Search

Saturday, June 30, 2007

Semarang Pesona Asia

Program SPA ini telah cukup lama digulirkan oleh Wali Kota Semarang, Sukawi Sutarip, namun aku sendiri kurang begitu tertarik dengannya. Bukan karena aku tidak mencintai kota kelahiranku ini, melainkan karena aku sendiri pesimis dengan ide utama program tersebut, bahwa Semarang diharapkan untuk menjadi pesona Asia. ASIA? Di seluruh Indonesia sendiri saja belum tentu. :(
Namun tatkala mbak Omie menyatakan keinginannya untuk berkunjung ke kotaku, dan bertanya, “Kalau aku ke Semarang, aku akan kamu ajak kemana Na?” aku mulai berpikir apa sih yang bisa kupamerkan di kota Lumpia ini?


Pertanyaan itu mengingatkanku beberapa tempat yang kukunjungi bersama kakak adik plus Angie selama libur Lebaran tahun lalu: Vihara Buddhagaya (yang kayaknya waktu kukunjungi bulan Oktober 2006 lalu bernama Avalokitasvara), Masjid Agung Jawa Tengah, dan Pantai Marina. Selain tiga tempat itu, tentu mbak Omie bisa kuajak berkunjung ke Gedung Batu Sam Po Kong yang memang sejak dulu telah terkenal.


Well, mungkin Semarang tidak seeksotis Yogya yang memiliki Malioboro, Kraton dan pantai-pantai berpasir putih, seperti Pantai Samas maupun Parangtritis. Namun Semarang cukup memiliki beberapa tempat yang bisa menarik minat turis datang ke Semarang. Sedangkan bagi teman-temanku yang tersebar di berbagai benua, yah ... bertemu dengan Nana pun sudah sangat menyenangkan. Wakakakaka ...


Hal-hal tersebut di ataslah yang ada di benakku tatkala beberapa minggu lalu Inne, salah satu siswa Advanced 4, datang kepadaku dan menyodorkan proposal paper dengan topik SEMARANG PESONA ASIA. Aku langsung menyambutnya dengan antusias.


Beberapa alasan yang membuat Semarang memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia adalah:


1. Semarang terletak di satu daerah yang permukaannya dapat dibagi menjadi dua: kawasan atas dan kawasan bawah. Dari daerah atas yang kadang dikenal sebagai kawasan “Candi”, kita bisa melihat Semarang kawasan bawah dan mendapatkan pemandangan yang sangat menakjubkan. Apalagi tatkala kita memandang kota Semarang bagian bawah dari kawasan “Candi” di malam hari, kita akan disuguhi pemandangan yang sangat indah dengan berjuta kerlap kerlip lampu di kejauhan.


2. Bangunan-bangunan yang menunjukkan bahwa Semarang merupakan kota damai dengan berbagai agama yang dianut oleh penduduknya.


a. Masjid Agung Jawa Tengah

Tentu saja MAJT bukan satu-satunya masjid agung (besar) yang ada di kota Semarang. Justru MAJT adalah satu masjid terbesar yang paling baru dibangun. Kelebihan masjid ini dibandingkan dengan Masjid lain, misal Masjid Kauman yang merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda, ada pada menara yang cukup tinggi, mencapai 60 m. Di musim liburan, MAJT cukup menarik pengunjung yang ingin naik ke menara untuk melihat kota Semarang dari ketinggian.




b. Gedung Batu Sam Po Kong

Kuil yang semula merupakan masjid ini dibangun oleh Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok yang dalam perjalanannya keliling dunia mampir di daerah Simongan. Setelah dipugar beberapa kali, GB SPK merupakan klenteng yang konon paling besar di seluruh Asia Tenggara. Replika kapal yang dinaiki oleh Laksamana Cheng Ho dan pohon-pohon besar dimana akarnya bergelantungan kesana kemari juga merupakan dua hal yang menarik orang untuk datang berkunjung ke GB SPK. Selain itu, keunikan GB SPK juga terletak pada cukup bervariasinya agama yang dianut oleh para pengunjung yang datang bukan hanya untuk berwisata namun juga untuk ngalap berkah (mengharapkan rejeki) dari Yang Di Atas. Mereka datang pada hari-hari tertentu, misal malam Jumat Kliwon.




c. Gereja Blenduk

Gereja yang kubahnya seperti mangkok terbalik ini (blenduk dalam boso Jowo bisa diartikan menggelembung) merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda. Terletak di kawasan yang dikenal sebagai Kota Lama, Gereja Blenduk merupakan salah satu gedung yang harus dikonservasi agar tetap terjaga untuk mengingat sejarah masa lalu.

Selain Gereja Blenduk tentu saja masih ada gereja-gereja lain yang juga merupakan peninggalan Belanda, seperti Gereja Gedangan yang terletak di kawasan Kaliwiru.




d. Vihara Buddhagaya

Vihara ini terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan Semarang dan Ungaran, salah kota kecil yang terletak di Kabupaten Semarang. Vihara ini selain dipakai untuk beribadah umat Buddha, juga merupakan salah satu tempat wisata.




3. Bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis.

a. Lawang Sewu

Bangunan yang disebut Lawang Sewu (Pintu Seribu) ini memiliki banyak pintu yang konon jumlahnya mencapai seribu. Lawang Sewu juga merupakan peninggalan Belanda. Di ruang bawah tanah terdapat banyak ruang-ruang sempit yang di zaman dulu dipakai untuk penjara.



b. Tugumuda

Tugumuda merupakan satu tugu yang terletak di pusat kota, dibangun untuk memperingati para kaum muda yang meninggal dalam perang melawan Belanda.



c. Museum Mandala Bhakti dan Ronggowarsito

Museum sangat berguna untuk menyimpan benda-benda bersejarah, untuk mempelajari masa lalu, terutama bagi anak-anak, maupun turis yang ingin mengetahui sejarah satu tempat.

d. Beberapa gedung sekolah

Beberapa gedung sekolah, misal SMA N 1 dan SMA N 3 Semarang merupakan dua gedung yang dibangun semenjak zaman Belanda. Sampai sekarang kedua gedung sekolah ini masih memiliki sebagian gedung asli peninggalan Belanda selain gedung-gedung bangunan baru untuk pemekaran.



4. Tourist resorts

Selain tempat-tempat yang telah disebutkan di atas, beberapa tempat yang bisa dikunjungi oleh wisatawan adalah Maerokoco, dimana dibangun miniatur Jawa Tengah, pantai Marina yang meskipun tidak berpasir putih memiliki pemdangan yang cukup indah kala matahari terbit maupun tenggelam.
Sedikit ke arah Selatan, kurang lebih 40 km dari pusat kota Semarang, turis bisa berkunjung ke Bandungan dan Gedong Songo yang memiliki hawa sejuk karena terletak di kaki gunung Ungaran. Di Gedong Songo turis bisa berkeliling naik kuda, maupun hiking bagi mereka yang menyukai olah raga jalan kaki sambil mengunjungi beberapa candi Hindu peninggalan zaman dulu. Msekipun namanya Gedong Songo (Gedung Sembilan), sayangnya hanya ada lima candi yang masih tersisa yang bisa dikunjungi karena keempat candi yang lain telah hilang.


5. Shopping Places

Simpang Lima, jantung kota Semarang, merupakan pusat perbelanjaan modern. Di sini terdapat Mall Ciputra dan Plasa Semarang dengan berbagai macam toko/gerai/outlet. Dari Simpang Lima, bisa ke arah Selatan, kurang lebih 5km kita bisa berbelanja di Java Mall. Harus diakui bahwa mall-mall yang terletak di kota Semarang jauh lebih kecil dibandingkan mall-mall yang tersebar di Jakarta maupun Surabaya, namun tidak berarti bahwa turis tidak bisa memuaskan keinginannya untuk berbelanja.
Untuk pasar tradisional, pasar Johar yang terletak di Jl. KH Agus Salim, kurang lebih 5km ke arah Utara dari Simpang Lima merupakan pasar tradisional terbesar di Semarang. Pasar Johar juga merupakan peninggalan Belanda. Tak jauh dari Pasar Johar terletak Masjid Besar Kauman yang juga merupakan peninggalan Belanda.


Untuk berbelanja makanan khas kota Semarang, turis bisa berkunjung ke Jalan Pandanaran, pusat oleh-oleh makanan khas kota Semarang. Semarang terkenal dengan tiga macam makanan khasnya yakni lumpia, wingko babat, dan bandeng presto. Selain ketiga makanan khas Semarang tersebut, toko-toko di Jalan Pandanaran juga menyediakan berbagai macam jajanan pasar khas Semarang.









6. Akomodasi

Untuk keperluan tinggal para turis, Semarang memiliki banyak pilihan hotel, mulai dari hotel melati, sampai hotel bintang lima tersedia di kota Semarang. Bagi para pebisnis, mungkin tinggal di Hotel Ciputra maupun Hotel Grand Santika yang terletak tak jauh dari Simpang Lima merupakan pilihan yang tepat. Bagi mereka yang menginginkan ketenangan bisa memilih tinggal di Hotel Patrajasa maupun Hotel Grand Candi yang terletak di kawasan atas.

Bila anda tertarik lebih jauh lagi tentang program SEMARANG PESONA ASIA, kliklah website khusus itu di www.semarangpesonaasia.com
PT56 16.55 290607

Time Machine

TIME MACHINE


Percayakah kamu dengan kemampuan manusia untuk menciptakan mesin waktu?
Berikut ini adalah obrolanku dengan Abang.
Nana: “Tadi nonton film apaan Bang?”
Abang: “TIME MACHINE.”
Nana: “Wah ... asik dong Bang. Kita berselancar yuk ke zaman-zaman dahulu?”
Abang: “Emang kamu percaya hal begituan?”
Nana: “Well, not really sih. tapi asik ajalah kalo bayangin bisa kembali ke masa lampau, yah, ngelongok ke masa ini sedikit, ke masa itu sedikit, kesana kemari sebentar.”
Abang: “Yah, kalo cuma untuk berfantasi ria sih ayo aja.”
Nana: “Aku pengen ngelongok ke era waktu Borobudur dibuat!!! Aku juga pengen liat taman gantung Babilonia. Seperti apakah indahnya taman yang sampai sekarang ini tetap dikenal sebagai taman yang super indah? Apakah memang benar-benar indah seperti yang ktia bayangkan sebagai orang yang hidup di abad 21??
Abang: “Aku ingin liat saat kamu dilahirkan, juga waktu kamu ngelahirin Angie.”
Nana: “Weleh, emang Abang bayangin aku seperti apa waktu dilahirkan dan juga ngelahirin Angie?”
Abang: “Nah itu dia, aku ga bisa bayangin. Makanya aku pengen liat!”
Nana: “Ah Abang nih, ada-ada aja!!!”
Abang: “Aku juga pengen liat Perang Dunia ! dan !!.”
Nana: “Ye Abang. Kenapa Abang pengennya liat zaman-zaman yang ga terlalu jauh dari sekarang? Aku justru pengennya liat zaman-zaman duluuuuuuuuuuuu sekali. Seperti apakah perempuan di zaman manusia masih nomaden? Tatkala laki-laki dan perempuan setara dan tidak dikotak-kotakkan sebagai makhluk publik dan makhluk domestik? Tatkala perempuan menemukan caranya bercocok-tanam? Hingga bagaimana prosesnya karena perempuan yang menemukan cara bercocok-tanam, sehingga menandakan hampir berakhirnya masa nomaden, namun justru karena itu pulalah perempuan mulai didomestikasi!”
Abang: “Oh? Zaman yang duluuuuuuuuuuuu sekali? Well, aku ingin liat Cleopatra telanjang! Bagaimanakah rupa perempuan yang sangat terkenal itu?”
Nana: “Ya ya ya ... apakah Cleopatra benar-benar seperti yang digambarkan orang-orang sekarang? Seperti apakah masyarakat menggambarkan kecantikan seorang perempuan pada saat itu?”
Abang: “That’s it!”
Nana: “Tapi, kenapa dia harus telanjang Bang?”
Abang: “Ya asik ajalah bayangin dia telanjang!”
Nana: “Wakakakakakaka ...”
(Sssstttt ... bukan alasan yang cerdas bukan? Hahahahaha ... Kenapa dia ga bilang aja kalo dia itu lelaki “normal” yang penasaran ngeliat perempuan telanjang? Huahahahahahaha ... You know what? Karena di mataku dia agak kurang “normal” untuk masalah “yang satu ini” huehehehehehe... karena itulah aku sering mengatakan padanya untuk memasukkannya ke dalam museum khusus. LOL. LOL. LOL.)
Abang: “Sssshhhh!!! By the way, film itu mengatakan bahwa sejarah itu tidak bisa diubah!”
Nana: “Hmmm ... bahwa kalau pun kita bisa kembali lagi ke masa dahulu kala, dan mengulangi segalanya dari mula, akhirnya perempuan toh tetap saja akan mengalami marginalisasi setelah penemuan cara bercocok tanam itu?”
Abang: “Iya! Perkembangan zaman sudah seperti itu Nana. Kamu jangan sok menjadi yang paling Maha Kuasa untuk mengubah zaman menjadi matriarki.”
Nana: “Jangan sok tahu dong Bang! Sebagai feminis aku bukannya pengen kultur patriarki ini menjadi matriarki, dimana kemudian perempuanlah yang memarginalisasi laki-laki. ENGGA. Sebagai feminis aku menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan bukannya balas dendam. Abang toh tahu juga bahwa dalam kultur patriarki pun banyak laki-laki yang menjadi korban, meskipun tidak sebanyak perempuan.”
Abang: “Laki-laki menjadi korban dalam kultur patriarki? Thats definitely NOT ME.”
Nana: ”I know that’s definitely NOT YOU, Abangku yang sok arogan!”
Abang: “Waduh, sekarang aku dituduh orang yang arogan deh!  ”
Nana: “You know what? To some people, terlalu pede bisa menjadi sombong.”
Abang: “Memang aku pede kok. That’s not my mistake! Tapi aku bukan orang yang sombong! Weks! :-P”
Nana: “Btw, kembali ke laptop. Eh, kembali ke masalah mesin waktu.”
Abang: “Kamu tahu ga Na, sekarang jargon ‘kembali ke laptop’ udah katrok!”
Nana: “Wakakakakaka ... my quick learner Abang. Barusan kemarin belajar istilah katrok dari Yuli Holland, sekarang Abang sudah fasih menirukannya. Hahahaha ...”
Abang: “That’s definitely me, a quick learner.”
Nana: “Halah!!!”
Abang: “[-( [-(“
Nana: “Abang tahu ga di TVRI dulu ada film seri yang berjudul “TIME TUNNEL, sejenis time machine gitu deh?”
Abang: “Ya, tapi aku ga begitu suka. :-o :-o”
Nana: “Kalau FRIDAY THE 13th?”
Abang: “Tahu juga. Dan sama, aku juga ga begitu suka film seri itu. Film yang khayali begitu ga menarik bagiku, kecuali kalau pembuatannya canggih, seperti MATRIX tuh. Kamu tahu MATRIX ga?”
Nana: “Tahu sih, tapi belum nonton. Dan kayaknya aku juga ga begitu tertarik untuk nonton. Untuk “TIME MACHINE” well mungkin entar aku mau sewa VCD nya. Pengen liat apa sih yang Abang liat di situ. Kalau tertarik mungkin entar aku mau juga nulis reviewnya karena aku selalu tertarik untuk membayangkan kembali ke masa lalu.”
Abang: “Kalau kembali itu ya ke masa lalu dong Non. Masak ke masa depan?”
Nana: “Loh Bang, kan ada tuh film yang berjudul BACK TO THE FUTURE? Yang main si imut Michael J. Fox?”
Abang: “Ga suka. :-o :-o”
Nana: ”Di film itu, sama dengan salah satu atau dua episode dalam film seri FRIDAY THE 13th, kalau kita kembali ke masa lalu, dan kemudian terjadi sesuatu yang mengubah satu kejadian, maka sejarah akan berubah.”
Abang: “Ga percaya. :-o :-o :-o”
Nana: “Hahahaha ... tahu ga Bang, aku suka banget ngeliat emoticon di atas yang nunjukin Abang sedang geleng-geleng kepala gitu. Imut banget, euy! Kalau Abang geleng-geleng kepala, beneran imut gitu ga? Hahahahaha ...”
Abang: “Ya kamu kesini dong!”
Nana: “Pinjam pintu ajaibnya Doraemon dulu yah Bang?”
Abang: “Kayak apaan tuh pintu ajaibnya Doraemon?”
Nana: “Yah pintu yang bisa membawa kita pergi kemana aja dalam satu kali kedipan mata. ”
Abang: “Ah, apalagi tuh? Ga percaya!”
Nana: “Yee ... Abang, namanya juga imajinasi. Weks! :-P”
Dan ... “chatting” yang kutulis di atas pun murni hasil imajinasiku yang melibatkan Abangku seorang sebagai salah satu tokoh imajiner dalam tulisan ini. wakakakakaka ...
PT56 08.30 290607

Wednesday, June 27, 2007

Music Lover

 


Listening Music at Home or Going to a Music Concert?


Are you a music lover?


Perhaps I can be categorized into the one who doesn’t really love music since I very rarely go to a music concert. (In case one requirement to be considered as a music lover is also love going to a music concert.)


