Search

Sunday, June 16, 2024

What type of woman are you?

 


Di bukunya IS THERE STILL SEX IN THE CITY, dalam chapter "Middle-Aged Madness" Candace Bushnell bercerita tentang seorang kenalannya yang bernama Ess. Ketika muda dia sempat bekerja menjadi seorang model, hingga dia bertemu dengan seorang laki-laki, dan menikah. Setelah menikah, dia pun berhenti menjadi model, dan fokus ke pernikahannya. Sayangnya, pernikahannya tidak berlangsung lama. "The marriage was good for five years and then real life rushed in." tulis Bushnell. Honestly, I kinda liked Bushnell's sentence, "then real life rushed in.." seolah-olah bahwa kebahagiaan itu hanya semu dan hidup yang sesungguhnya adalah ketika hidup berantakan.

 

Setelah bercerai, Ess tidak bisa lagi bekerja menjadi model karena tubuhnya tidak lagi menunjangnya. Hingga satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mencari lelaki yang mapan untuk menikahinya agar hidupnya dan 2 anaknya selamat. She did find one man dengan segala drama yang harus dia lakukan sebelumnya.

 

Namun ternyata pernikahan yang kedua ini pun tidak berjalan mulus. Jika suami pertama melarikan diri setelah bangkrut tidak mampu membiayai keluarganya, suami kedua Ess menceraikannya karena beda pendapat tentang 'what kind of healthy life they should have." tentu setelah menjalani serangkaian drama (sounds very trivial for Indonesian people, don't you think?)

 


Masih di chapter yang sama, Bushnell bercerita tentang Margo; di usianya yang menjelang 60 tahun, Margo tidak memiliki tempat tinggal juga tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Saat masih menikah, Margo melepaskan pekerjaannya demi berkosentrasi pada rumah tangganya. Tapi, dia punya bakat yang bagus: melukis. Harapannya bahwa dia akan memiliki sedikit uang setelah ex suaminya menjual rumah tempat mereka tinggal bersama sebelumnya, kemudian membagi harta gono-gini dengannya.

 

Melukis adalah satu-satunya hal yang bisa dia andalkan untuk menopang hidupnya di masa datang. Setelah dia mendapatkan pekerjaan untuk melanjutkan hidup, Margo mendapatkan kabar bahwa seorang tantenya meninggal dan meninggalkan sedikit warisan untuknya.

 

Semenjak 'gerakan feminsime' masuk ke Indonesia -- mungkin di dekade 90an -- orang-orang mulai menggiatkan pemahaman bahwa perempuan itu harus ikut bekerja. Jika di masa orde baru perempuan dibebani peran ganda -- bekerja di luar rumah itu baik-baik saja, namun pekerjaan dalam rumah tangga tetaplah menjadi tanggungjawabnya. Pemahaman feminisme mencoba menyadarkan laki-laki dan perempuan bahwa tidak boleh ada peran ganda seperti ini. Laki-laki pun bisa memasak, bersih-bersih rumah, mencuci dan menyeterika pakaian, you name it.

 

Dan sejak itu, para perempuan pun giat 'saling menasehati': "bekerjalah, agar jika terjadi apa-apa pada suamimu, kamu tetap bisa melanjutkan hidup." di balik nasehat yang 'mulia' ini, sayangnya kemudian bisa menjadi bumerang, apa lagi jika ternyata laki-laki yang diandalkan -- sehingga dinikahi -- malah kemudian membebankan semua masalah finansial ke perempuan.

 

(Note: tentu ini beda ya dengan kasus para suami istri yang mempertimbangkan dengan matang-matang di mana sang suami memilih menjadi househusband.)

 

Saat membaca IS THERE STILL SEX IN THE CITY pun saya tidak menyangka bahwa di Amerika yang pemahaman kesetaraan jender datang lebih dahulu ketimbang di Indonesia, kita akan tetap menemukan kasus-kasus perempuan seperti Ess dan Margo.

 

Akhir-akhir ini, di media sosial saya mulai mengamati para perempuan yang mandiri -- single, financially established -- yang tidak lagi setuju dengan 'nasehat' yang saya tulis di atas, "bekerjalah agar bla bla bla". Mereka berpendapat bahwa jika seorang laki-laki ingin menikahi mereka, laki-laki itu harus mampu membiayai kebutuhan mereka semua seperti saat mereka masih single. '

 

"Sekarang penghasilanku sudah melebihi 2 digit. Untuk perawatan ke klinik kecantikan, aku minimal butuh 8 juta per bulan. Belum hang out ke café, traveling, bla bla bla." kata beberapa perempuan itu. Tipe pernikahan "mari kita menikah, lalu kita mulai semuanya dari nol bersama-sama, aku bekerja, kamu bekerja. Bla bla bla …" tidak lagi menarik. Atau bahkan pernyataan seorang laki-laki, "Menikahlah denganku. Aku tidak akan melarangmu untuk terus mengejar kariermu setinggi langit. Kamu akan tetap bebas melakukan apa saja demi karier. Bla bla bla" tidak lagi inviting. Hal seperti ini, seperti yang saya tulis di atas, malah bisa menjadi bumerang bagi perempuan. Seolah-olah dia dibebaskan mengejar karier, namun sebenarnya di balik itu, lelakinya memintanya untuk 'share financial burden'.

 

Di akhir buku IS THERE STILL SEX IN THE CITY, Bushnell menulis memang ada berbagai macam perempuan; Ess bukan satu-satunya perempuan yang dalam hidupnya akan terus menggantungkan kelangsungan hidupnya pada laki-laki, some are lucky some others are not. Some are like Margo. Ketika kudu melanjutkan hidup setelah bercerai, dia akan mencoba memaksimalkan talenta yang dia punya, atau mencoba mencari-cari talenta apa yang bisa dia gali, kemudian dia maksimalkan untuk bisa terus survive. Yang lain tipe petarung, terus bekerja keras, tanpa mencoba mencari keberuntungan untuk mendapatkan lelaki yang akan menghidupinya. You may add other kinds. Choose one and be responsible to get the consequences.

 

So, what kind of woman are you? What kind of man are you?

 

PT56 10.25 16/06/2024

 

No comments: