disini)aku lebih suka naik mini bus yang datang dari Salatiga atau Ambarawa karena bus-bus itu ga pernah ngetem lama, plus murah. Aku hanya perlu bayar duaribu rupiah. Namun, di postingan yang sama aku juga menulis kadang mini bus dari Salatiga/Ambarawa itu kadang ga mau berhenti ketika aku melambaikan tangan menyetopnya, dikarenakan ada bus kota (non DAMRI) di sekitar aku menunggu bus. Terjadi kecemburuan (atau apalah namanya) antara bus kota dengan mini bus dari luar kota itu. Maka kadang terjadi pertengkaran antara kondektur kedua jenis bus ini. Konon memang telah ditentukan oleh pemerintah bahwa mini bus ini tidak boleh membawa penumpang kecuali yang memang naik dari ‘suburban area’ atau dari Salatiga/Ambarawa. Penumpang yang dari tengah kota diharuskan (atau hanya sekedar disarankan ya?) naik bus kota. 

Beberapa hari lalu waktu menunggu mini bus ini, aku telah ditolak dua kali. Maka ketika sebuah bus kota (bukan DAMRI) datang, aku mencoba peruntunganku untuk naik. Penuh harap bahwa bus ga akan ngetem di satu halte nantinya. Di kantong baju, aku telah menyiapkan selembar duaribuan dan selembar seribuan. (Biasanya aku bayar tigaribu rupiah jika naik bus DAMRI meski di kaca bus tertulis “Rp 3500,00 untuk jarak dekat/jauh.” Kondektur bus biasanya diam saja.) Karena aku naik bus kota yang bukan DAMRI, aku bayarkan selembar duaribuan itu kepada kondektur. Dalam hati aku masih ngedumel karena ditolak dua kali oleh kondektur mini bus. Ini pasti karena rebutan penumpang antara mini bus dan bus kota.

“Turun mana Mbak?” tanya kondektur.

“Kalisari,” jawabku, tanpa memandang wajah sang kondektur.

“Kurang limaratus rupiah Mbak,” kata kondektur.

“Ah, biasanya juga Cuma duaribu rupiah,” jawabku cuek.

Sang kondektur diam saja.

Beberapa saat kemudian, bus ngetem di sebuah halte. Aku sempat melirik ke kondektur yang sedang mencari penumpang. Melihat raut wajahnya yang lelah, berkeringat dan kepanasan, aku merasa begitu jahat. Dia hanya minta tambahan limaratus rupiah dan aku menolaknya. Padahal di saku baju aku masih punya selembar seribuan.

But I didn’t give it to him.

Tak lama kemudian bus melaju, dan sampai di halte sebrang rumah sakit Dr. Kariadi, ga jauh dari lapangan Kalisari tempat aku akan turun. Di sini bus ngetem lamaaaaa. Dan aku pun ngedumel, kurang sedikit lagi aku turun tapi aku harus nunggu bus ngetem lama. Hingga aku pun bersyukur tidak jadi memberikan selembar seribuan itu kepada sang kondektur.  Ada dua pengamen yang menyelesaikan lagunya saat bus ngetem, saking lamanya.

Kurang lebih 8 menit kemudian, bus melaju lagi. Saat itu ada seorang perempuan, yang semula kukira penumpang, berdiri di dekat pintu masuk. Ternyata dia pun pengamen. Can you guess what song she was singing?

Pemilihan umum telah memanggil kita ... seluruh rakyat menyambut gembira ... di bawah undang-undang dasar empat lima ... kita menuju ke pemilihan umum ...”

Aku bengong. Meski harus kuakui suaranya lumayan empuk. Usai nyanyi “Pemilu”, dia sedikit berceramah yang berhubungan dengan moral, yang tidak kuperhatikan, karena aku sibuk memperhatikan raut wajahnya. She looked like around my age. Serta merta aku membayangkan dia melakukan itu untuk anak-anaknya yang butuh makan atau dia butuh uang untuk membayar SPP anak-anaknya.

Ketika dia mulai menyanyi lagu yang kedua – yang nampaknya lagu gereja – aku sudah harus turun. Aku bersyukur di saku bajuku masih ada selembar seribuan. Uang itu rejeki si pengamen yang nyanyi “Pemilu.” Dan bukan rejeki si kondektur bus.

GL7 10.19 27041

No comments: