Search

Tuesday, June 18, 2019

Z O N A S I

ZONASI SEKOLAH




Waktu Angie akan masuk SMA tahun 2006, seingat saya itu adalah pertama kali diselenggarakan 'rayonisasi' atau yang sekarang dikenal dengan istilah 'zonasi'. Jujur saya, Angie diuntungkan dengan program ini karena kebetulan waktu itu kita tinggal di satu daerah yang dianggap satu rayon dengan satu sekolah favorit di Semarang, SMA Negeri 3. Dengan NEM yang hanya 26,8, Angie dengan mudah masuk ke sekolah dimana saya tercatat sebagai salah satu alumni. Ini setelah mengalami hari-hari penuh ups and downs, ngecek peringkat apakah Angie bakal keterima disana, jika tidak, kita harus buru-buru menarik formulir pendaftaran, dan memindahkannya ke sekolah sebelahnya, SMA Negeri 5, yang sebenarnya bukan merupakan sekolah yang buruk, hanya memang tidak sefavorit SMA Negeri 3.


Yang saya ingat, tahun ajaran 2006/2007 itu, semua sekolah negeri wajib mengikuti peraturan rayonisasi ini, harus menerima 60% siswa dalam rayon, dan 40% di luar rayon. Tahun itu, para calon siswa yang tempat tinggalnya di luar rayon, minimal memiliki NEM 27,0. gara-gara program rayonisasi ini SMA Negeri 3 'terpaksa' menerima para lulusan yang NEM-nya di bawah standar, bahkan katanya ada yang NEM-nya hanya 18!


Kebetulan angkatan 2006/2007 itu adalah angkatan pertama SMA Negeri 3 mengaplikasikan program 'sekolah berstandar internasional', sebagai pilot project. Dengan masuknya para siswa yang NEM-nya di bawah standar, para guru pun mengeluh karena mereka (konon) kudu bekerja ekstra keras.


Entah bagaimana prosesnya, tahun ajaran berikutnya, SMA Negeri 3 meminta perlakuan khusus agar tidak diwajibkan memberlakukan program rayonisasi, dan permintaan ini dikabulkan pemerintah kota.


Saya yang bekerja sebagai guru, dan pernah mengalami mengajar di sebuah lembaga bimbingan dimana para siswanya variatif dari sekolah 'unggulan' sampai sekolah 'ecek-ecek' pun merasa eneg dengan kemanjaan guru-guru sekolah favorit yang maunya hanya 'terima jadi'. Mereka ingin siswa-siswa mereka nampak unggul, untuk tetap mengukuhkan nama sekolah sebagai sekolah favorit, namun tak mau bekerja keras untuk memintarkan siswa yang mungkin kurang beruntung.


Entah apakah setelah nama programnya ganti, tak lagi 'rayonisasi' namun menjadi 'zonasi', dan penghapusan program 'sekolah berstandar internasional', SMA Negeri 3 Semarang masih mendapatkan privilege seperti dulu?


Tahun ini -- mungkin juga tahun-tahun lalu ya, saya tidak begitu memperhatikan -- masyarakat heboh lagi tentang zonasi ini. Mereka terbelah menjadi dua, pro dan kontra. Saya meyakini maksud pemerintah bagus, agar semua sekolah negeri mendapatkan bibit yang bagus, para calon siswa yang tinggalnya tidak jauh dari sekolah itu. Maka, tugas berikutnya adalah pemerintah juga seharusnya meningkatkan mutu guru semua sekolah negeri, melengkapi fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan siswa hingga bibit-bibit unggul yang masuk ke sekolah negeri yang saat ini mungkin dianggap 'pinggiran' tidak mubazir.


Saya setuju bahwa peran orangtua sangat penting disini untuk menekankan peningkatan karakter diri anak-anak mereka, sehingga sekolah dimana pun mereka akan terus berprestasi.


LG 12.00 18/06/2019

No comments: