Search

Wednesday, July 22, 2009

Podungge


lebaran 2008
 

Ketika aku duduk di bangku SD/SMP aku pernah merasa bersyukur bahwa nama ‘fam’ alias marga ini tidak dicantumkan dalam akte kelahiranku sehingga aku tidak perlu malu diolok-olok teman sekolah, memiliki nama yang aneh. (Bagi orang Jawa, yang tidak memiliki ‘kebudayaan’ memiliki nama marga, tentu sangat aneh jika mereka menemukan nama ‘aneh’ – baca PODUNGGE – di belakang namaku yang sangat familier bagi orang Jawa.)


Aku lupa alasan yang tepat mengapa aku memilih mencantumkan nama fam ini di belakang namaku tatkala aku memulai aktifitas blogging di tahun 2005. Paling utama tentu adalah untuk membedakan seorang Nana yang membaptis diri menjadi seorang feminis di tahun 2003 dengan jutaan Nana lain, yang mungkin berkeliaran di dunia maya. Mempelajari feminisme dan menyadari bahwa kedua orang tuaku adalah sepupu yang memiliki nama fam yang sama, aku merasa ‘baik-baik ‘ saja untuk mencantumkan nama fam ini. 


Sebelum mulai terkena wabah fesbuk, aku berpikir akulah satu-satunya Podungge yang kelayapan di dunia maya (adikku males memakai nama fam ini di belakang namanya). Itu sebabnya aku menjadi terkesima tatkala menemukan banyak ‘Podungge’ yang memiliki akun di fesbuk. My beloved Mom yang seperti ‘anak hilang di rimba belantara pulau Jawa’ tentu senang sekali mengetahui ini, dan memberiku ‘pe-er’, “Tanyakan ke mereka nama ayah atau kakek mereka siapa.” And she is always excited to hear stories about Podungge yang kutemukan di fesbuk.

lebaran 2011


Hal ini tentu berbeda denganku plus kakak adikku yang memang sejak lahir tidak mengenal keluarga besar Podungge, kecuali mereka yang pernah menyambangi Semarang. Kita tidak merasa seperti anak ayam kehilangan induk. We feel fine without having relations with our relatives.


Entah mengapa aku merasa somewhat offended ketika seorang Podungge menyapaku, “Kamu Podungge? Asli Semarang ya?” 


Entah mengapa aku merasa pertanyaan itu seperti menuduhku mengaku-ngaku sebagai seorang Podungge.


Mana ada Podungge asli Semarang?


Namun tatkala mengajar di kelas tentang ‘hometown’ aku selalu berkata kepada para siswa, “Hometown is the town where we were born and raised.” Untuk definisi ini tentu Semarang adalah my ‘hometown’. Kalau aku mengaku Gorontalo sebagai my hometown, well, I know nothing about this town kecuali bahwa kota ini terletak di Sulawesi Utara, bahwa kota ini terkenal sebagai penghasil kopra, bahwa kerajinan kain kerawang terkenal berasal dari Gorontalo; makanan khas Gorontalo yang biasa dibuat oleh Nyokap adalah binthe biluhuta dan biluluhe, plu sambal dabu-dabu. 


Only those things. Nothing else.


Aku tidak merasa perlu mengaku-ngaku sebagai seorang Podungge, kalau dalam darahku tidak mengalir darah Podungge.


Aku juga tidak pernah merasa diuntungkan menggunakan nama Podungge di belakang namaku.
Jadi kepikiran to change my name in the cyber world.


But di dunia perbloggingan Indonesia, nama NANA PODUNGGE sudah telanjur terkenal. (Narsis MODE ON).


However, Shakespeare said, “What is in a name?”


Yeah, so ... NANA PODUNGGE jalan terus lah. LOL. For temporary perhaps. But maybe also permanently.


(Just wanna spit what has bothered my mind. Nana sedang PMS kali. LOL.)


PT56 23.32 210709

 

Lebaran 2022, di Cirebon

2 comments:

NONA PODUNGGE said...

Sama, tapi aku lahir dan besar di Gorontalo. Tapi pas kecil aku selalu merasa margaku aneh (satu²nya Podungge di sekolah), soalnya waktu SD-SMA aku sampai kpikiran PODUNGGE asal mana sih, kok nggk ada gitu yang se marga sama aku. Tapi stelah main FB juga trnyata banyak banget. Dan aku bersyukur lahir sebagai seorang PODUNGGE💖

Nana Podungge said...

oh gosh, I just realized this comment. hahahaha ... salam kenal sepupu.