Search

Sunday, May 08, 2011

Jogja 2011 Field Trip : Dibuang Sayang :)

JOGJA 2011 FIELD TRIP: DIBUANG SAYANG

Catatan tambahan yang dibuang sayang

Setelah menulis catatan tentang Jogja field trip bersama anak-anak kelas 7-12 sekolah tempat aku berbagi ilmu, masih ada hal-hal yang tentu sangat sayang jika dilupakan begitu saja dari persiapan menjelang field trip, field trip itu sendiri, dan kembalinya.


BERSEPEDA


Pertama aku sangat berterima kasih kepada dua rekan kerjaku – Ayik dan Lya – yang entah bagaimana kisah mulanya mereka memasukkan acara sepedahan sepanjang (atau sependek?) Selokan Mataram. They both know that I am crazy for biking.


Karena acara inilah aku semula berencana membawa Snow White. Ada dua hidden agendas dari rencana membawa Snow White ini. Pertama, kepengen bersepeda di sekitar Prambanan. Well, who knows bisa membawa sepeda ke dalam arena Prambanan. Selain itu juga tentu agar aku bisa bersepeda di sekitar hotel, di waktu luang. Kedua, mencoba ‘meracuni’ anak-anak bahwa bersepeda itu fun. Aku yakin tentu anak-anak akan tergoda untuk mencoba menaiki Snow White dan mereka akan tahu bahwa biking is indeed exciting!


Namun dengan sangat terpaksa aku gagalkan rencanaku ini setelah tahu bahwa bus yang akan kita naiki berukuran kecil. Ditambah lagi ketika ngobrol dengan anak-anak kelas 11 tentang rencana field trip ini. The two girls dari kelas 11 berencana membawa suitcase, setelah menghitung-hitung berapa baju yang akan dibawa. aku langsung membayangkan bahwa anak-anak kelas lain pun tentu juga akan membawa suitcase masing-masing yang tentu akan makan banyak space di dalam bagasi. So? Goodbye Snow White. Stay home sweetly, please?


Untuk mengobati rasa kecewa tak jadi membawa serta Snow White dalam field trip, aku membayangkan akan menaiki mtb yang ‘cool’ dalam acara sepedahan nanti. Sudah lama aku ga mengunjungi kakakku di Cirebon yang punya sepeda merk G***T yang sangat yummy dinaiki berapa jam pun lamanya aku nggowes keliling kota Cirebon, dengkulku ga kenal kata lelah. Pantat pun tak terasa panas. WAH!


Dan ... benar adanya! Rabu pagi 4 Mei itu di starting point waktu melihat jenis-jenis mtb yang diturunkan dari truck, my mouth directly watered! . Aku langsung memilih yang bermerk K**A berwarna ungu. Butuh beberapa menit di awal menaikinya untuk mengenal ‘watak’ sepeda pilihanku ini, aku langsung enjoy banget gowes. Jika tidak mengingat most of my biking mates yang bukan pesepeda di kehidupan sehari-hari mereka, wah ..

.
Kenyataan bahwa the biking program took only one hour, ini aja pakai acara berhenti menunggu yang ada di belakang, karena Toni beberapa kali hampir terjun bebas ke selokan. Dion yang baru belajar naik sepeda beberapa hari menjelang field trip terlihat lebih ‘settled’. Robert dan Stephen yang katanya memiliki Om yang juga gila sepeda tampak sangat menikmati acara ini, dan ikut kecewa ketika tiba-tiba kita telah sampai di Candi Sambisari, tempat usainya acara sepedahan. Bahkan Dion pun bilang, “Kok Cuma sebentar? Yuk balik lagi ke starting point yang tadi?”


Dan bea sewa sepeda pun terasa sangat mahal! Kita bayar Rp. 75.000,00 untuk sebuah sepeda dengan perkiraan kita menaikinya dalam waktu 2-3 jam. Namun ternyata hanya 1 jam saja. you can imagine it was absolutely not enough for me! Maka dengan sedikit ‘usaha’ aku bilang kepada si penyewa sepeda kalau aku ingin menaiki sepeda K**A yang kunaiki sampai kembali ke hotel. Paling pol hanya akan makan waktu satu jam dari Candi Sambisari ke Rejowinangun, Kotagede. Namun ternyata aku tidak diperbolehkan! Hiks ...


Jika aku gowes sendiri di Jogja, aku hanya bisa menaiki Snow White karena bakal repot kalau bawa Si Orange kesana, kecuali kalau mengulang lagi kisah 29-30 November 2008 lalu ketika aku dan 12 rekan b2w Semarang lain sengaja dolan ke Jogja sambil membawa sepeda. Dari 13 pesepeda, hanya satu yang membawa seli, yang lain mtb. (Let us hope my b2w friends and I will go to Jogja again by bringing our mtb!)


Ah yeah, sempat ditawari – atau dipromosiin – si bapak yang menyewakan sepeda acara sepedahan ke arah Kali Kuning menyusuri jalan-jalan yang tak jauh beda dari track yang kita lewati menuju Candi Sambisari. Tapi kalau diminta bayar Rp. 75.000,00 per sepeda, duuuhhh ... malas banget yak? 


Dari acara sepedahan ini, aku jadi pengen ngajakin teman-teman sepedahan untuk gowes sepanjang Selokan Mataram menuju arah Timur! (Waktu ke Borobudur 6 Maret lalu, kita menyusuri Selokan Mataram dari arah UGM menuju Barat/Barat Laut.) Tentu jika kita menyusuri Selokan Mataram ke arah Timur kita bakal sampai ke Prambanan!


THE GIRLS


Waktu pembagian anak-anak menjadi lima kelompok di bawah supervisi 5 orang guru, aku memilih dua siswa perempuan kelas 11 dan tiga siswa perempuan kelas 12 untuk berada di kelompokku. Kebetulan sebelumnya Olin dan Valen dari kelas 11 telah memintaku untuk memasukkan mereka under my supervision. Bukan karena apa-apa, tapi dari tiga guru perempuan yang mendampingi anak-anak field trip, hanya aku yang mengajar kelas mereka sejak mereka duduk di bangku kelas 9. Kebetulan pula jika kelas 8 yang kugawangi tak ada satu siswa pun yang ada.


The girls tidak banyak komplain sejak awal kita naik bus hingga usai field trip. Anya yang ternyata gila makan – ga keliatan banget karena tubuhnya yang paling langsing dari kita berenam – dengan murah hati membawa banyak jajan yang dia bagi-bagi kepada teman-temannya. Mulai dari ‘marning’, ‘biting’ (what a name of a food, lol), hingga bread dari satu bakery yang lumayan terkenal.



Ketika kita sampai di wisma yang jauuuuuhhh dari pekiraan anak-anak (read again my note on TOGETHERNESS BEATS DISCOMFORT), mereka hanya sedikit grumbling. Setelah mendapat ‘room’ kita langsung masuk kamar dan memilih bed masing-masing. Toilet yang ‘hanya begitu saja’  masih tetap menjadi gerundelan, but no matter what, mereka tidak komplain panjang-panjang. sedikit masalah: mereka terbiasa dengan toilet duduk, maka akan sulit bagi mereka jika harus ‘membuang hajat’ di toilet jongkok. Nevertheless, Trisha memberikan pernyataan yang melegakan, “Well Miss, with the money we paid for this field trip, this is already good. We understand.”


3 Mei sore aku tidak menyia-nyiakan waktu luang untuk berenang tentu saja. Air di kolam renang indoor itu seperti kolam renang indoor lain tentu sangatlah dingin. Seusai berenang, waktu masuk kamar dan akan mandi di toilet, wahhhh ... baunya sudah haruuuuumm. bau harum body wash dan shampoo yang wangi! The girls really adapted very fast! 


Malam itu aku mendampingi the girls shopping di Amplaz. Most of them – kecuali Valen yang terlihat tenang – terlihat seperti perempuan kebanyakan, crazy for shopping for clothes and shoes. Kita sempat mampir minum di ‘drink corner’ setelah usai lelah berputar-putar.


4 Mei siang waktu John’s mom came, aku godain the girls what if in the following field trip each student goes with their own parents so that they can choose to stay in which hotel in order that nobody complains about it. Olin berkomentar, “Ah ngga enak ah Miss. Mending menginap bareng teman-teman dari pada bareng orang tua.” “Although in such a simple inn like this?” aku godain lagi. “Yup!” katanya pasti. 


4 Mei sore waktu kita ke Malioboro, in fact I found them not really attracted to it. (Jadi kepikiran apakah pesona Malioboro telah memudar?) Aku ‘berhasil’ mengajak mereka berlima jalan kaki dari pemberhentian bus (di depan Bank Indonesia, tak jauh dari Taman Pintar) sampai ke Malioboro Mall sementara kulihat yang lain kebanyakan naik becak.


Ada kisah lucu tentang naik becak ini. Sewaktu bus berhenti, para tukang becak sudah berkerumun di depan pintu bus. “Becak mbak ... Cuma dua ribu rupiah ke Malioboro.” Kujawab, “Mboten Pak ...” Eh, salah satu dari mereka bilang, “Yen mbak-e mboten, nggih mboten nopo-nopo, tapi muride sampeyan mesti nitih becak!” 


From the five girls, hanya Shianny yang terlihat somewhat enjoyed the sightseeing along Malioboro. Yang lain lebih kepengen balik ke Ambarrukmo Plaza lagi.  apalagi setelah sampai Malioboro Mall yang tentu terlihat kumuh dibandingkan Amplaz. 


Seingatku yang menarik dari Malioboro adalah jalannya yang panjang, dimana di sepanjang trotoar ada banyak pedagang berjualan berbagai pernak-pernik merchandise. Bagi mereka yang memilih masuk toko, silakan ada banyak toko yang berjualan barang-barang yang tidak jauh beda dari para pedagang kaki lima. Maka yang asyik dari sightseeing di Malioboro adalah berjalan sepanjang jalan Malioboro sambil menawar barang-barang dagangan yang ditaksir.


And the girls did not seem to enjoy it. Aku curiga mereka membandingkan Malioboro dengan Orchard Road, jalan yang paling terkenal di Singapore. waahhh ...

TOUR GUIDE


Dari tour guide yang sempat ‘menemani’ kita, yang paling menarik adalah tour guide di Prambanan. Dia terlihat begitu menguasai sejarah Prambanan dan nama-nama masing-masing candi, ukuran luas tanah, jumlah candi yang ada, dll. Cara penyampaiannya pun menarik. Dia selalu bisa menjawab setiap pertanyaan yang kuajukan dengan mantap.


Yang paling terlihat grogi dan membosankan adalah guide di Tom’s silver. Dikerubuti sekitar 30 orang membuatnya terlihat sangat nervous waktu menjelaskan proses pembuatan perhiasan silver, dengan keringat sebesar butir jagung membasahi keningnya. Meskipun begitu, anak-anak yang semula terlihat tidak tertarik dengan penjelasan si guide plus ‘pemandangan’ yang kurang menarik pada waktu proses pembuatan perhiasan silver, mereka terlihat ternganga kagum waktu melihat hasil kerajinan yang dipamerkan di show roomnya.


Sementara itu tour guide yang kita pesan dari Semarang tidak menepati janjinya untuk datang. 


TOILET


Toilet memang yang paling dikeluhkan oleh anak-anak. Tentu karena mereka tidak terbiasa menggunakan toilet jongkok. Padahal dari semua ruang yang disediakan untuk kita, semua hanya menyediakan toilet jongkok. Untunglah waktu kita komplain ke pihak wisma, mereka kemudian menyediakan toilet di ruang 18 untuk dipakai bersama. Luckily, ruang 18 memiliki toilet duduk. Selama kita menginap dua malam di wisma Martha, pihak wisma membolehkan kita menggunakan toilet ruang 18.



Masalah ‘membuang hajat besar’ memang selalu menjadi issue utama bagi mereka yang bepergian dan tidak terbiasa melakukannya di toilet yang bukan di rumah. Angie selalu tidak bisa melakukannya selain di rumah. Demikian juga dengan beberapa siswaku. Meski kita telah ‘membawa’ mereka ke Amplaz yang tentu memiliki toilet dengan kondisi sebagus dan sebersih toilet hotel berbintang, tidak serta merta mereka bisa melakukannya.

Walhasil, dalam perjalanan pulang, beberapa anak tak henti-henti mengatakan ingin segera sampai rumah untuk melakukan ‘hajat’nya. Bahkan seorang siswa yang tak mampu lagi menahan kentut, dia pun kentut yang kemudian bau harumnya menyerbak ke seluruh penjuru bus.


POCKET MONEY


Masalah duit bawaan anak-anak pun menjadi satu hal yang memorable. Belanja baju di department store kelas Centro di Amplaz, well, you can imagine how much to spend. Dan gerombolan anak laki-laki yang menghamburkan uangnya waktu main di Time Zone/Game Fantasia, sampai seorang rekan kerja mengatakan, “Wahhh ... those kids ... I bet they have spent money as much as my one month salary only in two hours here!” .


Itu sebab waktu dia bertanya, sambil bisik-bisik, “Can you guess how much John’s mom has to spend for our dinner here?” I answered, “As much as our salary for months.” LOL.


MEALS


Dari uang yang harus dibayarkan oleh anak-anak untuk biaya field trip, meals tidak termasuk. That’s why we went dutch when dropping by at one food stall/restaurant.


Makan siang pertama kita mampir di sebuah restoran yang lumayan besar (ukurannya ) dekat area candi Prambanan. Banyak jenis makanan yang ditata prasmanan sehingga para pengunjung bebas mengambil apa saja yang mereka minati, kemudian membayar di ujung. Rasa lumayan tasty menurutku dengan harga yang relatif murah. Makan siangku – dengan menu rames – plus jus jeruk hanya berharga “Rp. 19.000,00.


Sesampai di wisma, banyak anak yang ingin mencoba masakan restoran milik wisma di sore hari itu, sehingga mereka tak lagi butuh makan waktu ke Amplaz malamnya. Mungkin ada juga anak-anak yang makan malam disana, but they were not under my supervision. Dan waktu kita jalan-jalan di Amplaz, acara bebas, sehingga banyak dari kita jalan sendiri-sendiri, dengan guru yang bertanggung jawab pada mereka.


Makan siang kedua, kita mampir di sebuah rumah makan dekat Kidz Fun yang kebetulan menyediakan menu ayam goreng kremesan dan soto. Rumah makan ini tidak sebesar restoran sehari sebelumnya dimana kita makan siang. Makan malam hari kedua kita semua ditraktir oleh John’s mom di hotel Melia. Kebetulan di ruang yang direserve oleh John’s mom telah juga direserve oleh sembilan orang bule. Selain itu juga ada rombongan beberapa petinggi daerah Jawa Tengah yang sedang mengadakan rapat yang akan makan malam di tempat yang sama dengan kita. Mungkin itu sebab menu masakan yang disediakan campur a la Eropa dan juga a la Indonesia.


Makan siang hari ketiga, demi memenuhi keinginan anak-anak ke Amplaz lagi, we had lunch there. Waktu memberitahu ini ke John – aku pikir dia bakal komplain karena tentu teman-temannya would spend hours there, sehingga ga bisa buru-buru balik ke Semarang – I got surprised by John’s answer. “Oh thank God Miss, we don’t need to go to warung anymore.”


GUBRAK. LOL.


FOTO NARSIS


I am frankly speaking very disappointed to find out that my students really did not enjoy their pictures to be taken. L Bagiku foto adalah jejak yang paling mudah kita telusuri kembali dari apa-apa yang pernah kita jalani dan alami. Dan terbiasa dengan teman-teman b2w yang hampir tidak ada yang tidak narsis, aku bengong waktu pertama kali di Prambanan anak-anak nampak ogah-ogahan diminta berkumpul untuk difoto. Hampir tidak ada yang menyaingiku dalam hal excitement untuk difoto. (Ga asik banget kan? Hiks hiks )


Waktu menjelang pemberangkatan biking, demikian juga yang terjadi. Apalagi waktu sepedahan kamera dibawa rekan kerja yang tidak ikut biking. Hampir tidak ada yang mengabadikan peristiwa biking ini kecuali ketika kita berhenti di satu titik, menunggu anak-anak yang tertinggal di belakang, aku memfoto anak-anak yang ada tepat di belakangku.


Untunglah kemudian sang tour leader menawariku untuk menjepretkan kamera sehingga aku pun terekam dalam foto.  And untungnya lagi kemudian Vincent mengeluarkan kameranya dan menyerahkannya kepada sang tour leader untuk mengabadikan kita.


Waktu melewati satu daerah dimana dari jauh gunung Merapi terlihat indah, sang tour leader menawari kita berfoto bersama, banyak anak yang memilih abstain, tidak ikut bernarsis ria. Sedihnya dakuuuuuuuuuu ...


And due to my technology illiteracy, waktu berkunjung ke Keraton pada hari ketiga, aku tanpa sadar memencet satu tombol di hape Samsungku, membuat aku tak bisa menggunakan kameranya. My gosh! Tak lagi bisa menjepret aku, sampe pulang.


Ah, that’s all for this moment. Kalau ada yang akan kutambahkan lagi, I will do it later.


PT56 14.50 080511

No comments: