Search

Saturday, April 03, 2010

Feminis - feminine - maskulin


Sekuat apa pun aku membentuk diri untuk menjadi seorang feminis (lewat tulisan-tulisan yang kuhasilkan di blog, lewat bacaan-bacaan yang kuserap yang akan selalu mengingatkanku untuk berpikir menggunakan feminist perspective), aku tahu aku bukanlah sang feminis ‘sejati’ (adakah feminis sejati? LOL) atau ‘perempuan perkasa’ seperti yang dilabelkan oleh beberapa pengunjung blog-ku yang beralamat di http://afeministblog.blogspot.com

Dan aku yakin, aku pun bukan seorang perempuan feminin, yang diidolakan oleh banyak laki-laki. Bahkan aku yakin banyak laki-laki yang tidak suka jenis perempuan sepertiku – tidak feminin, kala ‘sifat feminis’ku mencuat (hasil ‘pembentukan diri sejak tahun 2003, sehingga bisa dikatakan tidak ‘inheren’ dalam diriku ini), mana ada laki-laki (yang tidak pede, LOL) yang akan mau berkawan denganku? LOL. Misal: lebih memilih nongkrong di depan komputer daripada memasak, lebih memilih sepedaan keliling kota daripada pergi ke pasar, lebih memilih berenang daripada bersih-bersih rumah. :p Aku akan memasak, pergi ke pasar, ataupun bersih-bersih rumah, jika memang aku harus melakukannya, dan waktu tak mau menungguku. Meski dalam kehidupanku sehari-hari, aku paling suka mengenakan rok panjang semata kaki. (konon, ada korelasi yang kuat antara feminin dan perempuan yang mengenakan rok).

Plus, tentu saja aku sama sekali tidak maskulin, meski di komunitas b2w Semarang anggota perempuannya terbatas banget. (nyambung ga nih? LOL.) Waktu aku duduk di bangku SMP, aku pernah ikut latihan karate selama satu setengah tahun, dari ‘ban’ putih sampai ‘ban’ biru. Jadi bisa dikatakan bibit maskulinitas ada di diriku, yang sayangnya tidak kupupuk dengan baik. (Yang kupupuk memang hanya feministic trait ajah.)

By the way …
Waktu kuliah di American Studies UGM, aku punya seorang teman yang sangat akrab denganku, saking akrabnya aku menjulukinya ‘my soul mate’. Meski kita tidak tinggal di kos yang sama, di kampus kita sering terlihat berdua, ke kantin, ke perpus, ke fotocopy center, dll. Beberapa kali kita berdua pulang ke Semarang bersama, naik bus ekonomi, dalam keadaan penuh sesak. Entah mengapa pada saat seperti itu, aku memposisikan diri sebagai sang ‘butch’ sedang dia adalah sang ‘femme’. I had to protect her. wkwkwkwk ... padahal suwer kita berdua bukan sepasang lesbian, kita berdua sama-sama heteroseksual.

Nevertheless,
Mungkin memang semua orang memiliki kecenderungan untuk menjadi feminin sekaligus maskulin. Tergantung bagaimana mereka memupuknya. :)

Feminis? Well, kata satu ini mungkin rada ditakuti di tengah masyarakat dimana budaya patriarki masih sangat kental, seperti di Indonesia. Sehingga merupakan satu hal yang ‘jamak’ jika orang ogah mengenakan istilah ini untuk diri mereka, meski kalau kutengarai cara berpikir mereka feminis (yang meletakkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka berpikir mereka). Sebagian mereka lebih suka menggunakan istilah ‘humanis’, satu istilah yang juga dipilih oleh Harry Aveling tatkala dia menjadi keynote speaker di sebuah International Conference yang diselenggarakan di Jogja tahun 2003. Namun bagi seorang sepertiku, aku yakin bahwa menggunakan istilah ‘F’ ini masih tetaplah relevan, meski kita kini telah sampai ke era post feminisme.
PT56 21.51 020410