Search

Thursday, May 28, 2015

LASEM : LUNAS!



LASEM : LUNAS!

Semenjak tahu bahwa di Lasem ada sebuah vihara dimana di dalamnya ada patung Buddha berbaring dalam ukuran yang lumayan besar – kira-kira ini  tahun 2012 – aku sudah bermimpi untuk mencari lokasi vihara itu. Ranz and I missed this place when we went there in August 2012

Libur Imlek awal tahun 2014 kita berencana ke Lasem. Gagal karena hujan yang tak kunjung berhenti selama beberapa minggu hingga kawasan Kudus – Pati pun banjir. Saat itu kita ‘banting stir’ bikepacking ke kawasan Prambanan. 

Bulan September 2014 kita kesana lagi. Kita berhasil menemukan lokasi vihara Ratanavana Arama yang pertama kali dibangun tahun 1979 oleh Banthe Sudammo. Namun kita gagal memasukinya. 

Vihara Ratanavana Arama terletak di desa Sendangcoyo, Lasem, kurang lebih sekitar 4 kilometer dari pusat denyut kota kecamatan ini. Tidak jauh jika kita naik kendaraan bermotor. Lumayan menantang jika kita naik sepeda lipat. Aku yakin karena keindahan eksterior dan ornamen di dalamnya telah mengundang banyak pengunjung untuk menikmatinya. Akan tetapi ternyata di antara para pengunjung itu ada yang terlalu kreatif untuk meninggalkan jejak sehingga entah mulai kapan pintu gerbang vihara selalu ditutup. Ini sebabnya apakah anda bisa masuk ke dalam vihara tergantung dari amal kebaikan anda. Hohohoho ... Bukan, tergantung apakah anda beruntung atau tidak.

Seorang kenalan – Pak Yon – yang selama ini hanya kukenal nomor hape dan suaranya memberitahuku bahwa memang kita butuh punya kenalan di Lasem yang memiliki koneksi masuk ke dalam vihara. Bulan September 2014, sesampai vihara dan mendapati pintu gerbang tertutup dan terkunci, aku menghubungi Pak Yon. Sayangnya beliau memberi kabar yang kurang menguntungkan karena si penjaga pintu gerbang sedang keluar kota. 

Bulan Oktober aku berkesempatan ke Lasem lagi, mengantar field trip anak-anak SD kelas 6. Aku berpikir bahwa berwisata sejarah dan wisata religi ke vihara akan menambah pengetahuan bagi anak-anak karena area di dalam vihara terbagi menjadi beberapa kawasan. Misal ada Taman Lumbini dimana disana digambarkan ketika Siddharta Gautama dilahirkan. Kemudian ada patung Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon (Bodhi) sebelum Siddharta menjadi Buddha. Ada juga patung sang Buddha yang dikelilingi beberapa muridnya, ketika sedang mengajarkan ilmu yang dia dapatkan di sebuah taman yang disebut Taman Rusa.
Akan tetapi aku gagal lagi menjelajahi vihara Ratanavana Arama. Kita tidak diperkenankan masuk dengan alasan sang biksu/bikkhu khawatir jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang berhubungan dengan anak-anak. Beberapa kali telah terjadi anak-anak yang diajak menjelajah vihara pulangnya kesurupan.
Rupanya aku berjodoh dengan vihara yang lokasinya lumayan terpencil ini di bulan Mei 2015. 

14 Mei 2015 - Kamis

Kali ini aku dan Ranz tidak naik sepeda lipat ke Lasem, tetapi naik sepeda motor. There will always be the first in everything, won’t there? J mengapa naik motor? Karena kita tidak hanya berdua, aku mengajak serta Angie – the so-called kembaranku yang usianya 24 tahun lebih muda – dan aku meminta Angie mengajak Fitri, salah satu sobatnya sejak masih duduk di bangku SMP. Jika bagiku dan Ranz ini adalah ‘turing’ pertama naik sepeda motor, Fitri sudah sering melakukannya. Maka, ya begitulah, dalam perjalanan mereka telah melesat jauh, aku dan Ranz tertinggal puluhan kilometer di belakang. J

Gaya turing naik motor kita tak jauh beda dengan ketika bikepacking: kulineran itu hukumnya wajib. LOL. Selain memang perut perlu diisi, kita juga butuh istirahat agar tidak tegang. Satu lagi, menghilangkan rasa kantuk yang menerpa.
Kita berempat – Angie, Fitri, Ranz, dan aku – meninggalkan satu minimarket di Jalan Imam Bonjol sekitar pukul 08.00. Kita sampai pom bensin setelah melewati tugu selamat datang di kota Kudus pukul 09.15. Aku membeli pertamax, Fitri perlu mampir ke toilet dan musholla.

Dua puluh menit kemudian kita mampir ke rumah makan yang menyediakan garangasem khas Kudus untuk sarapan. Pertama kalinya aku makan garangasem. (Better late than never. LOL.) rasanya lumayan enak, tentu kapan-kapan kalo lewat Kudus, aku mau mampir lagi. Hahahaha ...

Sekitar pukul 10.30 kita melanjutkan perjalanan. Jika dari Semarang ke Kudus Fitri memboncengkan Angie, kali ini gantian Angie yang memboncengkan Fitri, karena Fitri merasa sedikit ‘bersalah’ padaku: dia tidak bisa naik motor pelan-pelan. LOL. Maka dalam perjalanan Kudus – Pati, dua motor kita berjalan beriringan. Sampai ...



Saat mengayuh pedal sepeda aku bisa terserang kantuk yang sangat, padahal kaki sibuk mengayuh. Bisa dibayangkan jika aku naik motor. LOL. Dan ... itulah yang terjadi. Aku mengantuk. Meski aku telah berusaha sendiri untuk memerangi rasa kantuk ini, dengan menggeleng-gelengkan kepala, menoleh kiri kanan, ngobrol dengan Ranz, satu saat aku meleng, hingga hampir saja motor nyebur ke selokan. LOL. Ranz langsung mengguncang-guncangkan tubuhku, “Kamu ngantuk?” Aku yang langsung tersadar, memandang ke arah Angie dan Fitri yang terlihat begitu khawatir, rasanya malu banget dah. LOL.

Tak lama kemudian, aku sudah membonceng Angie, sedang Ranz pindah ke motor Fitri. LOL.

Sekitar pukul 12.00 kita telah sampai di Rembang. Kita tidak langsung menuju Lasem karena Fitri ingin berziarah ke makam RA Kartini di kawasan Bulu – Rembang. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 18 kilometer dari jalan pantura dengan trek naik turun. Berulang kali bertanya pada orang, berulang kali pula mereka berkata, “Ya betul, lurus saja. Masih jauh.” Hingga yang terakhir menjawab, “Jika sudah sampai kantor kecamatan Bulu, sudah dekat.” J






Kompleks pemakaman RA Kartini dibagi menjadi dua, “makam ageng” yang merupakan kompleks kuburan RA Kartini dan anggota keluarga yang berhubungan darah langsung, dan “makam alit” tempat kuburan anggota keluarga yang “agak jauh”.

Lumayan banyak juga orang-orang yang berziarah ke makam Kartini waktu kita ada disana. Serombongan ibu-ibu sedang membaca surah yaasin waktu kita datang. Begitu rombongan ini pergi, ada rombongan lain lagi yang memanjatkan doa.




Sekitar pukul tiga sore kita telah sampai pusat kota Lasem – masjid agung yang terletak di pinggir jalan pantura. Rencana kita langsung menuju penginapan – Hotel Wijaya – tempat aku dan Ranz pernah menginap dua kali, check in, menaruh barang, kemudian lanjut ke Pasujudan Sunan Bonang. To our surprise, hotel satu ini sudah tidak dioperasikan lagi. Waahhh, kita harus hunting penginapan nih. Akhirnya kita mampir masjid untuk shalat dan istirahat sebentar.
Setengah empat kita meluncur ka kawasan Tuyuhan untuk makan siang yang kesorean. Jika bulan September lalu aku dan Ranz tidak sampai kawasan kuliner lontong Tuyuhan ini (karena kita buru-buru pulang), kali ini kita berhasil menikmati makanan khas Lasem ini. Aku dan Angie satu porsi berdua, Fitri memesan setengah porsi, Ranz mengambil sate uretan dan kuahnya tanpa lontong.








Setengah lima sore kita meninggalkan kawasan Tuyuhan menuju Pasujudan Sunan Bonang. Akhirnya kita pun mendapatkan kesempatan untuk sedikit berolahraga: mendaki tangga menuju lokasi Pasujudan Sunan Bonang dan Makam Putri Cempo. :D Di hari ini kita mengunjungi makam dua kali. :-D








Dalam perjalanan menuju lokasi Pasujudan Sunan Bonang, kita melihat ada sebuah hotel yang terletak di pom bensin, nama hotel itu Tasiksono. Kesanalah kita menuju. Ada dua jenis kamar hotel yang ditawarkan, (1) non AC, fan, TV, kamar mandi dalam Rp. 70.000,00 (2) AC, TV, kamar mandi dalam Rp. 140.000,00. Demi kenyamanan – agar tidak gerah di malam hari karena kita harus share bed yang tersedia berempat – kita memilih kamar ber-AC.






Malamnya kita makan malam di dekat masjid agung Lasem. Aku memilih cap cay goreng yang kumakan bareng Ranz, Angie nasi goreng, Fitri memilih nasi srepeh. Usai makan di warung ini, kita menuju warung sate Kobong – yang kita nikmati di dua kali ke Lasem sebelum ini. Namun ternyata warung sate asli Tulungagung ini tutup. Not Ranz’s lucky night. J

15 Mei 2015 – Jumat

Pagi-pagi sekali Fitri pamit pulang ke Semarang karena dia harus ke Malang malamnya. 

Pukul delapan aku, Ranz, dan Angie meninggalkan hotel; mereka berdua berboncengan naik motor, aku naik bus. Kita menuju masjid agung. Sembari menunggu kabar dari Pak Yon, kita sarapan di seberang masjid agung. 




Sekitar pukul setengah sepuluh mas Bowo – yang di’utus’ Pak Yon untuk menjadi guide kita hari ini – datang ke masjid. Setelah mas Bowo mengadakan koordinasi dengan teman-teman komunitas Lasem, kita menuju Sendangcoyo. Syukurlah mas Bowo datang naik motor: one problem automatically solved è aku tinggal bonceng mas Bowo. J Lokasi vihara Ratanavana Arama yang terpencil mengharuskan kita naik kendaraan sendiri, atau ojek. To our surprise, jalan setapak yang bulan September tahun lalu kita lewati dengan tertatih-tatih karena permukaannya yang rusak, (ga jauh beda dengan trek di Baluran) kali ini sudah beraspal mulus, meski ada beberapa titik yang terlihat sudah mulai mengelupas.
Akhirnya, one dream-come-true for me: menjelajahi vihara Ratanavana Arama. Saat waktunya tiba, aku justru telah lupa satu lokasi yang sangat kuidam-idamkan: patung Buddha berbaring! Juga candi yang jika kulihat di web dikatakan sebagai miniatur candi Borobudur.










Saat kita datang, angin berhembus dengan kencang. Satu hal yang mengingatkanku saat berkunjung kesini dengan anak-anak kelas 6, saat itu angin juga berhembus kencang. Angin berhenti berhembus kencang saat kita menerima kabar bahwa kita tidak bisa menjelajahi kawasan vihara.







Aku seperti orang yang tersihir saat menapaki tangga untuk memulai mengeksplor vihara yang luasnya mencapai 8 hektar, tidak ingat apa-apa yang ingin kulihat. Aku hanya mengikuti langkah sang ‘guide’ (haduh, aku lupa bertanya namanya siapa). Dari satu taman ke taman yang lain, dari satu patung Buddha ke patung yang lain, hingga kita dibawa ke lokasi dimana ada patung Buddha raksasa yang sedang berbaring. Nah! Aku baru ingat, patung satu inilah yang kuidam-idamkan kulihat langsung dan mengabadikannya menggunakan kamera (hape) sendiri. Sejak tahun 2012. Yang justru tidak kuingat ketika mulai menapakkan kaki setelah menulis buku tamu. Wew. Dari sana kita naik lagi menuju lokasi dimana ada candi kecil, yang ternyata diberi nama candi Sudhammo, seperti nama banthe yang berinisiatif membangun vihara ini. Setelah melihatnya aku juga seperti baru ingat, candi ini juga yang ingin kulihat langsung. Meski kita hanya bisa melihat candi dari luar pagar, kita cukup puas.
Sekitar pukul sebelas kita telah sampai di Rumah Candu atau yang juga disebut sebagai Lawang Ombo karena memang pintu gerbangnya lebar. Gedung ini sudah termasuk cagar budaya karena di satu ruangannya ada lubang – yang mirip sumur – dimana dulu merupakan ‘pintu masuk’nya candu ke pulau Jawa secara ilegal.











Di halaman belakang gedung ini ada makam Captain Liem yang menurut kisahnya dibantai oleh Belanda di salah satu kamar di dalam gedung itu karena membela rakyat pribumi Lasem melawan Belanda. Nampaknya bentuk gedung masih asli, meski sudah ada larangan untuk naik ke lantai dua karena dikhawatirkan bangunannya sudah lapuk.

Saat kita berada disana, ada juga wisatawan mancanegara yang sedang berkunjung, dan beberapa wisatawan nusantara lain.

Rencananya setelah berkunjung ke Rumah Candu aku akan mengajak Angie ke Kelenteng Cu An Kiong yang terletak tak jauh dari situ, paling-paling berjalan kaki hanya butuh lima menit, kemudian mengitari daerah Pecinan. Namun tidak jadi karena ternyata Angie kepengen buru-buru pulang.

Kita berpisah di depan masjid agung, Angie naik bus, sedangkan aku dan Ranz naik motor.

Perjalanan pulang kali ini kita santai banget, karena Ranz khawatir aku mengantuk dan membahayakan jiwa kita berdua. J Kurang lebih 20 kilometer dari pusat kota kecamatan Lasem itu kita berhenti di satu pom bensin yang ada mini marketnya, aku ngopi, Ranz menikmati mie instant cup, jelang masuk daerah Kaliori.

Pemberhentian berikutnya adalah satu pom bensin yang terletak di kota Pati. Usai buang hajat di toilet pom bensin, kita menikmati seporsi rujak pedas berdua dengan es degan dan es gempol (tapi tanpa gempol. LOL) Di Kudus Ranz mengajakku di sentra penjualan jagung dan bakwan jagung bakar, di warung Bu Paini. Tak lama meninggalkan sentra kuliner ini kita mampir lagi ke pom bensin, buang hajat lagi. LOL. Pemberhentian selanjutnya di satu mini market dekat alun-alun Demak. Aku ngopi lagi, sedangkan Ranz menikmati secangkir coklat panas.

Perjalanan agak tersendat setelah kita jelang masuk Sayung, macet panjang terjadi karena sedang dilakukan perbaikan jalan. Kita harus berjalan perlahan-lahan di antara kendaraan-kendaraan besar, seperti bus dan truk. Lepas dari macet, kita disambut rob di kawasan Kaligawe. Cakep! LOL.

Meninggalkan alun-alun Demak tak lama setelah adzan maghrib, kita mampir ke Babah Tiam di Jalan Imam Bonjol Semarang sekitar pukul tujuh. Aku ga ngopi lagi, menemani Ranz yang ingin makan dim sum, aku cukup minum air putih saja. Dua hari dalam perjalanan turing (yang tidak naik sepeda), aku merasa sangat kurang minum air putih.

Jam sembilan malam, aku sudah sampai rumah.
Will there be the next touring by motorcycle? Perhaps. J

NOTE:

Mengapa ‘lunas’?
1)     Keinginan menjelajah vihara Ratanavana Arama akhirnya terkabul
2)   Keinginan menunjukkan Rumah Candu ke Ranz (dan Angie) terkabul
3)    Keinginan mencicipi lontong tuyuhan terkabul
Selain ketiga keinginan itu, ada lagi nilai tambahnya: mencicipi masakan khas Kudus, garangasem, dan mengunjungi Pasujudan Sunan Bonang dan Makam Putri Cempo.

LG 12.00 19/05/2015