Search

Monday, July 30, 2007

Minggu 29 Juli 2007

Minggu 29 Jul. 07
Pagi hari.
Aku pergi berenang setelah libur selama kurang lebih 3 minggu, if I am not mistaken. Seusai berenang, seperti biasa aku nongkrong di bangku kesayanganku di Paradise Club yang terletak di sebelah Timur kolam renang. Entah kemana meja yang biasanya terletak di depan bangku itu sehingga terpaksa aku memangku the cutie tatkala aku mengetik sesuatu di situ.
Di bawah ini foto bangku tempat aku nongkrong (minus meja), dan foto kolam dijepret dari arah Timur.


Usai mengetik (harus usai karena the cutie udah ngomelin aku minta dicharge), aku membaca tiga cerpen dalam kumpulan cerpen “Perjalanan Celanda Dalam” karya Nugroho Suksmanto. Sayangnya ketiga cerpen yang kubaca pagi tadi tak lagi memiliki setting place Semarang. :( Bagi diriku pribadi, ternyata daya tarik kumcer satu ini terletak pada setting place Semarang plus setting time yang kubayangkan terjadi di dekade aku lahir atau tatkala aku duduk di bangku SD, karena membantuku bernostalgia.
Siang hari.
Angie pergi diajak Tantenya nonton Harry Potter.

Aku bukan salah satu fans HP sehingga aku tidak ikut. Ini alasan pertama aku tetap tinggal di rumah. Alasan kedua, aku tidak pernah menikmati nonton di bioskop. Alasan ketiga, BOROS. LOL. Beruntunglah Angie yang memiliki seorang Tante yang juga suka HP, sehingga dia pun ada yang nraktir nonton HP. LOL. Jikalau tidak, dia harus bersabar menunggu DVD aau VCD HP keluar, baik yang resmi maupun yang bajakan. LOL.
Tatkala Angie pergi nonton, I occupied our bedrrom by myself. Huh ... I must admit that I love it a lot. :) I could do some favorite things without feeling uncomfortable. “What things?” well ... rahasia ah. LOL.
Salah satunya adalah ngetik di dekstop full concentration tanpa ada yang ngajakin cerita ini itu, sehingga aku tidak perlu membagi konsentrasi. (I have produced four writings so far for my various blogs).
Yang kedua, aku bisa tidur siang di pinggir tempat tidur dekat dengan kipas angin, tanpa ada yang ngusir. LOL.
Sore hari.
Semula rencananya Angie dan Tantenya mau nonton jam 14.00. Berhubung sampai jam 16.30 Angie belum sampai rumah, aku langsung bisa menyimpulkan they didn’t get the tickets for the 14.00 show so they had to watch the show at 16.10.
I was supposed to enjoy lingering my “free of disturbance” time LOL, but in fact I was somewhat lazy to continue writing something for blogs. Untunglah aku ingat ada satu film di harddisk yang belum sempat kutonton, “John Tucker must die”. So you can guess what I did: watch the movie. (FYI, watching movies is okay with me, but I would rather watch it at home, in my bedroom, in my desktop with the monitor only 14 inches. Apa bagusnya? LOL. Yah, aku memang super males pergi ke bioskop kalau hanya untuk nonton sih.)
Have you ever heard the title “John Tucker Must Die”? Have you watched it?

Well, this movie is for teenagers’ consumption, not my type of course, because I am no longer a teenager. But untuk menunggu waktu anak semata wayangku pulang dari nonton ya gapapalah. 
Adegan di awal-awal yang membuatku geli adalah tatkala Kate, the main female character in the movie felt that she was not as attractive as her hot mother.
Aku ingat tatkala satu hari Angie cemburu kepadaku hanya karena her dream boy—her ex for more appropriate, but she still likes him, although she doesn’t want to admit it—was very nice to me. LOL. “Why does every guy like you Mama? Including him?” hahahaha ... “Sebenarnya dulu itu dia naksir Angie atau naksir Mama sih? kok dia nice banget ke Mama, sedangkan ke Angie suka jutek?” lanjutnya. Wakakakaka ...
“Honey, he is very nice to me because I am his teacher.” Jawabku.
“Yah, kayaknya dia ga nice-nice amat kok ke guru yang lain?” komentar Angie, tetap dengan nada cemburu. LOL.
“Oh, perhaps because I am his teacher who is your mother?” kelitku. LOL.
Biasalah remaja suka cemburu ngawur begitu. LOL. But, ga nyangka kalau Angie pun bakal memandangku dengan cemburu seperti itu only because that boy is very nice to me. Sementara aku sendiri “membacanya” sebagai cara cowo itu menarik perhatianku UNTUK MENARIK PERHATIAN ANGIE. LOL.
Coba bandingkan fotoku dengan Angie di bawah ini yang dijepret di studio SWA GAYA bulan September 2006 lalu. Sama-sama narsis kan? Hahaha ... But, pertanyaannya adalah, pantas ga sih Angie cemburu padaku? LOL.

Sempat kutinggal mandi setelah usai nonton disc 1, sekitar pukul 18.40 Angie sampai rumah, aku belum usai menonton disc 2. Angie sempat terheran-heran melihatku nonton “John Tucker Must Die.”
“Kirain Mama ga mau nonton?” tanyanya.
“Well honey, I only wait for my idle time, and good mood to watch this kind of movie.” Nunjukin bahwa aku memanglah seseorang yang moody. Payah.
Sekarang? While I am scribbling here, Angie is doing her homework.
PT56 19.35 290707

Minggu 15 Juli 2007

Hari Minggu 15 Juli 07 aku dan Angie mengunjungi satu acara, entah apa namanya, yang diselenggarakan di Lawang Sewu, salah satu landmark Semarang yang akhir-akhir ini lumayan sering dipakai untuk ‘venue’ acara-acara tertentu, seperti pameran. Salah satu sebabnya tentu adalah untuk mempromosikan Lawang Sewu, dalam rangkaian kegiatan SEMARANG PESONA ASIA yang akan diselenggarakan tanggal 10 Agustus sampai 15 Agustus 2007.


Hampir tiap hari aku melewati Lawang Sewu tatkala mengantarkan Angie sekolah, terutama tentu setelah dia masuk SMA. SMA N 3 Semarang terletak tidak jauh dari Lawang Sewu. Kebetulan juga kedua gedung ini sama-sama peninggalan zaman kolonial Belanda. Namun terakhir kali aku memasuki Lawang Sewu, kalau aku tidak salah ingat, adalah sekitar pertengahan 1980-an, tatkala aku masih duduk di bangku SMA. Bukan karena aku tidak bangga dengan keberadaan Lawang Sewu di kota kelahiranku ini, namun sifatku yang berubah menjadi homebody type yang membuatku jarang keluyuran.


Tanggal 15 Juli kemarin aku setengah memaksa Angie menemaniku kesana karena aku ingin menjepret beberapa bagian dalam gedung untuk kutunjukkan di blog. Hal ini bermula dari tanggapan hangat dari teman-teman milis RumahKitaBersama akan tulisanku “Semarang Pesona Asia”. Apakah kondisi di dalam gedung Lawang Sewu sama megahnya seperti Lawang Sewu dari luar? Sering aku dengar gosip bahwa Lawang Sewu akan dijual ke tangan swasta untuk dijadikan ini itu karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk maintainance.


Sebagai jawabannya, lihat saja foto-foto berikut ini.

Foto di bawah ini dijepret dari lantai dua, menunjukkan kurang perawatan.


Foto berikut ini dijepret dari tempat yang sama dengan foto di atas, hanya kamera diarahkan lebih ke atas. Bisa dilihat bahwa ini merupakan langit-langit dari salah satu kubah Lawang Sewu. Seperti foto di atas, keadaan yang buruk ini menunjukkan kurang perawatan.




Foto ini merupakan salah satu kaca jendela. Meskipun tembok-tembok di sekitarnya menunjukkan perawatan yang kurang, jendela ini masih menunjukkan ukiran-ukiran yang indah. Mengapa ukiran di jendela ini berwujud perempuan berkulit putih dan berpakaian a la Eropa tentu karena Lawang Sewu dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.




Foto di bawah ini (ada yang numpang pamer kenarsisannya, LOL) hasil jepretan salah satu lorong yang ada di bagian dalam, namun tetap terkena sinar matahari. Perhatikan lantai yang menunjukkan kondisi yang cukup lumayan.



Foto berikut ini menunjukkan salah satu lorong, di mana di sebelah kiri kanan ada ruang-ruang dengan pintu-pintu besar kokoh tertutup rapat. Si narsis ikutan nongol di bawah ini. LOL. Foto diambil dari dalam gedung. Sinar matahari yang terlihat di ujung lorong merupakan teras sebelah luar.




Di bawah ini kamu bisa lihat kondisi lantai paling atas Lawang Sewu, kotor, singup (what language is it? LOL) dan sama sekali tidak terawat. Aku ga bakal mau ke sini di malam hari hanya berdua dengan Angie. Kalau ditemani sang jagoan yang katanya tidak takut apa-apa (baca: Abangku), barangkali aku mau juga uji nyali. Wakakakaka ... Ini belum ke lantai bawah tanah yang konon lebih misterius. :)




Di bawah ini salah satu pintu di antara seribu pintu (lawang sewu). :)



Si narsis nongol lagi, di satu lorong yang terletak di bagian luar, menghadap arah Barat. Kondisi yang terlihat cukup bagus.



Dua foto di bawah ini adalah keadaan di luar gedung, jika diadakan pameran di Lawang Sewu.





Tugumuda jika dijepret dari lantai dua Lawang Sewu, di lorong sayap selatan.




Hari Minggu 15 Juli 07 setelah berputar-putar di Lawang Sewu, aku mengajak Angie ke Gedung Batu Sam Po Kong, bukan untuk menjepret gedungnya, melainkan pohon-pohon yang memiliki akar yang menjulur ke sana ke mari, salah satu keanehan yang terjadi di muka bumi. (Aku menyitir kata Abang nih.)


Lihat sendiri ya di foto-foto berikut ini.










Tempat terakhir yang kukunjungi bersama Angie hari itu adalah warung bakso Pak Geger yang terletak di Jalan Mintojiwo, Semarang Barat.



NOTE: Semua foto hasil jepretan digital camera yang ada dalam hape Sony Ericson K510i, milik Angie.

PT56 13.25 290707

Saturday, July 28, 2007

Nana in 2005 vs in 2007

Karena sesuatu dan lain hal, terutama yang berkaitan antara pilihan hidup dan tidak hidup, LOL, aku off dari Paradise Club selama kurang lebih 3 minggu. Tepatnya mulai tanggal 5 Juli sampai 25 Juli 2007. Selama kurang lebih 3 minggu itu aku sama sekali tidak melakukan kegiatan olah raga sama sekali, kecuali menyempatkan diri untuk mengepel rumah Bundaku yang lumayan luas beberapa kali. 
Akibatnya?
Aku rasanya ingin kembali mengeluh lemak yang bertengger di perut atas maupun bawah, di pinggang, di pinggul, dan sekitarnya itu. Seandainya aku masih tetap rajin menulis diary seperti tatkala aku (somewhat) menderita schizophrenia di tahun 2005 lalu, keluhan ini tentu akan kutulis di dalam diary hampir tiap jam. LOL.
Apa yang membuat keadaanku sekarang (terutama dalam waktu 3 minggu kemarin) dengan tatkala aku masih berkutat dengen tesis di tahun 2005?
Waktu itu selama berada di Yogya, aku tidak punya kegiatan apapun selain membaca, menulis, berpikir, menulis, membaca, berpikir, ngetik. Begitu melulu sebosannya. Terutama selama kurang lebih empat hari dalam satu minggu. Plus, ngapeli dosen pembimbing tesis. Biasanya pada hari Selasa, aku dan Julie berjalan ke rumah Pak Bakdi (NOTE: aku berjalan dari Jalan Kaliurang km 5, membelah UGM ke Kuningan, menjemput Julie yang tinggal di satu rumah mungil di sana. Dari Kuningan, Julie dan aku berjalan membelah UNY sampai ke Jalan Gejayan, sampai di Hotel Plaza (kayaknya namanya sekarang berubah deh) dan menyusuri gang di samping Hotel itu, menuju kediaman Pak Bakdi yang berlokasi di Jalan Kepodang.)
Kegiatan membaca, berpikir, menulis, plus ngeprint dan menyambangi Pak Bakdi ini Di tahun 2005 itu, selama empat hari aku tinggal di Yogya. Tiga hari yang lain aku berada di Semarang dengan kegiatan mengajar. Saat “peak” mengejar deadline (yang kubuat sendiri), aku sama sekali tidak pernah melakukan hobby yang sangat relaxing bagiku: berenang.
Walhasil ya itulah. Tatkala aku membaca-baca diary di tahun 2005 itu lagi, penuh dengan keluhan, “I feel so fatty around my waist, my belly.” Ini memang hasil dari “policy” yang digencarkan oleh media bahwa yang cantik itu yang langsing. LOL. Dan aku memang pernah menjadi korbannya. Selain setelah di tahun 2000 lalu aku berhasil dengan gemilang menurunkan berat badanku dari 55 kg menjadi 41 kg, tanpa minum obat pelangsing. Murni dari berolah raga dan diet, yang tentu saja didukung dengan disiplin diri yang amat tinggi. (FYI, yang paling ngomel-ngomel melihatku menjadi “kurus kering” itu adalah my dearest Mom.)
Nah, setelah “mengalami” memiliki tubuh langsing selama bertahun-tahun, kesibukan kuliah yang tak memberiku kesempatan untuk melakukan olah raga dengan rajin, plus kerakusan untuk selalu makan, dengan dalih menjaga kondisi agar tidak jatuh sakit karena keasikan mengerjakan tugas, akhirnya tubuhku pun pelan-pelan kembali melar. LOL. Tubuhku rasanya jadi ga enak bener.
So ya itulah, depresi in my hellish life, a very strong indoctrination in my religion yang kuterima in my younger years, ditambah berkutat dengan “woman’s madness” idea all the time selama menulis tesis, membuka “virus” schizophrenia untuk merasuki kehidupanku. Plus setelah menikmati memiliki tubuh langsing kemudian “menderita” melar kembali. LOL. Semua itu benar-benar bisa kubaca dengan jelas dalam diary tahun 2005. (Dalam hal ini aku tidak perlu menggunakan segala macam teori, apalagi teori yang “mematikan si penulis”, the Death of the Author. LOL.)
Nah, kembali ke masa “off” dari Paradise Club selama 3 minggu.
Kesibukan blogging memang telah “menyelamatkanku” dari “penyakit” menulis diary yang berkepanjangan, tiap jam menulis, “Gosh, rasanya setelah menyantap satu biji mendoan tadi, plus minum teh hangat, kok perutku melar ga karuan yah”  misalnya. LOL.
Namun rasanya tetap saja aku mengeluh dalam hati. LOL. Apalagi Angie pun ikut mengiyakan. Wah ... LOL. Entah karena dia bosan mendengar aku mengeluh, “Kok Mama rasanya tambah gendut ya Sayang?” atau dia gagal membuatku blingsatan kegelian tatkala dia ngitikin pinggangku yang tertimbun lemak, sehingga tidak langsung mengena di pusat kegelian. Kemarin pagi waktu aku sudah siap dengan baju senamku tatkala akan mengantarnya ke sekolah, dia memandangku dengan mata berbinar.
Kemarin aku sempat fitness selama satu jam. Kemudian ikut erobik selama satu jam pula. Aku agak khawatir juga kalau tubuhku bakal pegal-pegal ga karuan karena dipaksa kerja keras setelah selama tiga minggu bermalas-malasan.
Namun ternyata tubuhku baik-baik saja. Aku tidak merasa capek yang berkepanjangan, maupun pegal-pegal.
Tadi pagi, setelah mengantar Angie sekolah, aku pun langsung meluncur ke Paradise Club. Tatkala cycling, aku baru ngerasa, “Waduh, kakiku kok masih terasa capek yah?” so, aku cycling hanya dalam waktu 20 menit. Itupun “terbantu” dengan konsentrasi membaca buku (yang ringan dan menghibur, bukan yang bikin kepala pusing dan membuatku mengerutkan kening). Tatkala akan melakukan gerakan untuk menguatkan otot bahu, waduh ... aku ga kuat!!! Hahahaha ... ya sudahlah, aku pulang saja.
Sesampai di rumah, aku nyalakan komputer. Langsung mengetik tulisan ini. setelah ini aku akan mandi. Yang kedua kali. Tadi pagi sebelum ngantar Angie sekolah tentu aku telah mandi.
PT56 08.45 280707

Petualangan Celana Dalam

Hari Selasa 24 Juli kemarin aku memintaku siswa Elementary Class 2 untuk membawa buku bacaan favorit masisng-masing karena topik Lesson 3 adalah “My Favorite Book”. Tak ketinggalan tentu aku pun membawa beberapa buku favoritku. Yang kubawa: “Si Parasit Lajang” kumpulan essay Ayu Utami (always become my favorite, since I bought it in 2003), “Lelaki Terindah” novel dengan topik yang masih bisa dianggap lumayan kontroversial tulisan Andrei Aksana, “Melampaui Pluralisme” hasil karya Hendar Riyadi, dan “Srinthil” Media Perempuan Multikultural edisi Oktober 2003.


Dari hasil diskusi tentang buku favorit masing-masing, seorang siswa bertanya padaku apakah aku telah membaca buku yang berjudul “Petualangan Celana Dalam”. Mungkin aku pernah mendengar judul buku ini, namun aku belum membacanya. Ketika aku bertanya ke Berti, nama siswa itu, siapa nama penulisnya, dia lupa. Seorang siswa lain menyebut nama “Djenar Maesa Ayu” yang tentu saja langsung tidak kusetujui. Meskipun aku tidak memasukkan nama Djenar sebagai salah satu penulis kesukaan, aku memiliki semua buku tulisannya. (atau bisa juga dibalik, meskipun aku memiliki semua buku tulisan Djenar, dia tidak kumasukkan ke dalam salah satu penulis kesukaanku. LOL. Dasar guru Bahasa iseng. LOL.) Kebetulan Berti memiliki buku tersebut, yang tentu saja kemudian membuatku memintanya untuk membawanya ke kelas pada pertemuan berikutnya, Kamis 26 Juli.


Hari Kamis, Berti tidak lupa membawa buku yang ternyata berisikan kumpulan cerpen tulisan Nugroho Suskmanto yang kelahiran Semarang. Bahkan dengan baik hatinya dia pinjamkan buku itu kepadaku. Waktu aku bertanya, “Berti, do you remember how much it costs?” Dia lupa, dan mengatakan, “You can borrow it, Ma’am. I have finished reading it.” Tentu saja hal ini membuatku bersuka cita. LOL. Well, secara sekilas tatkala membaca salah satu cerpen yang dijadikan judul buku, “Petualangan Celana Dalam”, aku langsung suka dengan cara menulis Nugroho. Hal ini membuatku berpikir untuk membeli buku ini. Namun kalau Berti meminjamkan buku ini kepadaku, berarti aku bisa segera membacanya, tanpa perlu menunggu aku harus ke toko buku dulu untuk membelinya, dan aku harus menunggu waktu luang yang akan bisa kupakai untuk pergi ke toko buku, isn’t it great?


“Perburuan Wirog” adalah cerpen yang dicetak di halaman pertama. Tentu karena alasan judul ini kurang komersil akhirnya tidak dipilih sebagai judul buku. LOL. Nugroho yang kelahiran Semarang menunjukkan kecintaannya pada kota kelahirannya ini, plus ingatan yang sangat bagus akan masa kecil yang dia lewatkan di satu daerah yang disebut sebagai batasan perbatasan Pendrikan dan Magersari. Sekarang tentunya yang disebut sebagai Jalan Indraprasta, jalan yang selalu kulalui tiap hari, tatkala akan berangkat kerja, maupun berangkat ke Paradise Club ataupun ke warnet langganan.


Membaca “Perburuan Wirog” serasa melemparkanku kembali pada masa kecilku, sekitar tahun 1970-an. Aku tinggal di satu daerah yang disebut Bulu Setalan, terletak di sebelah Selatan Magersari. Masa kecil (baca: masa SD) cukup kulewatkan di daerah Bulu Setalan pula. Nama Magersari dan Pendrikan tentu sangat familiar bagiku. Namun berhubung untuk mencapai Magersari, aku harus menyeberang jalan besar, Jalan Sugiyopranoto, aku tidak pernah keluyuran kesana. Apalagi kakakku satu-satunya yang dengannya aku banyak menghabiskan masa kecilku sambil bermain kelereng, “umbul”, gobak sodor, layang-layang, naik sepeda, sampai ke bekel, dakon, lompat tali, tipe orang rumahan. Mana pernah dia ngajakin aku nyebrang jalan raya?


Meskipun begitu aku masih ingat aku pernah diajak ke salah satu teman my dearest Mom ke sana, naik becak. Jalanan yang lengang, (maklum, masih tahun 1970-an), suasana yang asri, angin semilir mengalir lembut (again, it was still in 1970-an), membuatku menikmati kunjungan itu.


Membaca beberapa cerpen dalam “Petualangan Celana Dalam” benar-benar membuatku sadar betapa aku mencintai kota kelahiranku ini. Kota yang memiliki landmarks Tugumuda dan Lawangsewu. Kota yang cukup damai, karena merupakan salah satu kota yang tidak dilanda kerusuhan yang hebat, tatkala kota-kota lain menderita hal tersebut di tahun 1998, masa menjelang runtuhnya Orde Baru; kota yang sebentar lagi akan menggelar acara super akbar, “Semarang Pesona Asia” tanggal 10-15 Agustus.


Membaca “Petualangan Celana Dalam” pun mengingatkanku atas satu novel detektif anak-anak yang berjudul NONI. Aku dulu sangat menyukai NONI, bukan hanya lantaran lakonnnya seorang anak perempuan (anak perempuan jadi jagoan? Wah NANA banget deh, huehehehe ...) namun karena setting place yang mengambil nama-nama daerah Semarang, mulai dari Krapyak, Karangayu, Gombel, Wonodri (sayang Pusponjolo tidak disebut LOL, namun “Pasar Bulu” tentu sempat disebut) membuat novel anak-anak ini terasa sangat membumi, dibandingkan dengan Lima Sekawan tulisan Enid Blyton (yang juga sangat kusukai waktu aku duduk di bangku SMP) yang tentu saja mengambil setting place London, Hampshire, dan sebagainya.


Untuk mengakhiri tulisan ini, bagi yang hobby membaca apalagi yang hobby koleksi buku, beli yuk buku yang berjudul “Pertualangan Celana Dalam” ini? Terutama yang asli Semarang, dan hobby bernostalgia masa kecil, kumpulan cerpen ini cukup menghibur, dan menemani kita kembali mengingat masa lalu.


(“Mengapa masa kecil selalu terasa lebih indah dan membahagiakan dibanding masa sekarang?” I keep asking myself. Jawabanku sementara adalah, “Masa kecil adalah masa tanpa beban berat, such as harus bertanggung jawab mengerjakan ini itu, cara berpikir anak kecil yang innocent tidak pernah berpikir yang sulit-sulit.”)


PT56 10.08 280707

Tuesday, July 24, 2007

Reading Between the Lines

Seberapa sadarkah kamu bahwa apa yang kita ucapkan/tulis akan selalu memiliki makna lain?
Beberapa minggu yang lalu seorang rekan kerja (a newbie in my workplace) bertanya kepadaku,
“Ms. Nana tuh pakai kacamata minus atau plus?”
Aku langsung “membacanya” sebagai, “Ms. Nana umurnya udah tua yah?” karena yang terpatri di benakku adalah orang yang biasanya menderita rabun jauh (rabun jauh atau dekat yah yang tidak bisa melihat barang yang di dekatnya dengan jelas?) sehingga perlu memakai kacamata plus adalah mereka yang dikategorikan telah mencapai middle ages (read  more than forty years old). Sedangkan aku merasa bahwa usiaku masih bisa dikategorikan young age karena belum mencapai usia empatpuluh.
Do I really look older than my real age?
Well, ini adalah pengalaman pertama aku bertemu dengan orang “menuduhku” berusia lebih tua dari semestinya. (“There is always THE FIRST in everything”  motto yang dulu sering kujadikan bahan candaan dengan seseorang yang kuanugerahi dengan sebutan “Lelaki Terindah” dalam hidupku. LOL.) Biasanya orang mengira aku masih berusia di bawah tigapuluhan, atau yah ... the beginning of thirties lah, sehingga mereka selalu terkaget-kaget tatkala mereka tahu aku telah memiliki seorang anak gadis yang sekarang telah duduk di bangku kelas II SMA.
Tatkala aku bercerita tentang hal ini kepada seorang rekan kerja yang lain, dia gantian bercerita kepadaku tentang pengalamannya yang kurang mengenakkan pula.
Rekan kerjaku yang ini baru saja melahirkan anaknya yang kedua, sekitar dua bulan yang lalu. Dia menikah sekitar tiga tahun yang lalu, pada usia yang dianggap “terlambat”, in the middle of thirties. Beberapa minggu setelah melahirkan, dia pergi ke satu toko untuk membeli ‘pilis’, I don’t know whether there is a word in Bahasa Indonesia for this. LOL. FYI, ‘pilis’ ini bisa dikategorikan semacam obat oles untuk perempuan yang baru saja melahirkan. ‘Pilis’ ini dioleskan di kening, kalau tidak salah. Apakah fungsinya? Aku sendiri kurang tahu. Nyokapku yang orang Gorontalo tidak mengajariku untuk mengoleskan pilis setelah aku melahirkan Angie di tahun 1991 lalu. Kesimpulan sementara, ‘pilis’ merupakan kebiasaan orang Jawa. 
Di toko, tatkala temanku mengatakan kepada si penjaga toko bahwa dia akan membeli pilis, si penjaga toko berbasa basi bertanya, “Pilis untuk anaknya ya Bu?”
GUBRAK!!!
“Buat saya sendiri!” jawab temanku galak. LOL.
“Waduh mbak, emang dikira usiaku udah berapa kok sampai dianggap aku punya anak yang baru saja melahirkan?” yang berarti aku dianggap sudah pantas punya cucu? LOL. LOL.
Setelah terbengong sejenak tatkala mendengar ceritanya yang kurang mengenakkan itu, akhirnya aku tertawa bersamanya. Oh ... poor her! LOL.
Cerita lain yang berkebalikan terjadi kepada nyokapku. Satu hari ada tamu datang ke rumah. Tatkala si tamu melihat Angie, si tamu bertanya, “Anak bungsu ya Bu?”
Nyokapku bengong. LOL. Masih dengan nada heran, dia menjawab, “Ini cucu saya yang pertama.”
Waktu menceritakan pengalamannya kepadaku, nyokapku yang biasanya memandang masalah dari kacamata yang berseberangan denganku LOL, mengeluh, “Masak usia sudah setua ini, mana suami sudah lama meninggal lagi, kok Mami dianggap punya anak seusia Angie? Dengan siapa coba?” LOL. LOL.
Dengan serta merta, aku pun menjawab, “Loh, itu berarti Mami dianggap masih cukup muda sehingga masih pantas memiliki anak seusia Angie.” LOL.
Nyokapku pun tertawa mendengar ‘bacaanku’ mengenai ‘tuduhan’ bahwa dia punya anak seusia Angie.
How good in reading between the lines are you?
PT56 22.46 220707

Friendster & Multiply

Ada satu surat pembaca yang cukup menggelitik di surat kabar Suara Merdeka hari ini, 24 Juli 2007. Si penulis ini mengkritik keberadaan satu komunitas di dunia maya yang disebut “friendster”. Banyak mahasiswa (si penulis secara khusus menyebut ‘mahasiswa’ padahal sekarang banyak pula anak-anak yang masih duduk di bangku SMA, maupun yang sudah lulus kuliah) yang ikut “friendster”, satu cara yang dianggap cara “modern” untuk mencari kawan baru. Cara yang “modern” ini dianggap akan menularkan penyakit “asosial” pada masyarakat, sehingga orang-orang akan berhenti berinteraksi secara langsung karena mereka akan lebih memilih berinteraksi lewat internet, maupun hape. Apalagi tidak sedikit pula para member ‘friendster’ yang tidak menulis identitas yang sesungguhnya di profile mereka, plus foto-foto yang bisa jadi merupakan hasil manipulasi belaka.
Sebegitu burukkah situs di dunia maya ini? Dan benar-benarkah tidak ada manfaatnya sama sekali?
Sebagai salah satu member ‘friendster’ sejak Desember 2004 tentu saja aku tidak setuju bahwa ‘friendster’ merupakan cara yang buruk untuk mencari kawan baru. Juga aku tidak setuju bahwa cara mencari kawan baru lewat salah satu situs di dunia maya akan membuat orang menjadi asosial, dan malas berinteraksi secara langsung. ‘Friendster’ justru merupakan salah satu cara untuk bersosialisasi dengan lebin intensif, terutama dengan teman-teman yang tinggalnya jauh di belahan bumi yang lain.
Banyak orang yang menemukan teman lama yang telah menghilang selama sekian waktu di ‘friendster’. Banyak juga orang yang menemukan teman baru yang justru bisa kita jadikan tempat curhat yang enak, terutama bagi mereka yang cenderung memiliki sifat introvert dan sulit curhat kepada teman-teman yang berinteraksi secara langsung, dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Bagiku sendiri?
Aku memang tidak banyak mendapatkan teman baru lewat friendster. Kalaupun toh ada ‘invitation’ dari orang-orang yang tidak kukenal sebelumnya, aku terima. Bila nyaman diajak berkawan, go ahead, kalau tidak ya it is not harmful, mengingat kita hanya berinteraksi lewat dunia maya. Namun, lewat friendster, aku berusaha tetap menjalin hubungan dengan teman-teman, maupun mantan mahasiswa yang telah melanglang buana. Tanpa friendster? Mungkin aku telah lost contact dengan mereka.
Lewat friendster pula, aku mengenal dunia blogging untuk pertama kali. Media blog sangatlah bermanfaat bagi orang yang hobby menulis sepertiku, dan ingin tulisannya dibaca orang banyak, tanpa harus melewati cara yang berbelit-beli, misal, mengirimkannya ke satu koran/majalah, melewati seleksi, dll. Media blog memungkinkanku menulis tentang apa saja yang aku inginkan. Sebagai seorang feminis, tentu saja terutama tentang keresahanku hidup di kultur patriarki yang selalu menomorduakan perempuan ini.
Selain friendster, aku juga mengenal satu situs lain yang tidak kalah menariknya dibanding friendster, yakni multiply. Bahkan bisa kukatakan bahwa multiply memiliki features yang lebih lengkap dibandingkan friendster, karena kita bisa meng-upload maupun men-download musik dan video kesukaan kita. Di friendster semula aku hanya bisa post lirik lagu yang aku suka, di multiply aku bisa upload file lagu dalam bentuk mp3. ada saat ketika aku begitu keranjingan upload lagu-lagu di multiply tanpa aku tahu untuk apa, selain narsis ingin menunjukkan kepada orang-oranga bahwa aku memiliki file lagu-lagu tersebut.
Di kemudian hari, setelah aku tahu bahwa multiply memiliki fasilitas untuk melihat siapa-siapa saja yang telah mengunjungi multiply page ku, goodness!!! Aku begitu terpana mengetahui ternyata telah ribuan orang yang mengunjungi music pageku. Sebagian dari mereka menuliskan pesan, “Terima kasih telah berbagi lagu. Aku suka sekali dengan lagu ini. Telah sekian lama aku mencarinya, eh, ketemu di multiply mu.” Kadang ada yang meninggalkan pesan dengan kalimat yang begitu menyentuh, “Tuhan yang akan membalas kebaikanmu ini.” Gosh!!! Is that so valuable?
And you know what? Ini membuatku ingin lebih rajin lagi upload lagu di multiply pageku, untuk berbagi dengan orang banyak, untuk membuat orang lain senang. Dan kata orang yang percaya, membuat orang lain senang akan mendatangkan pahala. Benar? LOL.
Adikku yang juga menjadi keranjingan multiply semenjak ku-invite ke multiply, telah mendapatkan banyak lagu yang dia inginkan. Kadang, dia menemukan satu multiply page yang menyediakan lagu yang dia sukai, dari penyanyi tertentu. Tatkala dia tidak menemukan lagu dari penyanyi tersebut, dia cukup meninggalkan pesan, misal, “Eh, kamu punya lagunya Uriah Heep yang berjudul bla bla bla ga? Kalau ada, tolong di-upload dong.”
Tak lama kemudian, si multiply-er membalas, “Ada, tunggu, nanti segera ku-upload.” Dan yah ... bersukacitalah adikku. 
Segala sesuatu memang memiliki dua sisi, positif dan negatif. Sekarang tergantung kepada kita si pengguna yang dianugerahi oleh Tuhan akal. Mampukah kita mamaksimalkan manfaat sesuatu itu? Atau akankah kita membiarkan diri menjadi korban?
PT56 14.55 240707

Tuesday, July 17, 2007

How technology savvy are you?

 


How technology savvy are you?

Sekitar 10 hari yang lalu aku menghadiri acara ‘dissemination of HI4” yang diselenggarakan oleh kantor. Aku dan adikku bekerja di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris yang sama namun berbeda afiliasi. 

Ketika acara akan dimulai trainer dari Jakarta heran karena para guru kebanyakan duduk di sisi yang berbeda, guru-guru dari afiliasi tempatku bekerja duduk di sisi Utara (kalau aku tidak salah membaca mata anginnya LOL), sedangkan guru-guru dari afiliasi yang lain di sisi Selatan. Itu sebab sang trainer dengan hormat meminta kita untuk berbaur, toh we are colleagues, not foes.LOL. Verra yang semula duduk di sisi kananku dengan rela pindah ke tempat duduk lain. Sebagai gantinya seorang guru dari afiliasi yang satunya duduk di sampingku. Dengan ramah dia langsung menyodorkan tangannya, “Inez” sambil menyebut namanya.

Aku menyambut uluran tangannya dengan hangat sambil menyebut namaku, “Nana.”
Kemudian Inez berkomentar, “Kakaknya mbak Lala ya?”

Adikku yang di rumah dipanggil Nunuk namun di tempat kerja dipanggil Lala ternyata telah membuat namaku cukup terkenal di kantornya. LOL.

“Iya,” jawabku sambil tersenyum manis. (Suwer, ini fakta, bukan gosip. Wakakakaka ...)

Setelah itu kita sibuk mengikuti acara diseminasi—or whatever you call it—sehingga tidak sempat ngobrol. Ketika pembagian kelompok untuk meneliti hasil tulisan siswa HI4 yang telah melewati ujian kelulusan, aku bekerja dengan Agung, rekan sekantorku yang duduk di sebelah kiri, plus Bimo, guru dari afiliasi yang lain yang duduk di sebelah kiri Agung. Again I didn’t have time to chat with Inez.
Meanwhile, ternyata Inez yang telah mengetahui bahwa aku adalah kakak Lala sebelum berkenalan langsung denganku, cukup penasaran ingin ngobrol denganku. Di tengah-tengah diskusi hasil tulisan tiga siswa HI4, Inez membuka percakapan,

“Mbak Lala itu technology savvy ya?”

Aku heran mendengarnya karena menurutku adikku ga savvy amat dengan teknologi. Maklum, aku membandingkannya dengan Abang yang expert in technology. LOL. Namun untuk tidak mengecewakannya (sembari berusaha kira-kira apa ya yang membuat Inez beranggapan bahwa adikku technology savvy?), aku tersenyum mengiyakan, “yah ... lumayanlah,” jawabku.

“Lihat aja gadget yang dia miliki, digital camera, PDA, hape yang featuresnya lumayan lengkap.” Kata Inez lagi.

Aku manggut-manggut.

“Apa mbak Nana juga technology savvy kayak mbak Lala?” tanya Inez.

“Well ... no. You know she is still single. It means that she can use up all her earnings for herself, to buy some sophisticated things that for other people are not really necessary. I have a daughter. It means I have to divide my earnings into two, my own needs, and for daughter.” Jawabku berkilah. LOL.
Inez gantian manggut-manggut. 

“Anak mbak Nana berapa?” tanyanya kemudian.

“Satu. Naik kelas !! SMA,” jawabku.

“Aku juga punya anak satu, umur 8 bulan. Beberapa minggu yang lalu mbak Lala jepret-jepret anakku trus dikirimkannya ke email suamiku. Wah bagus-bagus deh.” wajah Inez begitu riang ketika mengatakan hal itu.

Aku tersenyum mendengarnya. Aku ingat adikku menceritakan hal itu juga dan merasa senang karena membuat seorang temannya senang.

Namun, tiba-tiba Inez bertanya, “Anak mbak Nana naik kelas berapa?”

“Kelas II SMA,” jawabku, heran. Dia tidak mendengar dengan jelaskah pernyataanku tadi?

Wajah Inez menunjukkan keheranan yang kental, terus menatap wajahku dengan teliti seolah-olah ingin menaksir umurku berapa, kok punya anak naik kelas II SMA. LOL.

“Oh ... mbak Lala sering cerita tentang keponakannya yang bernama Angie. Apa mbak Nana ini mamanya Angie?” tanyanya.

“Betul. Ya memang baru satu itu keponakan adikku,” jawabku geli.
“Oooo....’ komentar Inez, seolah masih belum percaya aku yang masih imut ini memiliki anak naik kelas II SMA. Hahahaha ...

****

Meanwhile pernyataan Inez bahwa adikku technology savvy membuatku berusaha membandingkanku dengan adikku. Dalam beberapa hal aku memang kalah savvy dibanding dia.

1. Flash disk

Nunuk telah menggunakan teknologi flash disk jauh sebelum aku mendapatkannya secara cuma-cuma dari Abang bulan September 2006, sebagai salah satu hadiah ulang tahunku. Nunuk yang menyarankanku untuk membeli kabel perpanjangan untuk mencolok flash disk karen CPU yang kumiliki tidak punya tempat colokan flash disk di depan, melainkan di belakang CPU.


2. MP3 player

Nunuk telah menggunakan media pemutar musik ini jauh sebelum aku mendapatkannya secara cuma-cuma dari Abang bulan November 2006, sebagai penghibur rasa sedihku kehilangan pekerjaan. Aku yang gaptek tidak tahu bagaimana cara menggunakan MP4 player (punyaku selangkah lebih keren dibandingkan punyanya), sehingga Nunuk yang mencoba-coba memakainya dan mengajariku. 

NOTE: waktu bingkisan dari Abang datang, aku cuma mengamatinya dengan takjub, dan merasa bego sekali, “How to use it?” LOL. Kemudian aku tinggalkan di kamar tatkala aku berangkat bekerja. Sepulang dari kantor jam 9 malam, Angie yang telah diajari Nunuk gantian menunjukkan kepadaku bagaimana cara menggunakannya.


3. PDA

Nunuk telah membeli PDA (meskipun used PDA LOL) jauh sebelum aku mendapatkan notebook secara cuma-cuma dari Abang. 


4. Hape

Saat ini hape yang kumiliki adalah Samsung SGH X640 berteknologi digital camera VGA sementara Nunuk menggunakan hape SonEr entah seri yang mana, namun digital cameranya lebih canggih dibanding punyaku, bisa dihubungkan dengan MMC (opo kuwi mboh gak ruh LOL), juga memiliki blue tooth. Hapeku ga ada blue tooth maupun infra red.


5. Digital camera

Untuk satu hal ini aku tidak punya. Well, untuk sementara kupikir digital camera yang ada di hapeku maupun di hape Angie yang SonEr K510i sudah cukup memadai. 

Nevertheless, dalam blogging aku lebih savvy dibanding Nunuk, maklum aku bisa dikategorikan blog addict sedangkan dia ga terlalu. Namun berkat provokasiku dia pun punya account di multiply dan friendster. Pernah juga membuat account di www.blog.co.uk namun kemudian tidak dia openi lagi. 
Sementara itu, dibandingkan aku dalam hal blogging, Abang yang technology expert pun kalah. Bukan karena dia gaptek, melainkan karena dia ga punya waktu untuk buka-buka diri di forum publik begini. Mana maulah dia menyediakan waktu khusus untuk bagaimana mempercantik tampilan sebuah blog, dll. Dia lebih suka menyediakan waktu untuk bermilis ria. 

****

Hari Senin kemarin, tiba-tiba salah satu siswa kelas Advanced 4 bertanya padaku, “Miss Nana, what is your friendster address? Do you mind if I add you in my friend list?”

“Sure, why not?” trus aku menulis alamat emailku di white board.

“Kakakku toh Miss ga mau tuh mau ku-add di friendster. Katanya, orang tiap hari ketemu di rumah juga ngapain pake ketemu di friendster lagi,” katanya.

“Oh, I put my daughter on the first rank in my friendster list,” jawabku. “We meet everyday at home,” I went on saying.

“Enak ya anaknya Miss Nana,’ celetuknya.

“Why?” tanyaku heran.

“Iya, soalnya Mamanya ga gaptek.”

LOL. LOL. LOL.

PT56 13.35 170707

Friday, July 13, 2007

Musim Liburan

“Musim liburan” ternyata bisa juga berarti “musim kecelakaan”. :( Berapa kecelakaan yang terjadi secara beruntun di “musim liburan” tahun ini yang telah dimuat di surat kabar cetak maupun diberitakan lewa media elektronik? Mulai dari rem blong sebagai penyebab kecelakaan (yang terjadi pada rombongan SD Ciantra 2 Cikarang Selatan, atau rombongan siswa SMP Ar-Ridho Jati Mulya Depok) sampai ke sekumpulan anak-anak yang meninggal karena keracunan gas beracun di Kawah Ratu Gunung Salak (terjadi pada enam siswa SMP 67 Jakarta.) Aku juga masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu yang menimpa sebuah SMK Sleman tatkala bus yang ditumpangi terbakar, dan hampir seluruh siswa satu kelas menjadi korbannya.
Hal ini membuat seorang rekan kerja komplain, “Memang sebaiknya sekolah itu tidak perlu mengadakan wisata seperti itu jikalau akhirnya malah akan menyebabkan sejumlah nyawa terbuang percuma. Buat apa sih mengadakan wisata seperti itu? Mending juga tidak usah. Selain kita sebagai orang tua bisa mengirit pengeluaran—baik untuk membayar iuran untuk wisata itu sendiri, maupun memberikan uang saku selama anak kita pergi—kita juga tidak perlu khawatir yang berlebihan tatkala anak kita pergi jauh tanpa pengawasan kita secara langsung.”

Teman kerjaku ini beberapa bulan lalu mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Tatkala musim “class meeting” semester ganjil 2006/2007 kemarin, anaknya minta ijin untuk ikut rombongan teman-teman sekolahnya pergi ke Yogya untuk mengikuti seleksi olimpiade Sains. Temanku tidak mengijinkan anaknya ikut dengan alasan, “Kalau terjadi apa-apa di perjalanan, nanti kamu malah tidak jadi ikut study tour ke Bali. Kan sayang.” Si anak yang tahun ini naik ke kelas III SMA pun mengikuti anjuran bapaknya untuk tidak ikut rombongan ke Yogya. Sebagai ganti, dia bermain sepak bola sore harinya dengan beberapa teman lain. Guess what happened? Kecelakaan justru terjadi pada waktu bermain sepak bola. Entah bagaimana cerita lengkapnya yang kudengar adalah anaknya mengalami patah tulang tangan kiri ketika terjatuh berebut sepak bola. Akibatnya? Dia pun tidak bisa ikut study tour ke Bali yang dilaksanakan seminggu setelah dia mengalami patah tulang karena dia harus menjalani perawatan.

Terus terang aku juga kadang-kadang merasakan hal yang sama dengan rekan kerjaku itu. Inginnya tiap kali Angie pergi berwisata ke satu tempat, aku pun ikut serta. Waktu Angie duduk di bangku SD dan bepergian pertama kali dengan teman-teman sekolahnya, rasanya ingin aku ikut. Kebetulan waktu itu dia berdarmawisata ke Yogya dan aku pun telah menjadi “penduduk sementara” Yogya karena kuliah. Aku minta ijin untuk diperbolehkan berangkat bersama rombongan dari Semarang. Setelah selesai acara, tatkala mereka kembali ke Semarang, aku akan tinggal di Yogya, karena memang aku harus stay di sana. You know what? Angie menolak mentah-mentah ide ini. “Malu-maluin,” katanya.

Akhirnya aku berangkat seperti biasa naik bus Nusantara. Sekitar pukul 12 aku menuju Monumen Jogja Kembali karena menurut jadual sekitar jam itu Angie beserta rombongan akan ke sana. Setelah nungguin beberapa puluh menit di pintu masuk, akhirnya rombongan Angie datang. You know what? Angie didn’t really welcome me. LOL. Masih tetap dengan alasan yang sama, “Malu ah, udah gede gini mosok Mama ngikutin kemana pun Angie pergi?” Justru teman-teman Angie yang heran melihatku ikut rombongan masuk ke Monumen Jogja Kembali. Mereka bertanya, “Kok nyokapmu tiba-tiba ada di sini Ngie? Emang tadi ikutan naik bus yang mana?” LOL.

Dari Monjali mereka melanjutkan perjalanan ke Malioboro. Dengan setengah dipaksa oleh Angie, “Mama pulang kos aja, ga usah ngikutin kemana pun Angie pergi. Ok? I will be fine. Ok?” LOL akhirnya aku pun pulang kos tatkala bus rombongan Angie berangkat menuju Malioboro. Aku berbicara dalam hati, “Anakku sudah besar. I have to let her go and enjoy having fun with her friends.”

Setelah itu (Angie kelas 6 SD), tatkala Angie duduk di bangku SMP, dia beberapa kali mengikuti wisata dengan teman-teman sekolahnya. And I could do nothing but let her go. Aku ingat waktu aku duduk di bangku SMP dan SMA aku paling tidak suka tatkala orang tuaku tidak mengizinkanku pergi camping ataupun yang lain-lain. Untunglah aku masih bisa menikmati ikut pergi ke Surabaya (waktu kelas 3 SMP) maupun ke Bali (waktu kelas 2 SMA). So? Aku tahu aku akan membuat Angie sangat sedih seandainya aku tidak mengizinkannya ikut berdarmawisata dengan teman-teman sekolahnya, meskipun alasannya adalah, “I love you honey. I want nothing wrong happens to you.”

So? Bagaimana dengan “musim kecelakaan” di musim liburan ini? Harus kuakui pilihan yang sangat sulit bagi orang tua. Bagiku sendiri, well, tut wuri handayani aja deh. Loh apa hubungannya? LOL. Kita sebagai orang tua sebaiknya tidak terlalu protektif yang hanya akan membuat anak kita merasa seperti terpenjara. Kata orang bijak, seperti tatkala kita main layang-layang, kita lepas kepalanya, namun tetap kita pegangi ekornya. (Angie punya ekor ga ya? Wakakakaka ...) Angie has her own life, her own choice. But as her mom, absolutely I will always be wherever and whenever she needs me, in all kinds circumstances. Kecuali kalau panyakit aloof-ku sedang kumat. Halah, podo wae? Wakakakaka ...

PT56 14.30 100707

Ke Bengkel

Aktifitas yang selalu kuhindari akhir-akhir ini adalah membawa motor ke bengkel. Super males pokoknya. Padahal, motor kesayanganku ini (honda Grand Astrea keluaran tahun 1996, sudah bisa masuk kategori jadul nih sekarang LOL) dengan sangat setia menemani kemana pun aku pergi tiap hari: Ngantar Angie ke sekolah, ke Paradise Club fitness center, ke kantor, dan ke warnet (kebetulan 4 tempat ini letaknya tidak terlalu berjauhan, aku hanya butuh kurang dari 7 menit dari rumah). Kadang-kadang aja aku ke Gramedia yang tidak jauh pula jaraknya dari tempat tinggalku. Well, aku memang beruntung karena tinggal di satu daerah yang bisa dimasukkan ke downtown area.
FYI, aku ke bengkel sekitar bulan Februari 2006. Itu pun terpaksa. (Kalau ga terpaksa begitu tentu aku ga bakal ke bengkel juga bulan itu. LOL.) Aku baru saja mengurus perpanjangan STNK dan aku mendapatkan plat nomor kendaraan baru yang harus kupasang di motor. Lima tahun sebelumnya (2001) aku pasang plat nomor kendaraan itu sendiri. Namun tahun 2006 kemarin aku males memasangnya sendiri (dasar pemalas berat nih aku  ) Untuk itulah aku membawa motor ke bengkel. Yang paling utama bukan untuk servis motor tapi untuk memasang plat nomor. Dan waktu itu, aku harus ngendon di bengkel dalam waktu cukup lama, hampir sekitar 3 jam.
Mengapa aku super males ke bengkel untuk servis motor?
Pertama, males.
Wakakakakaka ...
Well, aku males nungguin mekanik melakukan ini itu sementara aku menjadi idle. Aku bisa sih bawa buku untuk membaca. Namun semenjak aku gila blogging dan maunya memproduksi tulisan, dan bukan sekedar membaca, aku menjadi tidak puas jika aku harus menahan diri dalam waktu sekitar 3 jam dalam keadaan idle begitu. Pengennya tatkala aku membaca satu dua paragraf di satu buku/artikel, dan aku mendapatkan ide menulis, aku ingin segera menuliskannya, ga sabar kalau harus menunggu pulang ke rumah, atau eman-eman kalau ide yang mampir ke benakku tiba-tiba hilang karena tidak segera dituliskan. Semenjak terbiasa pergi kemana-mana membawa my cutie notebook dan scribble di situ, aku males kalau harus menulis di kertas menggunakan bolpen. Kalau menulis diary masih agak mending. Tapi kalau menulis sesuatu untuk blog, wah, repot poll.
Mengapa aku ga langsung scribble aja di cutie? Well, akhir-akhir ini cutie sering mogok. Baru nyala 30 menit (dengan keadaan battery full pada waktu aku nyalakan), udah ngomel-ngomel padaku minta diistirahatkan. Di bengkel tentu aku merasa ga enak kan kalau minta aliran listrik untuk menghidupkan cutie kembali?
Alasan kedua: males kalau dikecengin mekanik yang tiba-tiba jadi narsis begitu tahu ada cewe cakep ke bengkel. Wakakakakaka ... Apalagi stereotyping bahwa bengkel itu “dunia kaum laki-laki” masih kuat menurutku. Ogah banget kalau ditanyain, “Kok bawa motor sendiri ke bengkel mbak? Masnya kemana?”
Satu hal yang memang kuakui aku harus belajar banyak dari Abang untuk nyuekin apa yang diomongin orang. (Seperti kata dia yang dia cuma ketawa aja waktu ada seorang member milis ngatain dia sebagai seseorang yang sombong. LOL.) Kupikir tentu Abang akan nyaranin aku jawab begini, “Bilang aja ‘Masnya ke kantor’, ato ‘Masnya sedang melanglang buana ke belahan bumi Selatan’ ato apa kek. Jangan mudah sewot gitu dong Non!” LOL.
Hari Kamis 5 Juli kemarin akhirnya aku bawa motor ke bengkel untuk servis setelah beberapa hari sebelumnya motorku mogok, busi minta diganti yang baru. Waktu aku cerita ke adikku tentang motor mogok ini, plus bahwa telah satu tahun motor ga kubawa ke bengkel, dia melotot dan bilang, “Kamu tuh kebangeten kok mbak!!!” LOL. Ini pun setelah aku menemukan satu bengkel yang terletak tak jauh dari salon tempat aku biasa creambath. Daripada bete nungguin motor diservis, mending aku ke salon.
Sesampai di bengkel, motor kuparkir di depan. Seorang mekanik keluar menyambutku bertanya, “Motornya mau diapain mbak?”
Aku: “Servis mas.”
Mekanik: “Servis kecil atau besar sampai ke sekring?”
Aku: “Besar aja mas. Sekalian ganti oli dll karena motor ini telah lebih dari satu tahun tidak pernah diservis.”
Mekanik langsung melotot mendengarnya, sambil geleng-geleng kepala. LOL. Aku menerjemahkan mimik wajahnya, “How could you???” hahahaha ...
Aku: “Mas, kutinggal ke salon ya?”
Mekanik: “Ya mbak. Ini lampu-lampu diganti ga mbak? Accu-nya juga dicek?”
Aku: “Iya, semuanya aja.”
*****
Aku di salon kurang lebih selama satu setengah jam untuk creambath. Aku super jarang facial karena aku merasa ga butuh-butuh amat. Toh aku rajin membersihkan wajah setiap hari dengan cleanser dan toner.
Sesampai di bengkel, seorang mekanik langsung laporan, “Mbak, nih onderdil-onderdil yang perlu diganti. Mbok ya punya motor tuh diopeni dengan baik.” Bla bla bla ... LOL.
Karena servis belum selesai, aku duduk di bangku yang tersedia, mengeluarkan SRINTHIL media perempuan multikultural yang memang sengaja kubawa di tas dan membaca. Kadang aku scribble di diary.
Saat aku resah kebosanan akhirnya usai pula lah penantianku. Si mekanik tak lupa wanti-wanti padaku, “Jangan males bawa motor ke bengkel dong mbak. Paling ga tuh dua bulan sekali.” Aku manggut-manggut aja. Semoga aja dua bulan lagi aku ga males. LOL. Mending juga nongkrong di depan desktop di rumah, ngetik sesuatu untuk blog.  ditemani secangkir kopi lagi.
PT56 22.45 070707

Saturday, July 07, 2007

Selasa 4 Juli 2007

Hari Selasa 4 Juli 2007 adalah hari terakhir aku libur term break dari tempat kerjaku. Itu sebabnya aku gunakan untuk ngeluyur dengan Angie (yang lebih sering dituduh sebagai adikku daripada anakku LOL).

Kita keluar rumah sekitar pukul 12.45. Tujuan pertama jelas warnet langganan kita. Semenjak aku keranjingan blogging LOL dan penasaran bagaimana membuat tampilan blog ku menjadi lebih indah dengan berbagai aksesori, sedangkan Angie kesenangan download berbagai macam theme untuk aksesori hapenya plus lagu macam-macam, kita berdua semakin sering ngenet. Sayangnya siang itu akses lelet poll!!!

What does lelet mean?

It means aku tidak bisa dengan mudah ngecek template yang bisa kudownload dari www.finalsense.com (thanks to Pak Ridwan Sanjaya yang telah menulis artikel ini di SM hari Minggu lalu). Aku yang penasaran melihat tampilan profile friendster milik Angie dan ingin mencobanya (cuma penasaran mencoba aja, dan bukan kepengen bikin tampilan profile friendster ku segitu heboh, kayak ABG aja LOL) pun harus menelan ludah doang berhubung akses serasa mati mendadak. Ngecek milis jalannya kayak siput. Mau balesin satu message di milis jelas tidak bisa.

Angie juga langsung komplain berat karena dia gagal melulu tatkala akan download sesuatu.

Akhirnya kita pun off dengan sangat terpaksa.

Dari warnet kita berdua ke warung tenda tahu gimbal plus es teler yang terletak di Jl. Menteri Supeno dekat SMA N 1. Bagi kita berdua yang memiliki perut dengan kapasitas kecil LOL semangkok es teler dan sepiring tahu gimbal untuk kita berdua cukuplah mengenyangkan. J

Dari situ kita ke toko buku TOGA MAS. Terus terang aku tidak begitu suka browsing buku di TB TOGA MAS Semarang berhubung tempatnya yang kecil dan sumpek karena terlalu banyak buku ditumpuk-tumpuk. Plus tidak ada AC. You can imagine how hot it is at TB TOGA MAS. Semarang ini hawanya sudah cukup panas, Berada di satu bangunan kecil yang sumpek dengan buku yang bertumpuk-tumpuk, jelas membuat segalanya semakin gerah. Namun, toh aku tetap juga ke sana karena toko buku ini menawarkan diskon sepanjang masa. J

Aku ingat TB TOGA MAS Yogya jauh lebih luas (berkali-kali lipat luasnya dibanding yang di Semarang) dan di Yogya ada AC-nya lagi. Persediaan buku juga jauh lebih lengkap dibanding di Semarang. Plus, biasanya diskon yang diberikan lebih banyak. Contoh, jika membeli novel LELAKI TERINDAH di TB TOGA MAS Semarang, diskon yang ditawarkan hanyalah 15% (harga dari pabrik Rp. 49.000,00, coba aja hitung sendiri jatuhnya berapa waktu aku membelinya), di Yogya, diskon yang diberikan adalah 20%. Memang HANYA 5% untuk sebuah buku. Namun jika dalam satu tahun aku membeli sampai 10-20 buah buku? Jumlahnya cukup lumayan bukan?

Aku tidak bermaksud membeli buku tatkala ke sana. Aku hanya ingin membelikan Angie buku. (Buku-bukuku di rak masih banyak yang belum aku selesaikan membacanya LOL karena aku sudah diterjang rasa jenuh lebih dahulu LOL)

Ketika aku naik ke lantai 2, aku melihat sebuah majalah komputer yang aku lupa namanya sekarang tapi topik utamanya adalah BLOGGING. Kata BLOGGING dicetak dengan huruf besar-besar dengan sangat mencolok di halaman depan. Wah, langsung membuatku ngiler. LOL. Sayangnya aku tidak membawa cukup uang untuk membelinya.

Kemudian aku berjalan mengitari satu lorong ke lorong yang lain (yang tentu jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari kita di satu tangan). And I saw a SURPRISE. Ada JURNAL PEREMPUAN DI SATU RAK BUKU!!! Sudah lama aku kehilangan jejak dimana aku bisa membeli JP semenjak JP menghilang dari TB Gramedia. Terakhir kali aku membeli JP bulan November lalu tatkala aku ke Yogya untuk mengambil honor dari UGM atas pemuatan artikel ilmiahku di Jurnal HUMANIKA. Dari UGM aku sempat mampir ke SA sejenak dan memborong membeli beberapa nomor JP. (Aku meninggalkan Yogya bulan Januari 2006, 10 bulan sebelumnya.)

Namun berhubung aku membawa uang dalam jumlah yang ala kadarnya LOL, aku hanya membeli satu edisi, yakni nomor 50 dengan topik utama PENGARUSUTAMAAN GENDER. Aku membelikan Angie sebuah teenlit novel. Namun aku cukup senang karena aku sudah tahu harus kemana tatkala aku ingin membeli JP.

Kenapa aku ga langganan aja langsung ke Yayasan Jurnal Perempuan? So ga repot? Sebabnya adalah jika aku membeli di TB TOGA MAS aku mendapatkan diskon 15%. Kalau langganan langsung ke Jakarta, aku harus membayar harga penuh yakni Rp. 19.000 per nomor plus biaya kirim. Lebih boros. Maklum, jiwa seorang mahasiswa yang keuangannya tergantung beasiswa BPPS masih sangat kuat di benakku. LOL. LOL.

Aku dan Angie pun pulang dengan hati riang. :)

PT56 23.40 060707

New Term 3/2007

Setelah libur kurang lebih 10 hari, hari Rabu 4 Juli aku kembali masuk kerja. Kebetulan untuk hari Senin-Rabu, aku mendapatkan dua kelas, jam 15.00-17.00 kelas Advanced 4, dan jam 17.00-19.00 kelas High Intermediate (HI) 4.
Seperti kebanyakan kelas dengan level tinggi, jumlah siswa di dua kelasku itu tidaklah menunjukkan jumlah yang menggembirakan bagi si pengelola kursus, namun mungkin lebih menyenangkan bagi para siswa yang benar-benar ingin memaksimalkan kesempatan untuk berlatih—speak English, write in English, and listen to English speeches. Di kelas Advanced 4, tadi yang datang hanya ada 2 siswa out of 4 students on the list. Di kelas HI4, hanya datang 1 siswa out of 2 students on the list.
Pengalamanku selama ini, minimal jumlah siswa yang ada di kelasku adalah 4 for the whole term. Kebetulan term 3 dan term 4 tahun 2006 lalu, I got Advanced 2 and Advanced 3 class, with the same students. Jumlah siswa yang hanya sedikit, membuat kita semua berbicara lebih banyak dibanding di kelas dengan jumlah siswa yang banyak. Dan aku menyukai kelas itu karena the students were active to speak, and also always enjoyed doing any activity, including discussing things yang kadang bagi anak-anak siswa SMA kurang menarik.
Kembali ke dua kelasku hari ini.
Kelas Advanced 4. None came until more than 30 minutes after the bell rang. Aku sempat pesimis apakah none of the students would come, mengingat ini adalah pertemuan pertama. Seorang siswa yang telah mencapai kelas Advanced 4, level tertinggi di program General English di tempatku tentu telah mengambil kursus selama bertahun-tahun. Di level-level rendah, biasanya pada pertemuan pertama aku sering memberi game untuk saling mengenal satu sama lain. Karena biasanya, bagi siswa-siswa tertentu mereka kadang menjadi malas berangkat, karena toh “paling ya begitu-begitu aja, kenalan, game for ice breaker, etc.”
Karena itulah aku menyibukkan diri melihat-lihat dan membaca buku HI 4 sembari mendengarkan musik dari the cutie di kelas, sembari menunggu a student to come. FYI, term 3/2007 ini di tempat kerjaku di Semarang, baru kali ini ada level HI 4. HI merupakan bagian dari program baru yang disebut English for Adult (EA) for General English, setara dengan program yang disebut Advanced menggunakan kurikulum yang lama.
Ketika ada seorang siswa, perempuan, datang, aku malah heran. LOL. “Loh, akhirnya ada yang datang juga toh?” kataku dalam hati. LOL.
Melihatnya cukup ramah, dan cukup active berbicara dalam bahasa Inggris (cukup sering aku bertemu dengan siswa yang aktif, namun berbicara dalam bahasa Indonesia, meskipun di kursus Bahasa Inggris ), aku senang. Awal yang bagus untuk memulai sebuah kelas dengan jumlah siswa yang sangat terbatas. Kebetulan dia belum pernah berada di kelasku sebelumnya, sehingga aku sangat menikmati “mewawancarainya”.  Dia seorang siswa SMA yang baru saja naik kelas 3.
Sekitar 20 menit kemudian siswa kedua datang, seorang mahasiswa yang mengaku sedang sibuk mengerjakan riset untuk skripsinya. Kali ini dia termasuk “wajah lama” bagiku karena aku ingat dia pernah berada di kelasku, Intermediate 1. I was happy to welcome him too because I remember him as an active student, always enthusiastic to do any activity I gave the class. And because he is already a college student, in a quite high semester, jalan berpikirnya cukup matang, sehingga aku senang bertukar pikiran dengannya.
I “survived” with the two students until the bell rang signing that the session was over.
Kelas HI4 pukul 17.00-19.00 ternyata I got only 1 student. Aku mengenal siswa ini sebagai seseorang yang cukup pendiam, meskipun ramah. Dia tidak banyak berbicara tatkala dua term yang lalu dia beberapa kali “temporary transfer” ke kelasku.
Surprisingly ternyata dia mengatakan dia lebih suka berada di kelas kecil karena dia akan mendapatkan perhatian yang cukup besar dari class teacher. Surprisingly juga tatkala I found out dia banyak bicara tatkala sendirian. He answered all questions I gave him in English. He really tried his best to always speak English.
Satu manfaat yang kupetik dari perbincangan dengannya.
Dia baru saja dinyatakan diterima di UNDIP melalui program UM (Ujian Masuk) yang merupakan program individu satu PTN, berbeda dengan program SPMB yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Dia bercerita waktu mendaftar di UNDIP, dia mengisi formulir “uang sumbangan” Rp. 15.000.000,00 Dan dia diterima. Total uang yang harus dibayar oleh orang tuanya sekitar Rp. 19.000.000,00 plus biaya lain-lain.
Tatkala aku mengatakan padanya bahwa katanya di UGM seorang calon mahasiswa tetap diterima melalui program UM meskipun untuk uang sumbangan dia menulis Rp. 0,00 karena hasil tes yang bagus, dia gantian bercerita bahwa ada juga seorang temannya yang diterima di UNDIP dengan uang sumbangan Rp. 0,00.
“Is he really brilliant?” I asked him.
“Well, not really Ma’am,” he said.
Jawaban yang agak melegakan bagiku karena aku sadar Angie is not considered brilliant. 
Sayangnya kemudian dia bilang, “But he is smarter than me although I said that he is not genius.”
When I asked him about his memorable experience when he was in junior/senior high school, he answered, “When I was in junior high school, I joined the acceleration class. There were only 18 students. Because there were only 18 students in one class (compared to other regular classes that usually consisted of more than 40 students), the friendship among us was solid.
HAH? Acceleration program? Ya berarti dia termasuk cerdas di atas rata-rata dong?  Yang cerdas di atas rata-rata saja membayar Rp. 15.000,00, bagaimana nanti Angie yang biasa-biasa saja? 
Anyway, aku masih percaya bahwa sometimes miracles do come to someone’s life, to my life too. Let us wait and see.
Angie baru naik kelas 2 SMA. Dia masih butuh sekitar 2 tahun lagi untuk menyelesaikan SMAnya. Dan aku sudah mulai nyicil pusing dari sekarang. CUMA NYICIL PUSING DOANG!!!!!!!!!!!!!!!! :( :(
PT56 23.05 060707

Friday, July 06, 2007

Grand Mercure Hotel



Bulan Februari 2007 yang lalu aku berkesempatan mengunjungi kota klangenanku ini selama dua hari. Untuk itu aku menginap di hotel Grand Mercure yang terletak di Jalan jendral Sudirman no. 9, tidak jauh dari hotel Santika. Heran, padahal sebelum aku lulus kuliah bulan Januari 2006 lalu aku tidak tahu menahu tentang keberadaan hotel yang bernama Grand Mercure ini. :) dasar kuper!!! hahahaha ...
Well, kamarnya yah lumayanlah, dan tempatnya cukup strategis karena terletak tidak jauh dari jantung kota Yogyakarta, Malioboro. Kebetulan aku menginap di kamar yang kamar mandinya ada bath tub nya, so aku nikmatin aja lah berendem di situ, maklum di rumah ga ada bath tub je. Hahahahaha ...
Selama dua hari menginap di situ, aku sempat berenang dua kali, maklum a swimming freak. :) Ini dia kolam renang Hotel Grand Mercure:



Cukup mungil, maklum aku hobby banget berenang di kolam renang yang luas, yah, misal seukuran 25 m x 50 m seperti kolam renang yang terletak di Kuningan UNY. Tapi ya lumayanlah. Yang aku sukai dari kolam renang di Grand Mercure ini adalah letaknya yang cukup terlindung dari terik sinar matahari. So, bagi swimming freak sepertiku tapi juga merupakan korban iklan bahwa yang cantik itu berkulit putih cukup menyenangkan. Aku bisa berenang di pagi hari sampai sekitar pukul 9, dan sinar matahari masih terhalang bangunan hotel di kiri kanan kolam renang.
Di malam hari aku sempat berjalan-jalan di Malioboro dan makan lesehan di sana. Biasalah, aku memesan menu spesial yang disediakan di sepanjang Malioboro di warung lesehan malam hari, burung dara goreng, plus lalapannya.
Aku kangen pengen ke Jogja lagi. But duit cekak. :(
Sedihnya. :((
KPDE 16.55 300607