Search

Monday, December 19, 2011

Gowes Napak Tilas ke Stasiun Kedungjati


18 Desember 2011
sebelum berangkat

Mas Nasir didampingi Lala memimpin doa sebelum berangkat

Bermula dari diunggah kembali sebuah foto dari gowes bareng ke Stasiun Kedungjati kurang lebih tiga tahun lalu oleh Mas Nasir, akhirnya pada tanggal 18 Desember 2011 kemarin aku bersama Mas Nasir dan Mas Tunggal pun jadi bernostalgia kembali, menyusuri jalan sempit padat yang diakhiri dengan tanjakan yang meskipun tidak 'killing' cukup melelahkan. Kita tidak hanya bertiga tentu saja, namun juga disertai beberapa rekan goweser yang lain: my loved one, Ranz, Tami yang mengajak serta Yuni, Andra yang selalu semangat menyambut setiap ide gowes bareng, Eko Widi yang dengan tega meninggalkan sepupunya Asrul, tak ketinggalan Dany yang juga selalu penuh semangat menyambut ajakan gowes tour, meski sering datang terlambat ke meeting point dan mengejar rombongan, Om Topo yang selalu mengajak serta juniornya yang nampaknya bakal jadi pembalap di masa depan, pak guru Anton yang mengaku gowes ini adalah gowes terjauh setelah sempat mengalami cidera dan tidak bisa gowes selama berbulan-bulan, beserta beberapa lain yang tidak bisa kusebut satu-satu. :) Salah satu peserta yang membuat takjub para partisipan lain adalah dik Lala, putri kesayangan Mas Nasir yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, meski harus terhenti di tengah perjalanan.

Aku dan Ranz sampai di meeting point sekitar pukul 05.20 dimana Tami sudah duduk manis menunggu yang lain. Dia bilang khawatir ketinggalan seperti ketika gowes ceria menuju Kudus maka kali ini dia berangkat sangat awal. Di samping Tami sudah ada seorang newbie di kelompok Komselis, Teguh yang baru saja mendarat di Semarang, lengkap dengan tas backpacknya yang terlihat cukup berat di punggungnya.

Setelah ngobrol ngalor ngidul sembari menunggu kedatangan peserta lain, akhirnya kita setuju untuk berangkat sekitar pukul 06.10. Diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh Mas Nasir, diikuti dengan sedikit latar belakang mengapa gowes tour ini diadakan (napak tilas gowes tour tiga tahun lalu), akhirnya kurang lebih 23 goweser berangkat bersama dari meeting point. (3 orang menaiki sepeda balap, yang nantinya tidak jadi sampai ke tujuan). Jika 3 tahun lalu semua mengendarai mtb, gowes kali ini didominasi oleh sepeda lipat.Pak Eko ikut bergabung dengan rombongan di perjalanan.

Track memang tidak 'seramah' track menuju alun-alun Demak dimana jalanan lebih lebar, meski sama-sama dipenuhi oleh kendaraan besar, seperti bus dan truck. Selain itu, ada beberapa tempat dimana jalan tidak mulus, berlobang, dan sebagainya, sehingga lebih membutuhkan perhatian dan konsentrasi ekstra.

dalam perjalanan

kita tertib banget dalam perjalanan, karena jalan yang sempit :)

Aku dan beberapa peserta yang lain sempat berhenti di sebuah SPBU setelah melewati sebuah rel kereta api dimana kondisinya sangat berbahaya bagi mereka yang mengantuk. :) Mas Tung dan Ranz sempat buang hajat, sementara kita menunggu yang lain yang ada di belakang, terutama Mas Nasir dan si kecil Lala. Sebagian yang lain telah berada di depan. Di tempat inilah kita mendapatkan informasi bahwa salah seorang yang menaiki sepeda balap, ban sepeda bocor. Lewat telpon Tami mendapatkan informasi bahwa mereka mengizinkan kita untuk meneruskan perjalanan. Ada kemungkinan mereka tidak akan menyusul. Maka tiga peserta ini tidak sampai finish di Stasiun Kedungjati.

setelah melewati sekian tanjakan :)

Meskipun track tidak begitu bersahabat -- sempit dan jalan yang rusak di sana-sini -- perjalanan lumayan lancar sampai kita mulai memasuki track tanjakan. Setelah tenaga lumayan terforsir selama kurang lebih 30 kilometer perjalanan, kita diharuskan menaklukkan tanjakan. :) Maka perjalanan pun mulai tersendat. :-D untunglah pemandangan di kanan kiri jalan lumayan menyejukkan mata, ga kalah dengan pemandangan yang bisa kita lihat dalam perjalanan menuju Banyumeneng Park alias BMP (menurut pandangan seorang Nana Podungge).

Dany berusaha menaklukkan tanjakan :)

istirahat di tengah perjalanan

Sesampai di pasar Kedungjati, sebagian besar dari kita tidak langsung menuju stasiun, namun mampir terlebih dahulu untuk menyicipi pecel gendar. Sempat terjadi percakapan dengan seorang penjual di pasar tersebut bahwa seseorang sedang mencari seorang menantu laki-laki. :-D Nampaknya sih yang waktu itu dimaksud adalah Teguh. hahahaha ...

di pasar

di pasar

Kita sampai di stasiun Kedungjati kurang lebih sekitar pukul 11.15 (molor berapa jam yaaa dari perkiraan? :-D) Setelah memuaskan diri bernarsis ria di hadapan kamera masing-masing, kita setuju untuk meninggalkan lokasi sekitar pukul 12.00. Mas Nasir telah mencarter sebuah truck yang terus mengiringi dari Semarang, (yang di perjalanan sempat dimanfaatkan untuk loading, pertama, oleh si mungil Lala, kemudian juga oleh Yuni dan Pak Khudori :-D)

Perjalanan pulang cukup lancar setelah sebelumnya sempat pusing mengatur sepeda di dalam truck dan masing-masing peserta menempatkan diri di dalam truck, agar bisa 'pewe'. :)

Thank you all. Till our next 'biking tour' yah?
di stasiun Kedungjati

di stasiun kedungjati

berjajar menuruti instruksi sang fotografer :)

Personal note:

Perjalanan ini merupakan pengujian diri apakah aku masih payah seperti dulu sehingga seorang Mas Nasir perlu mendorong sepedaku tatkala melewati tanjakan. Aku selalu berkelit karena pada waktu itu aku masih seorang newbie dalam hal pergowesan dan menaiki sepeda mtb yang jika shifter gear kupindah maka rantainya akan lepas. :) Aku ingat di satu tanjakan waktu itu, aku merasa hampir pingsan karena tidak ada asupan cemilan, mana minum sudah habis. :)

Kali ini aku mengendarai sepeda lipat, Snow White, dimana di boncengan aku membawa tas panier yang di dalamnya berisi ... buku (:-P) dan lain-lain yang tidak begitu penting dalam perjalanan ini kecuali tiga botol berisi air mineral yang begitu kusayangi sehingga aku tidak menerima saran Ranz untuk menaruh tas panier dalam truck. :) Praktis kayuhan yang karena rodanya hanya 20 inchi tidak membawaku jauh melesat ke depan :-P plus berat panier ternyata lumayan mempengaruhi kekuatan dengkulku (I got 3 years older than last time :-P) Tentu aku sangat tidak menerima diri jika aku tidak mampu menaklukkan perjalanan ini, apalagi setelah pada bulan September kemarin aku menempuh track yang kurang lebih mirip dan lebih jauh, sekitar 60 kilometer, dari pintu gerbang masuk kotamadya Wonogiri sampai pertigaan Pracimantoro. And I was ok, meski teler, wkwkwkwkwk ... Analisis Ranz adalah, "Meski kamu bilang tas panier itu tidak memberati dengkulmu, in fact, it really did!" Baiklaaaahhh ... :-P

my darling Ranz, thanks for always being my savior :)

Gowes napak tilas ini jauh lebih ringan dibandingkan tiga tahun lalu karena pulangnya kita naik truck. :) Nampaknya kalau pulangnya tidak naik truck, Mas Tung tidak akan ikut gowes kali ini, sudah menyerah kalah sebelum bertanding. hahahaha ... Setelah perjalanan 3 tahun lalu, konon Mas Tung hampir tidak bisa berjalan selama kurang lebih satu minggu. :-D

Btw, busway, ternyata aku memang belum, atau mungkin tidak akan kapok gowes tour seperti ini.



PT28 18.49 191211

Friday, December 02, 2011

Gowes Nekad!


 
Gowes nekad?

Adalah gowes menuju Pantai Nampu Wonogiri (tepat di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur) dari daerah Jongke Solo. Berdua. Aku dan Ranz. Naik sepeda lipat, urbano 3.0 dan pocket rocket.

Nekad karena belum benar-benar tahu lokasinya di sebelah mana. Juga karena ternyata kita berbekal informasi yang tidak sepenuhnya benar. Informasi yang kita terima adalah, “Jarak dari Solo menuju Wonogiri 40 kilometer. Jarak dari Wonogiri menuju Pantai Nampu juga sekitar 40 kilometer. Rute yang dilewati jalannya ‘biasa’ saja,” kata sang pemberi info.

Maka kita pun nyante waktu meninggalkan rumah Ranz pada tanggal 3 September 2011. Jika semula kita berencana berangkat sekitar pukul 06.00 pagi, namun karena sesuatu hal kita baru meninggalkan rumah sekitar pukul 09.00. Estimasi kita adalah: kita butuh sekitar dua atau tiga jam untuk menempuh Solo – Wonogiri. Kita juga membutuhkan waktu yang kurang lebih sama untuk menempuh Wonogiri – Nampu. Maka kita perkirakan kita akan sampai di Nampu sekitar pukul 17.00, paling lambat.

Apa daya ternyata kita terlalu ‘meremehkan’ perjalanan yang akan kita tempuh. Selama perjalanan Solo – Wonogiri memang kita tidak menemui kendala yang berarti, jalan mulus, datar, dan traffic yang tidak terlalu padat. Begitu masuk kota Wonogiri (sekitar pukul 12.00), kita pun disambut dengan tanjakan-tanjakan yang ternyata tidak kunjung usai hingga kita sampai ke tempat tujuan: Pantai Nampu.

Semula aku tidak yakin bahwa Pantai Nampu terletak di balik bukit (gunung?) dimana untuk sampai disana kita harus terus menerus melewati tanjakan. Setelah melewati tanjakan dimana kita melewati waduk Gajahmungkur, dari satu kecamatan ke kecamatan lain, aku selalu berharap bahwa tak akan lagi aku menemui tanjakan.

“Dimanakah jalan turunan yang nantinya akan membawa kita ke arah pantai?” begitu aku terus menerus berbincang pada diri sendiri. Namun harapanku teruslah hanya merupa harapan kosong belaka.  Tak jua ada turunan yang tak segera diikuti tanjakan lagi di ujung depan sana.  Dan sangatlah tidak mungkin aku menyalahkan Ranz yang memberi informasi yang tidak benar.

Kita berdua sarapan pukul 09.15 di Soto Seger Jalan Bhayangkara Solo. Kita sempat mampir ke sebuah warung di pinggir jalan membeli es campur sekitar pukul 12.00 sebelum masuk Kabupaten Wonogiri dari arah Solo. Dan kita tidak makan apa pun hingga menjelang pukul 16.00, kecuali minum air mineral perbekalan kita karena kita masih tetap saja menyimpan harapan untuk segera sampai pantai sebelum matahari tenggelam. Namun ketika pukul 16.00 dan melewati sebuah rumah makan, aku langsung membelokkan sepeda. Aku butuh asupan makanan untuk melanjutkan mengayuh pedal.

Ranz sudah nampak menyesal pada waktu itu karena informasi yang dia berikan kepadaku melenceng. Yah, sudahlah, apa pun yang terjadi, kita harus meneruskan perjalanan.

Sebelum meninggalkan rumah makan, aku sempat bertanya kepada si empunya apakah aku dan Ranz berada di jalur yang tepat. Kita mendapatkan jawaban yang setengah melegakan: kita berada pada ‘track’ yang tepat, namun tanpa informasi jelas seberapa jauh lagi jarak yang masih harus kita tempuh.

Lewat pukul 17.00, mungkin dikarenakan mendung, jalanan mulai gelap. Tetap tak ada tanda-tanda jalan menurun yang mungkin akan membawa kita ke daerah pantai. Aku mulai tak bisa menyembunyikan kecemasan dari roman wajahku.

“Kita cari hotel saja jika ternyata perjalanan kita harus berhenti di satu tempat malam ini,” kataku pada Ranz. Dia langsung mengiyakan. Kondisi tubuh kita sudah payah.

Sesampai di kota kecamatan Pracimantoro sekitar pukul 18.30 dimana kita menemukan sebuah mini market, kita mampir untuk membeli air minum dan sedikit cemilan penambah tenaga. Sembari beristirahat sejenak, duduk di emperan toko, kita ngobrol, menghibur diri. “This is gonna be a very memorable bikepacking experience,” kata kita berdua.

Di perempatan yang letaknya tak jauh dari terminal bus Pracimantoro, aku bertanya kepada seorang polisi di sebuah pos polisi, “Kemanakah arah menuju Pantai Nampu?”

“Ibu mau ke Pantai Nampu? Naik sepeda? Wahhh...” komentarnya. Dia pun memberikan petunjuk belok ke arah kiri. Kita diminta terus saja ambil arah kiri itu sampai sekitar 7 kilometer. Kita akan sampai ke sebuah perempatan lain, yang daerahnya disebut Giri Belah. Ambil arah kanan, kita akan sampai ke sebuah daerah yang disebut Paranggupito. Disanalah kita akan menemukan pantai Nampu.

Dengan sedikit blank, aku mengikuti petunjuk tersebut. Sementara Ranz yang melihat bahwa jalan yang kita lewati bakal tetap merupakan jalan tanjakan turunan, mana tidak terlihat sebuah lampu pun menyala di pinggir jalan, dia memaksaku untuk kembali ke perempatan Pracimantoro, dan mencari hotel. Aku sendiri berharap akan menemukan hotel juga dalam perjalanan menuju ke arah Giri Belah.

“Ga bakal ada hotel di jalanan yang sunyi senyap tanpa lampu seperti itu,” kata Ranz. Ngeyel.

“Kalau kita balik lagi ke arah perempatan dimana ada pos polisi tadi, kemudian polisi itu melihat kita, dan bertanya mengapa kita balik, lalu mau jawab apa?” tanyaku, ngeyel juga, sambil mendramatisir suasana.
“Bilang saja kita memutuskan mencari hotel untuk menginap malam ini. Baru besok pagi melanjutkan perjalanan lagi,” jawab Ranz, setengah tak mengerti aku yang blank.

Akhirnya kita pun balik lagi ke arah perempatan, letak titik keramaian di daerah itu. Setelah bertanya kepada beberapa orang, ada seorang laki-laki yang memberi petunjuk. Aku dan Ranz mengayuh pedal menuju arah yang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Jalanan pun naik turun dan gelap. Setelah sekian ratus meter tak juga kita menemukan hotel yang katanya bernama hotel Aji Mantoro, Ranz bertanya lagi, “Are we on the right track? Kok jauh amat.”

“Do you think that guy lied to us? What’s the point?” tanyaku balik, semakin lelah. “Pokoknya tadi orang itu bilang agar kita terus gowes sampai kita menemukan hotel di sebelah kiri. Sekarang kita belum menemukan hotel itu, mari kita terus gowes saja sambil berharap menemukan hotel yang kita cari.”

Ranz setuju.

Sekitar kurang lebih dua kilometer dari perempatan, kita menemukan hotel itu. Lega yang luar biasa menghinggapi hati kita berdua. Akhirnya kita bisa beristirahat malam itu! Namun ketika melihat pelataran parkir hotel penuh mobil berpelat B, aku sedikit khawatir. Jangan-jangan ...

“Ada kamar kosong Pak?” tanyaku pada resepsionis.

“Kamar penuh, Mbak.” Jawabnya.

Gubrak.

Namun aku tidak kehilangan harapan. Sementara tenaga telah terasa lunglai semenjak melihat penampakan hotel. Aku tidak mungkin mampu gowes lebih jauh lagi untuk mencari hotel lain.

“Bisakah kita nunut duduk di sofa ini?” tanyaku, penuh harap. We could not continue our journey!

“Oh, silakan saja,” jawab sang resepsionis.

Oh leganya! Meski hanya beristirahat di sofa, tak apalah, yang penting malam itu kita tak perlu lagi gowes. Hawa lumayan dingin, namun dengan mengenakan jaket, duduk-duduk di ruangan resepsionis, aku merasa jauh lebih baik ketimbang berkeliaran di jalanan, melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nampu.

Bahwasanya kita harus menginap di hotel karena kemalaman di jalan benar-benar di luar perkiraan kita. Pengalaman bahwa kita berhasil menemukan hotel namun tak ada kamar kosong jelas telah membuatnya jauh lebih dramatis. Wow. J untunglah sang resepsionis juga mempersilakan kita menggunakan toilet yang disediakan di dekat musholla untuk kita bersih-bersih diri. Hanya sayangnya malam itu kita harus kelaparan sembari beristirahat karena ternyata di hotel tidak ada restaurant. Mau kembali lagi ke perempatan ‘kota kecamatan’ Pracimantoro untuk mencari camilan kita sudah tak mampu lagi gowes, jadi ya apa boleh buat? Sempet nyesel juga mengapa kita tidak membeli makan dulu sebelum mencari hotel, namun karena kita sudah panik sebelumnya merasa tidak yakin bakal ketemu hotel di daerah situ, jadi ya begitu deh.

Malam terasa merambat pelan karena rombongan yang berasal dari Jakarta membuat kegaduhan ketika bermain kartu. Sebagian lagi ngobrol rame-rame. Nampaknya mereka sedang begitu menikmati kebersamaan mumpung suasana Lebaran. Baru setelah pukul tiga, tak lagi kudengar suara-suara bising.

Pagi sekitar pukul 06.00 aku dan Ranz sudah siap meninggalkan hotel. Yang pertama kita lakukan tentu adalah mencari warung di perempatan Pracimantoro untuk sarapan. Kita butuh asupan makanan untuk tenaga melanjutkan perjalanan dengan gagah berani.

Usai sarapan, mampir toilet di sebuah pom bensin, kita berdua melanjutkan perjalanan sekitar pukul 07.00. Kembali menyusuri jalan yang tak pernah lepas dengan tanjakan maupun turunan, meski landai. Istirahat semalam hanya dengan duduk-duduk di sofa ruang resepsionis hotel dan sarapan semangkok nasi soto ternyata lumayan menyuntikkan tenaga. Tentu juga didorong oleh ketekadan hati bahwa kita harus sampai ke tujuan: Pantai Nampu. Bukan apa-apa, sudah telanjur ‘woro-woro’ di media social network bahwa kita berdua bakal bikepacking ke Pantai Nampu dari Solo naik sepeda lipat. Kalau harus berhenti di tengah jalan, malu dong ya.

Di sepanjang jalan yang kita lewati menuju perempatan Giribelah, kita menemukan penunjuk berapa kilometer dari Wonogiri, juga dari Solo. Kita semakin sadar bahwa informasi yang kita bawa di awal perjalanan memang salah. Dari kota Solo – terutama tempat tinggal Ranz – masuk perbatasan kabupaten Wonogiri memang hanya 40 kilometer, namun ternyata dari situ sampai ke kecamatan Pracimantoro, kita telah menempuh jarak sekitar 60 kilometer. Dari Pracimantoro ke perempatan Giribelah ada sekitar 7 kilometer, seperti kata pak polisi yang kutanya satu malam sebelumnya.

Dan ini semua belum seberapa. Setelah kita sampai di perempatan Giribelah, klimaks dari seluruh perjalanan terbentang di depan mata: tanjakan curam sepanjang puluhan kilometer lah yang akan membawa kita sampai ke tempat tujuan, Pantai Nampu. Boro-boro turunan landai yang akan membawa kita ke pantai. Fiuuuuuhhh ...

Honestly, aku langsung merasa tubuhku tak lagi bisa diajak kompromi. Dengkul sudah tak mau lagi dipaksa mengayuh pedal. Aku mending nuntun dah dari pada harus memaksa diri. (Percayalah bahwa menuntun sepeda itu sangat disarankan dan perlu mana kala lutut memang tak lagi mampu. LOL.) Untungnya, Ranz tidak patah semangat. Padahal sehari sebelumnya, justru dia yang terlihat kepayahan ketika tiba-tiba di satu tanjakan, dia meminggirkan Snow White sambil berkata, “I need to rest.” Sambil memijat-mijat betisnya sendiri. OH NOOOOO ... Kalau ‘savior’ku saja sampai bilang begitu, bagaimana aku?

Meski aku ‘keukeuh’ untuk nuntun sepeda sepanjang tanjakan curam menuju Pantai Nampu, Ranz tetap keukueh juga menaiki sepeda. Dan caranya dia gantian, menaiki Snow White sekian ratus meter, kemudian balik lagi menjemput Pockie untuk dikayuh sekian ratus meter. Begitu terus menerus. Hingga akhirnya kita sampai ke Pantai yang kita impikan sejak sehari sebelumnya.

Meski orang-orang yang suka berpetualang bilang ‘the destination is not as important as the journey’, kali ini bagi kita berdua tujuan itu sangat penting. Bukan untuk apa-apa, hanya sekedar untuk bernarsis ria berfoto bersama sepeda kita untuk bukti bahwa kita akhirnya menaklukkan perjalanan sekitar 130 kilometer dengan naik sepeda lipat dan sampai dengan selamat. Cihuuyyy.  Toh kita juga sudah menikmati perjalanan dimana jalannya penuh tanjakan dan turunan, kebersamaan kita berdua yang membuat perjalanan ini begitu manis dan memorable.

Untunglah pulangnya kita mendapat tumpangan mobil (tetangga Ranz) sampai Giribelah. Dari perempatan Giribelah kita gowes sampai perempatan Pracimantoro dimana kita menggurat kenangan dengan bermalam di salah satu hotel dengan cara duduk-duduk di sofa ruang resepsionis. Dari Pracimantoro kita kembali ke Solo naik bus antar kota.

Sampai sekarang kita berdua masih belum yakin akankah kita mendapatkan pengalaman bikepacking semenantang perjalanan kita ini. Yang pasti adalah, pengalaman salah informasi ini membuat kita lebih berhati-hati untuk mempersiapkan rencana bikepacking selanjutnya.

GL7 08.58 021211

P.S.: Berupa penulisan ulang 'bikepacking ke Pantai Nampu' untuk mengikuti Kontes Menulis "Cycling with Confidence"

Gowes Beresiko!

Bersepeda paling beresiko semenjak aku menggemari bersepeda bulan Juli 2008 adalah ketika aku dan Ranz memutuskan untuk menempuh perjalanan dari pantai Bandengan Jepara ke Semarang naik sepeda lipat.
Tanggal 7 Juli 2011 kapal penumpang ferry Muria yang kita naiki dari Pulau Karimun Jawa merapat di dermaga pantai Bandengan sekitar pukul 15.00.
“Jadi gowes ke Semarang?” tanya Ranz.
“Ayo. Jadi sajalah,” jawabku. “Siapa tahu bisa menyembuhkan mabuk laut selama kurang lebih enam setengah jam di atas kapal Muria.”
Maka tanpa pikir panjang, setelah memasang Snow White dan Pockie, kita berdua keluar dari pelabuhan Bandengan gowes ke arah kota. Sempat bertanya arah menuju kota sekali kepada seorang penduduk yang kita temui di pinggir jalan, dan mampir ke sebuah mini market untuk membeli air minum mineral, kita menuju kota.
Dikarenakan semenjak pagi kita belum sempat sarapan, maka kita memutuskan mampir di sebuah rumah makan untuk makan siang yang sangat terlambat, nunut shalat, juga nunut nge-charge hape.
Sekitar pukul 16.30 kita siap mulai menempuh perjalanan panjang. Ranz menaiki Snow White yang berupa sepeda lipat urbano 3.0 karena di boncengannya duduk tas panier yang penuh barang bawaanku.  Di punggung Ranz juga menggendong tas punggungnya yang tak kalah berat.  Aku menaiki Pockie alias sepeda lipat pocket rocket milik Ranz yang tanpa beban kecuali tas punggung kecil yang kubawa.
Matahari masih bersinar terang kala itu. Kita mengayuh pedal dengan kecepatan sedang, berusaha untuk selalu berada di sisi paling kiri karena di jalur yang kita lalui, mobil-mobil, bus-bus, juga truk-truk besar kadang melewati kita dengan seolah menganggap kita tak pernah ada. Bahkan di satu tempat, Ranz sempat jatuh terpelanting karena sebuah truk menyenggol tas panier. Aku hampir menyarankan untuk tidak jadi gowes ke Semarang karenanya, namun Ranz terus meyakinkan aku bahwa dia baik-baik saja.
Tantangan semakin terasa ketika langit mulai gelap karena sang mentari telah beristirahat di peraduannya. Jika dalam keadaan terang benderang saja kendaraan bermotor berbadan besar itu hampir menganggap kita tidak ada, apalagi dalam kegelapan? Ditambah lagi kita hanya punya sebuah lampu yang dipasang di setang Pockie. Karena itulah aku berada di depan, sedangkan Ranz berada di belakangku. Tidak ada lampu di badan Snow White, aku lupa entah jatuh kemana lampu yang terpasang di bawah sadel semenjak Snow White dibeli setahun yang lalu. Untuk memberitahu pengguna jalan di belakang kita bahwa ada sepeda yang melintas adalah ‘scotchlite material’ yang ada di tas panier.
Terus terang sepanjang perjalanan hati kita berdua deg-deg plas karena nekad bersepeda dalam gelap tanpa penerangan yang cukup. Apalagi jalan yang kita lewati lumayan sempit, selalu penuh dengan kendaraan bermotor yang berbadan besar dan sopirnya sering ngawur, menganggap kita tidak ada. Apalagi waktu di daerah kabupatan Jepara, Ranz sempat jatuh. Namun dengan keyakinan teguh, kita terus mengayuh pedal tanpa henti.
Deg-degan kita lumayan jauh berkurang setelah melewati pertigaan Welahan. Kita akhirnya sampai ke jalan raya pantura yang lebarnya sekitar satu setengah kali dibandingkan jalan yang kita lewati sebelumnya. Juga karena banyak bertabur lampu di pinggir jalan. We were not really in the dark anymore.
Dalam diam kita terus gowes sampai di alun-alun Demak sekitar pukul 20.00. Kita sepakat untuk mencari sebuah mini market untuk membeli air minum dan sedikit cemilan, sekaligus beristirahat sejenak. Tas panier yang duduk manis di boncengan Snow White memang cukup mengabarkan pada mereka yang tertarik memandang kita bahwa kita adalah ‘bikepacker’ yang sedang menempuh perjalanan jauh.  Ketika masih di Jepara, tiap kali ditanya orang, aku menjawab, “Dari Karimun Jawa menuju Semarang,” namun ketika ditanya tukang parkir di mini market tempat kita nongkrong sejenak, aku menjawab, “Dari Karimun, mau menuju Solo.”  (Ranz bertempat tinggal di Solo, sedangkan aku di Semarang.) Sengajalah, biar terkesan dramatis.
Perjalanan Demak – Semarang lumayan lancar kecuali ‘terganggu’ sms-sms dari anakku yang menganggap keputusanku gowes Jepara – Semarang dalam keadaan mabuk laut adalah candaan yang sama sekali tidak lucu.  Tentu saja aku harus membalas sms-sms itu untuk meyakinkan bahwa nyokapnya baik-baik saja, dan sangat berharap mabuk laut itu akan sudah hilang ketika sampai rumah.

Kita sampai di rumahku – di kawasan Semarang Barat – sekitar pukul 22.00. Setelah memastikan aku sampai rumah sehat wal afiat, tak kurang suatu apa, Ranz kembali gowes ke arah Tugumuda, dimana dia menunggu dijemput ‘travel’ untuk melanjutkan perjalanan ke Solo.
Benar-benar pengalaman gowes beresiko yang kita jalani berdua, but for sure, it is unforgettable.
GL7 11.11 301111

P.S.: tulisan ulang yang merupakan bagian pengalaman bikepacking ke Karimun Jawa. ditulis ulang demi mengikuti lomba Kontes Menulis "Cycling with Confidence"