Search

Wednesday, May 31, 2017

Asa Firda Inayah




Mumpung nama Afi sedang fenomenal ... mumpung aku punya semangat menulis, mari menulis sedikit tentang Afi (Asa Firda Inayah). J

Frankly speaking, aku tidak tahu banyak tentang anak remaja (lulusan?) satu SMA di Banyuwangi, satu kota kecil di ujung Timur Jawa Timur; satu kota yang pernah kukunjungi (eh, mampir) waktu dalam perjalanan menuju Taman Nasional Baluran dan menyeberang ke Pulau Bali. (ga penting ya? Cuma nunut tenar doang nih akunya. LOL.)

Mungkin – seperti kebanyakan orang – aku pertama kali “mengenalnya” dari tulisannya yang berjudul WARISAN yang telah dibagikan ribuan kali di sosial media; cara pandang yang sebenarnya “biasa” saja bagi mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi (menurutku), yang telah pernah merasakan menjadi pihak minoritas yang terdiskriminasi (seharusnya seperti ini, pikirku), atau paling tidak yang pergaulannya luas dimana dia bergaul dengan orang berbagai macam kalangan.

Bahwasanya Afi – demikian nama ngetopnya, bukan nama sebenarnya – ‘baru berumur’ belasan tahun, berasal dari satu kota kecil, yang berarti pergaulannya (selayaknya) tidak seluas cara pandangnya, menjadikan cara pandang Afi ini tidak biasa. Dia pun mengaku bahwa sekian waktu lalu – entah bulan, entah tahun – dia pun bercara pandang sempit hingga tiba saat dia membaca satu buku yang merupakan ‘titik balik’; dan ... voila ... dia pun (seolah mendadak) memiliki cara pandang yang universal. Jika mengacu ke satu tulisan lamaku di blog, dia berhenti berpikir bahwa dia termasuk “the chosen race”.

Dalam talkshow yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, Afi menyebut buku yang berjudul “The Magic of Thinking Big” tulisan David Schwartz yang membuatnya ‘berbalik’, tak lagi berpikir sempit, namun mulai berpikir secara universal. Selain menyarankan para remaja seusianya untuk membaca buku itu, Afi juga menyarankan untuk membaca buku yang berjudul “The 7 habits of highly effective people” karangan Stephen R. Covey.

In case you wanna know (ehem ...) satu buku yang merupakan trigger awal perjalanan ‘titik balik’ku adalah buku “Setara di hadapan Allah” tulisan Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, buku yang iseng-iseng kubeli di satu lapak tidak permanen saat pulang dari kampus, tahun 2003.

Sekian tahun kemudian setelah membaca buku itu – sembari membentuk diri untuk menjadi seorang feminis dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan itu – aku mulai melabeli diri sebagai seorang sekuler. Sekian tahun berikutnya, kupikir sudah saatnya aku melepas label sekuler, berpindah ke ranah agnostik. Hingga saat ini ... mungkin lebih tepat aku menyebut diri sebagai seorang pengembara, tanpa label.

Akankah seorang Afi pun menjadi seorang Muslim sekuler dalam kehidupan pribadinya? (bukan dalam kehidupannya bermuamalah lho ya.) Ataukah ratusan buku yang dihadiahkan kepadanya dari sebuah penerbit saat dia menjadi tamu di satu televisi swasta akan membuatnya menjelma menjadi sosok lain lagi?

Mari kita tunggu.


LG 15.10 31052017


No comments: