Search

Thursday, March 09, 2023

WANG SINAWANG

 


"No one is better than anybody else," kalimat ini satu kali dulu dikatakan oleh salah satu siswa saya. "You may be better in English than me, but I may be better than you in other things," jelasnya lagi.

 

Kalau tidak salah, anak itu masih duduk di bangku SMA saat berada di kelas saya, mungkin sekitar dua dekade yang lalu. Dan saya tercenung mendengarnya. Entah dia mengutip pernyataan orangtuanya atau gurunya, saya lupa. Namun sampai sekarang, saya terus mengingatnya.

 

Ini jelas selaras dengan 'axiom' WANG SINAWANG, yang selalu saya ingat ketika saya merasa terpuruk karena sesuatu hal. Kehidupan manusia itu 'hanya' nampak indah jika dilihat dari jauh, namun ketika kita 'nyemplung' ke dalam kehidupan orang-orang tertentu, belum tentu kita akan mengatakan hal yang sama. Setiap orang jelas memiliki masalah yang harus mereka hadapi dan cari pemecahannya. Dan konon, Tuhan tidak akan memberi cobaan kepada hambaNya di luar kemampuannya. Tentu ini berlaku hanya pada mereka yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Yang agnostic seperti saya lalu bagaimana? Hahaha … pikir saja sendiri, Na, lol.

 

Di medsos saya punya seorang kawan yang sering menulis bahwa dialah breadwinner utama dalam keluarganya, suaminya -- saat masih hidup -- juga bekerja namun yang menjadi tumpuan dana untuk kebutuhan sehari-hari dari gajinya. Dia berulang kali menulis hal itu entah untuk apa ya, lol. To impress her cyber friends that she is a good wife? To convince herself that she is a good woman? Then what for? Wkwkwkwk … (pardon me for my being nosy, lol.)

 

Saat menikah, saya masih kuliah, ayahnya Angie sudah bekerja, namun yang menopang kuliah saya secara finansial tetap ibu saya. Setelah saya lulus kuliah, mendapatkan pekerjaan, saya tak lagi 'nyadong' ke ibu, bahkan juga ke ayahnya Angie. Apalagi saat krisis moneter terjadi di tahun 1998, dia kehilangan pekerjaan, uang yang saya dapatkan dari bekerja tidak lagi 'hanya' saya gunakan untuk kebutuhan saya dan Angie, namun juga ayahnya.

 

Awal tahun 2000 saya dan dia bercerai. Di pertengahan tahun 2002, kami menikah lagi karena saya akan pergi ke Jogja untuk melanjutkan kuliah, dan entah mengapa saya merasa tidak nyaman meninggalkan Angie dengan ibu dan adik-adik saya. Mungkin juga saya masih 'kalah' oleh kultur patriarki bahwa untuk berbahagia, seseorang harus menikah. Dan kecemburuan Angie jika melihat saya 'dekat' seseorang membuat saya tidak berani mencoba menjalin hubungan dengan orang lain. Kalau dengan ayahnya sendiri, tentu Angie tidak akan merasa cemburu.

 

Di pernikahan kedua ini, saya tetap satu-satunya breadwinner.

 

Tahun 2008 saya resmi menceraikan dia lagi, setelah kami berpisah 'ranjang' sejak tahun 2005. what triggered this? Biarlah hanya saya yang tahu.

 

Apakah kemudian saya iri pada para perempuan yang dalam hidupnya tinggal 'nyadong' ke suaminya? Sama sekali tidak. Kembali ke motto WANG SINAWANG. Dan bahwa 'no one is (completely) better than anybody else', bukankah yang paling nyaman dalam hidup ini adalah merasa LEGAWA dengan apa yang kita miliki? 'Jatah' yang kita terima dalam kehidupan kita saat ini konon juga disebabkan apa-apa yang kita lakukan di kehidupan kita sebelum ini, kata seorang kawan Buddhist.

 

PT56 17.42 9 Maret 2023

 

No comments: