Search

Monday, June 12, 2017

Relijiusitas semu

Jika tidak salah ingat, pertama kali aku "berani" makan di tempat terbuka di bulan Ramadhan di awal-awal dekade sembilanpuluhan, di Jogja. Entah apa yang membuatku menerima ajakan seorang kawan kos waktu itu untuk ikut makan dengannya di satu lapak terbuka di kawasan kampus UGM. Temanku yang satu ini mungkin sudah biasa melakukannya, sehingga dia nampak 'biasa' saja. (Maksudku tidak merasa rikuh atau grogi di bulan puasa makan di tempat terbuka.) Aku? Tentu saja merasa sangat amat bersalah dan (sedikit) tidak nyaman, meski aku sendiri waktu itu sedang mendapatkan 'izin' untuk tidak berpuasa.

foto diambil dari link ini

Jangankan makan di tempat umum, makan di rumah bagi seorang perempuan yang sedang menstruasi pun di bulan puasa harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Di dekade itu, kadar relijiusitas rakyat Indonesia bisa dikatakan belum begitu terasa. Belum banyak perempuan mengenakan jilbab. (Kata seorang kawan facebook, entah berdasarkan riset 'betulan' atau hanya sekedar melihat masyarakat, di dekade itu, dari sekitar 50 perempuan ketika berkumpul, ada 1 orang yang berjilbab, sekarang bisa jadi dari 50 perempuan, hanya ada 5 perempuan yang tidak mengenakan jilbab.) Belum ada ormas Islam yang merasa berhak untuk melakukan 'sweeping' warung-warung makan yang buka di siang hari. Belum ada 'peer pressure' di satu komunitas dimana sekelompok orang merasa punya hak untuk melakukan pemaksaan individu-individu yang ... misalnya ... tidak berjilbab.

Meskipun begitu, tak begitu banyak kulihat orang-orang yang makan maupun minum di tempat umum di bulan Ramadhan. Juga tak banyak warung makan yang buka, apalagi lapak-lapak (makanan) di pinggir jalan.

satu angkringan di Gombong

Beberapa hari lalu, aku mampir di satu warung bakso untuk makan siang. Disitu kulihat ada 5 perempuan yang sedang makan. Tiga orang mengenakan baju yang sama, mungkin seragam kantor. Dua dari 3 perempuan ini berjilbab. Dua perempuan lain -- nampak seperti ibu dan anak -- sang ibu mengenakan jilbab syar'i alias jilbab panjang dan lebar hingga menutupi bagian pantat.

Hal ini membuatku berpikir, ketika kecil dulu, 'brainwashing' bahwa makan di siang hari di tempat umum di bulan puasa itu sangat tidak etis dan memalukan sangat kuat, sehingga rasanya aku malu sekali jika melakukannya. Waktu itu rakyat Indonesia belum 'terlihat' serelijius sekarang. Sekarang, bahkan orang-orang yang jelas-jelas mengenakan 'atribut' keagamaan melakukannya tanpa merasa 'pekewuh' ya? Padahal banyak orang menggembar-gemborkan relijiusitas.

Relijiusitas semu? Hanya di permukaan?

IB180 20.22 12062017

No comments: