Search

Saturday, September 23, 2023

Pede Menjadi Berbeda

 


Saya sempat merasa begitu sendiri ketika saya menyadari bahwa cara saya memandang agama yang saya (terpaksa) anut dari kecil telah berubah. Syukurlah saya 'dipertemukan' (secara maya) dengan orang-orang yang memiliki cara pandang yang tidak jauh berbeda dengan saya.

 

Saya terlahir di sebuah keluarga dengan pendidikan agama yang saklek. Kedua orangtua berasal dari keluarga yang kurang lebih sama: berafiliasi dengan Muhammadiyah. Saya diajari membaca huruf hijaiyah sejak duduk di bangku TK, belajar shalat sejak TK juga, dan diajari ikut berpuasa Ramadhan sejak duduk di bangku kelas 1 SD. Bersekolah di satu madrasah alias sekolah agama yang sudah mengharuskan siswi perempuan mengenakan kerudung, di dekade 1970an, saat masih sangat jarang orang mengenakan kerudung.

 

Dengan latar belakang seperti itu, brainwashing terus menerus tidak berarti bahwa saya tidak berpikir kritis atas agama yang saya anut, terutama peraturan yang timpang untuk perempuan. Misal, mengapa dalam pembagian warisan anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih banyak dibanding anak perempuan. Belum lagi mengapa laki-laki boleh beristri empat sedangkan perempuan tidak boleh.

 

Kekritisan saya mempertemukan saya pada satu isme yang merupakan awal kebangkitan saya -- meski saya harus menunggu berpuluh tahun kemudian: feminisme. Dari belajar tentang feminisme (thanks to Fatima Mernissi Riffat Hasan atas buku mereka "Setara di hadapan Allah") saya membiarkan cara berpikir saya berkembang liar hingga berani menanggalkan relijiusitas saya.

 

Saya senang dengan keberanian saya melepas belenggu relijiusitas itu, tapi saya merasa asing di lingkungan saya karena saya dianggap aneh. Berpikir bahwa "there is no absolute truth" di dunia ini dianggap aneh di kalangan mereka yang beragama dengan saklek. Bahwa ritual-ritual yang kita lakukan itu tidak berarti apa-apa jika kita hanya mengharapkan ridha dari Tuhan, sebaliknya ritual-ritual yang seharusnya menghasilkan sifat welas asih pada sesama malah justru membuat kita jumawa bahwa kita adalah ahli surga yang lain entah akan berakhir kemana. Cara berpikir begini dianggap aneh di tengah-tengah lingkungan yang lebih mengutamakan ritual-ritual.

 

Saya merasa kesepian. Saat saya merasa 'sangat relijius' dengan melakukan semua ritual, saya merasa memiliki sifat ilahi, sedangkan setelah saya percaya bahwa melakukan ritual tidak berarti apa-apa jika kita tidak peduli pada sesama, saya merasa membumi,saya adalah manusia biasa. Namun justru saya dianggap aneh oleh orang-orang di sekitar saya.

 

B A N G K I T

 

Beruntunglah saya setelah bertemu dengan beberapa orang di media sosial yang memiliki cara berpikir yang tidak jauh beda dengan saya. Salah satu dari mereka -- yang memahami kegelisahan saya dari membaca catatan-catatan yang saya unggah -- memperkenalkan saya pada orang-orang yang berpikir mirip dengan cara saya berpikir. Dalam kehidupan nyata saya dianggap aneh dan mulai dijauhi, di kehidupan maya, saya mulai merasa saya baik-baik saja, saya biasa-biasa saja.

 

Saya merasa bersyukur bahwa tak lama setelah saya 'mendapatkan awakening' (begini saya menyebut proses spiritual saya), datanglah teknologi android yang membuat akses internet terasa murah dan mudah dijangkau. Berada di 'lingkungan' (meski hanya 'maya') membuat saya tidak merasa sendiri, sehingga saya tak lagi merasa memiliki cara berpikir yang aneh.

 

PT56 21.32 23.09.2023

 

N. B.:

Saya sudah menulis artikel yang temanya seperti ini, bisa dilihat di 

 

Social media influence on my spiritual journey


Religious

 

My naivete

 

A spiritual teacher



 

No comments: