Search

Monday, January 02, 2012

Perlakuan orangtua terhadap perkembangan psikologi anak (Serba-serbi libur akhir tahun)


Salah satu rumah makan favorit ketika aku berkunjung ke Solo adalah Soto Segeer Mbok Giyem yang terletak di Jalan Bhayangkara, yang kebetulan di seberangnya terletak LBPP LIA. :) Sejak pertama Ranz mengajakku kesana, aku langsung terkesan dengan kesegaran kuah sotonya, plus tempe gorengnya yang crunchy. :)

Keterkenalan rumah makan ini mungkin yang kemudian membuat para pengunjung berbondong-bondong kesana, sehingga meski tersedia lumayan banyak tempat duduk dan meja panjang tempat meletakkan berbagai jenis makanan (dari tempe goreng, tempe mendoan, tahu goreng, sosis goreng, berbagai macam sate, dll), para pengunjung harus tetap 'fight' untuk mendapatkan tempat duduk yang selalu penuh. Apalagi jika mereka datang pada jam makan. Plus jika mereka datang berombongan (misal lebih dari empat orang) dan ingin duduk di meja yang sama. Mereka bakal harus menunggu lama untuk mendapatkan tempat duduk yang diinginkan.

Hari Sabtu kemarin ketika datang, aku mendapati 'tumpukan' calon 'diner' yang bukan tipe 'fighter'. Aku yang hanya berdua dengan Ranz dengan mudah 'menyisipkan diri' di tengah-tengah para diner lain yang sudah makan.

Beberapa saat setelah kita mendapatkan pesanan -- soto daging untuk Ranz dan soto ayam buatku, plus es teh dan es jeruk -- satu keluarga datang. Mereka terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dua anak yang masih balita. Kuperkirakan anak pertamanya -- perempuan -- mungkin masih duduk di bangku TK. Dikarenakan 'space' yang terbatas, mereka tidak bisa langsung duduk berempat bersama. Sang ayah dan ibu duduk bersama mengapit si kecil, yang kebetulan anak laki-laki. Si kakak disuruh duduk di hadapan mereka (masih satu meja). Ketika ada rombongan datang lagi, duduk di kursi panjang yang sama dengan si kakak. Para pendatang baru ini tidak tahu mengapa ada seorang anak kecil duduk sendirian di situ, sehingga mereka mendorong-dorong si anak kesana kemari.

I didn't understand mengapa sepasang suami istri itu tidak berbagi tanggung jawab, salah satu dari mereka duduk bersama dengan si kakak, yang satu lagi dengan si kecil. Aku langsung melihat perbedaan perlakuan orangtua itu kepada kedua anaknya.

Ketika akhirnya aku dan Ranz mencoba duduk lebih berhimpitan agar tersedia space yang cukup buat si kakak untuk duduk berdekatan dengan orangtua plus adiknya, dia langsung memutari meja panjang -- dengan wajah yang kubaca, "ahh ... akhirnya aku tak perlu duduk sendirian, di tengah kerumunan orang banyak yang tidak kukenal ini" -- dan duduk di samping sang ibu.Waktu makanan mereka datang, sang ayah dan ibu sibuk menyuapi si kecil, si kakak makan sendiri. Sangat mengesankan sebagai 'the unwanted child'. Or perhaps I was too much. :( (Aku jadi ingat Angie yang sampai sekarang pun -- duduk di semester 5 Fakultas Psikologi tetap suka jika kusuapi ketika makan. Aku yang kebangetan 'memanjakan' Angie di waktu makan; versus orangtua itu yang begitu memedulikan anak keduanya dan 'mendidik kemandirian' si kakak. Padahal mungkin perbedaan usia kakak adik ini hanya sekitar dua tahun.)


Dan aku yang terlalu terbiasa mencoba membaca 'situasi' dan 'suasana' langsung membayangkan bagaimana kondisi psikologis si kakak yang tentunya merasa tak lagi diinginkan setelah sang adik lahir. Kenyataan bahwa anak pertama seorang perempuan dan anak kedua laki-laki (bagi banyak ethnic group di Indonesia, masih banyak suami yang mengharuskan istrinya melahirkan anak laki-laki untuk meneruskan nama marga/fam, namun kupikir etnis Jawa tidak termasuk karena mereka tidak menggunakan nama marga/fam di belakang nama mereka) tentu juga sangat mempengaruhi cara perlakuan orangtua tersebut.

GL7 10.31 02012012

anotherorion wrote on Jan 2
kadang anak diperlakukan begitu jadi merasa diabaikan n bisa jadi dendam lho
afemaleguest wrote on Jan 2
kadang anak diperlakukan begitu jadi merasa diabaikan n bisa jadi dendam lho
nah, itulah yang menjadi concern-ku ...
hmmm ...
martoart wrote on Jan 2
kupikir etnis Jawa tidak termasuk karena mereka tidak menggunakan nama marga/fam di belakang nama mereka) tentu juga sangat mempengaruhi cara perlakuan orangtua tersebut.
Memang tak mengenal konsep 'Marga', tapi feodalisme yg dikemas dalam konsep 'Keningratan' lebih kurang ajar dan tak kalah menyebalkannya.
afemaleguest wrote on Jan 2
martoart said
Memang tak mengenal konsep 'Marga', tapi feodalisme yg dikemas dalam konsep 'Keningratan' lebih kurang ajar dan tak kalah menyebalkannya.
iya Kang, setuju ...
ngeselin banget hal begini masih berlaku juga ternyata di abad ini ...
rembulanku wrote on Jan 2
kalo aku mengalami seperti yg si 'kakak' alami bukan oleh ortu tapi oleh saudara....
yes, mereka memposisikan saya bukan sbg 'keluarga' karena status yang berbeda
tapi...
saya mencoba legawa saja karena meski rasa sakit itu ada sedikit 'kok begini sih perlakukan mereka ke aku?'
afemaleguest wrote on Jan 2
kalo aku mengalami seperti yg si 'kakak' alami bukan oleh ortu tapi oleh saudara....
yes, mereka memposisikan saya bukan sbg 'keluarga' karena status yang berbeda
tapi...
saya mencoba legawa saja karena meski rasa sakit itu ada sedikit 'kok begini sih perlakukan mereka ke aku?'
duuuhhh ...
cobaan hidup ya La?
ya betul, ditinggal mencoba merasa legawa aja, what else can we do?
rembulanku wrote on Jan 2
biasa mbak....
dah seumur2 gitu
ya sebisanya berusaha mandiri karena ga punya 'saudara' yg bisa dimintai tolong dikemudian hari. that is why friends are most important then family *sometimes*
afemaleguest wrote on Jan 2
that is why friends are most important then family *sometimes*
betul banget La
^__^
onit wrote on Jan 2
hmmm aku tau kasus2 seperti bocah di atas. tapi kebanyakan mereka jadi mandiri, karena merasa gak punya ortu. terbiasa mengurus diri sendiri.

ada sih yg efeknya jadi manja, bawaannya minta "diasuh" oleh teman2nya krn kekurangan asuhan dari ortu.
afemaleguest wrote on Jan 2
tergantung lingkungan di luar keluarga
atau tergantung hereditary character tuh Nit, in your opnion? kok bisa kebalikan gitu?

waktu aku cerita ke Angie, dia langsung menyebut seorang temannya yg kebetulan mengalami hal yg mirip. anak pertama, perempuan. adiknya 2 tahun lebih muda laki2. namun dia masih punya 2 adik lagi. semua yg diminta adiknya, dibelikan oleh ortunya. sedangkan yg dia minta, belum tentu dikabulkan. barang2 yg dibelikan utk adiknya (hp, mobil, dll) selalu lebih wah dibanding untuknya.

sekarang dia tumbuh memiliki pribadi yg tidak pede. kadang dia komplain ke Angie atas perlakuan ortunya, namun ya apa boleh buat? masih mending ya ortunya kaya, bisa beliin anaknya mobil ;-)
onit wrote on Jan 3
tergantung lingkungan di luar keluarga
atau tergantung hereditary character tuh Nit, in your opnion? kok bisa kebalikan gitu?
hmmm gak ngerti juga yah.

bisa krn lingkungan keluarga, misalnya krn dia cucu pertama juga, lalu kakek neneknya yg menyayangi dia.

bisa juga krn karakter bawaan lahir: tipe adventurous. doyan mencoba2 ini itu, sehingga "ketidakpedulian" ortu malah jadi positif utk perkembangan karakternya.

atau bisa jadi si anak itu sendiri punya kelebihan tertentu, sehingga setelah terlihat prestasi2 di sekolah, ortunya mulai perhatian.

kalo soal temennya angie itu, hmm berarti dia masih melihat ortu sebagai "tempat meminta". kupikir ntar kalo dia dah makin dewasa, akan hilang sendiri komplain2nya. soal rasa gak pede itu, tiap orang pasti punya, walaupun penyebabnya macam2. perlu diatasi sendiri sih, gak mungkin ngarepin si penyebab utk membantu mengatasi.
afemaleguest wrote on Jan 3, edited on Jan 3
onit said
hmmm gak ngerti juga yah.

bisa krn lingkungan keluarga, misalnya krn dia cucu pertama juga, lalu kakek neneknya yg menyayangi dia.
kalo ngeliat kasus Ranie (nanaskuningkeci) di bawah, dia lampiaskan kekesalannya pada adiknya ... :)

lah, kalo ga punya adik tempat melampiaskan kekesalan, atau kakek nenek tempat dia bisa mendapatkan ganti kasih sayang, repot lah ya? :)
onit wrote on Jan 3
kalo ngeliat kasus Ranie (nanaskuningkeci) di bawah, dia lampiaskan kekesalannya pada adiknya ... :)

lah, kalo ga punya adik tempat melampiaskan kekesalan, atau kakek nenek tempat dia bisa mendapatkan ganti kasih sayang, repot lah ya? :)
kalo gak punya adik kan gak terjadi pilih kasih dong :)

tapi kesian jg adiknya, jadi tempat pelampiasan.

belon ntar kalo ortunya yg protes. lah kalo gak suka sama kelakuan anaknya, lihat diri sendiri dulu dong :)
afemaleguest wrote on Jan 3
onit said
kalo gak punya adik kan gak terjadi pilih kasih dong :)
maksudku adik yang nomor tiga dan empat dan nomor berikutnya ... hihihihi ...
nanaskuningkeci wrote on Jan 3
hahahha inget jaman dulu, kebetulan adik ku juga laki - laki, dulu balas dendamnya kalo orangtua ga ada, adek ku bagian yang suka kujahili ampe nangis. Kalo inget skarang mah kasian bgt adik ku ya? ga tau apa - apa kena sasaran kakaknya yang iri-an hehehhehe
afemaleguest wrote on Jan 3
hahahha inget jaman dulu, kebetulan adik ku juga laki - laki, dulu balas dendamnya kalo orangtua ga ada, adek ku bagian yang suka kujahili ampe nangis.
waahhh ... untung punya adik, kalo engga? balas dendamnya kemana yak? hihihihi ...
mawarangel wrote on Jan 4
i write the same mba dengan cerita yg agak beda, makan baso sekeluarga, si ibu sibuk sambil gendong bebi dan urus si kakak yg belum pinter -sekitar 3th'an- makan belepotan dan lincah, sedang sibapak -berjenggot dan baju pith- makan dengan santainya bahkan setelah selesai "sibuk" dgn rokonya,,
afemaleguest wrote on Jan 5
i write the same mba dengan cerita yg agak beda, makan baso sekeluarga, si ibu sibuk sambil gendong bebi dan urus si kakak yg belum pinter -sekitar 3th'an- makan belepotan dan lincah, sedang sibapak -berjenggot dan baju pith- makan dengan santainya bahkan setelah selesai "sibuk" dgn rokonya,,
ahhhh ...

iya! aku juga pernah melihat kasus seperti itu ... seorang ibu repot ngurusi dua anaknya, dia sendiri belum sempat makan, sang suami makan sendiri, setelah selesai, bukannya bantuin sang istri, eh,malah asyik ngerokok sendiri ...

dan ... oknum ini pun berjenggot, bercelana panjang cingkrang ...


No comments: