Search

Wednesday, August 13, 2008

Nana naik sepeda

Aku adalah orang baru yang terjun ke bidang naik sepeda, meskipun tentu aku telah bisa mengendarai sepeda semenjak aku duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar, pertama kali bokap membelikanku sepeda. Aku bersepedaan hanya untuk bersenang-senang, sekaligus bermain-main dengan tetangga. Aku tidak perlu bersepeda ke sekolah karena jarak rumah-sekolah yang hanya butuh dua menit berjalan kaki. Di waktu duduk di bangku SMP, aku diantar sekolah oleh kakakku dengan naik sepeda. Pulangnya? Aku lebih sering memilih berjalan kaki ketimbang naik bus, karena lebih suka menggunakan uang transport untuk membeli prangko (karena aku punya beberapa kawan pena). Di bangku SMA kelas 1 pun sama. Tatkala naik kelas 2, bokap membelikanku sepeda motor (janji beliau kalau aku diterima di sekolah negeri terfavorit di Semarang). Praktis semenjak itu aku tak pernah lagi naik sepeda.
Aku mulai naik sepeda lagi—dengan tujuan berolahraga setelah kakakku mengirimkan sebuah sepedanya ke Semarang di tahun 1991/1992. Ide untuk naik sepeda ke kantor tentu saja tak pernah terlintas di benakku. Mungkin karena harga BBM masih murah. Mungkin juga karena polusi udara di Semarang belum terasa parah. Mungkin juga karena waktu itu kantorku terletak di Jalan Teuku Umar.
Maka ide naik sepeda ke kantor adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin kulakukan bagiku mengingat aku (pernah menjadi) tipe orang yang menjadi korban ideologi bahwa yang cantik itu putih. (Seminggu yang lalu baru saja aku dikomentari seorang rekan kerja, “Kamu sekarang jadi hitam loh Na, gara-gara sepedaan tentu.” Dan aku sedih mengapa satu hal sepele ini harus lebih didahulukan ketimbang tujuan mulia bike to work, yakni ikut berperan aktif mengurangi polusi udara.)
Bersepeda ke kantor sebagai salah satu sarana untuk berolahraga juga tidak kuperlukan karena semenjak awal tahun 2006, aku telah menjadi anggota Paradise Club fitness center. Aku suka naik stationed bike di sana karena aku bisa sambil menambah wawasanku, karena biasanya aku melakukannya sembari membaca buku.
Namun tatkala aku merasa ikut bertanggungjawab untuk mengurangi dampak negatif global warming (kadang tatkala berdiskusi masalah ini di kelas, aku sering merasa sedih karena aku tak melakukan satu kegiatan apa pun untuk mengurangi dampak negatif global warming karena aku bukan tipe orang yang suka berkebun, kecuali kadang-kadang aku membawa tas plastik sendiri tatkala beli sesuatu ke mini market) dan bersepeda ke kantor merupakan alternatif yang sangat praktis, mengapa tidak?
Dengan bersepeda ke kantor juga menunjukkan cintaku kepada generasi di belakangku karena hal ini berarti aku ikut menghemat penggunaan bahan bakar yang non renewable ini.
Dan aku sangat senang tatkala bertemu dengan teman-teman lain yang seide denganku.
Kalau kenyataannya mereka bersepeda ke kantor hanya satu minggu satu kali, well, it is better than never. Aku hanya beruntung saja karena rumahku terletak tak jauh dari kantor, dan tidak perlu melewati tanjakan, sehingga aku bisa lima kali dalam satu minggu pergi ke kantor. Seandainya anakku mau kuantar ke sekolah naik sepeda, tentu aku akan melakukannya. Sayangnya dia MENOLAK KERAS, sehingga praktis aku tetap naik sepeda motor setiap hari tatkala mengantar anak semata wayangku ke sekolah, kecuali hari Minggu. Namun toh aku tetap mengirit bensin karena selain itu, untuk kegiatan lain, aku naik sepeda.
Tentu aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman b2w Semarang lain yang belum secara maksimal naik sepeda ke tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi.
Yang penting sudah ada niat.
Dengan catatan: niat itu segera direalisasikan, tanpa membuat daftar alasan untuk tidak segera melakukannya. Mungkin dengan saling cerita pengalaman bike to work ke sesama anggota b2w Semarang, kita bisa saling mengompori satu sama lain untuk segera mewujudkan tujuan mulia b2w. :)
PT56 23.49 120808