When I was studying at bachelor’s degree (the time when my dad gave me pocket money for one month fully and I managed it by myself), I more often spent my spare money to buy books than cassette as far as I remember. I had one radio complete with tape recorder at that time. I could listen to the radio for various kinds of music, right? That was enough for me so that I didn’t really need to buy many cassettes. However, I was of opinion that for people who were really freak for music, they would spend much money for cassettes, (no CDs yet at that time), or to buy a good quality radio/tape recorder so that they could listen to really good music.


When I was studying at master’s degree at the first time. I had no radio, nor a computer yet. So, how did I entertain myself while hiding in my “nest” doing abundant assignments from campus? I sometimes just enjoyed listening to some music my “neighbors” staying next door of my room played in their radio/tape recorder. Or, yeah, sometimes I just sang some songs, and listened to my own voice. It was not about being narcissist of my voice, LOL, (because I was not really confident with my own voice), but just to avoid boredom, being all alone, “buried” under my assignments, no entertainment at all. 


When I got some money to do research for my thesis, I used it to buy a computer set. A very generous workmate lent me lots of his CDs that happily I grabbed into the harddisk. It was the time when my life started to be full of music everyday. But, still I didn’t spend much money for that because I just borrowed my friends’ CDs. 😁


I just bought two CDs after that, Bryan Adams and Shania Twain’s. (Thrifty or stingy? LOL.) You know, as a bookworm, I spent more money to buy books.


Different from my Abang, he really loves music and doesn’t mind spending money for good CDs, etc. Knowing I love music too (I am a bit pessimistic if there is someone who doesn’t like music anyway), he sent me some CDs, on which he made very special ones, containing his favorite songs since he wanted to share them with me. He said, “You will not find these CDs anywhere else in the world although you are willing to spend much money for them because these were especially made for some special people for me.” To make those special CDs, he spent days and nights in the middle of his hectic schedule.


Not enough sending me those CDs, Abang also sent me MP4 player, hoping that I would always be able to access music anywhere I go. As I wrote in the blog around three weeks ago, he also sent me special earphones that produce amazing sound from the player. It was all because he loves music and he wanted me to enjoy the best music as he does!!!


I am wondering if he loves going to a music concert?


But I know he loves karaoke and feel confident with his voice. I love singing, without any karaoke equipment, but only for myself, or for lullaby when Angie was about to sleep when she was very little. 


PT56 22.25 260607

Perfectionist

Am I a perfectionist?
I never thought like that until one day, around seven or eight years ago an (ex) workmate of mine said so about me. At that time I was busy typing some material to give my students at the office. After I printed it, I read the printout, found some mistakes (not really fatal mistyped though), I revised it, then printed it again. When the result of the printout was not really satisfying to me (perhaps the ink in some lines was not as thick as the others, or the margin was not really fit like what I wanted), I printed it again and again until I got the best result like what I wanted.
Seeing me busy like that, she commented, “You are really a perfectionist, huh?”
And I was dumbfounded because I never considered myself like that.
However, since then on I started to be alert to anything I did. I often found myself troubled when I mistyped. When I wrote in English, and realized I used a wrong diction, I would quickly revise it. When I was not really sure of one word, I would look up in the dictionary. However, I considered those things just common things. It didn’t really show that I was a perfectionist. That’s what I thought of myself.
Until the day I resumed my study. I found out that Julie was included into a lousy person for mistyping words, for not really good margins when typing, and she was not troubled at all with those things. How come?
Until the time for me to write my thesis, I always never felt ready to start writing it. I always felt that I lacked material. Feeling nervous when writing it, feeling not sure to write a good one, I always tried finding excuse for myself not to finish it soon. For example: I was waiting for some textbooks I ordered from America, I was also waiting for the comment from Prof Egan about the proposal of my thesis. I sent it to him although he already went back to New York one year before, to ask for his suggestion for betterment. At the same time, I also underwent difficult times in my private life.
I kept postponing writing my thesis.
Until I could not postpone it any longer due to financial constraint I got (no more allowance from the scholarship!!! LOL.) I had to force myself to finish it soon.
Meantime I found an article stating that one main characteristic of a perfectionist was being a procrastinator. Feeling worried not to do his/her best, a perfectionist keeps postponing doing his/her assignment until due. After he/she has no time to postpone it anymore, he/she will be forced to do his/her assignment. When he/she doesn’t produce the best one, he/she will have the best excuse, “Not enough time to do the assignment.”
Huh!!! Annoying, right? LOL.
PT56 21.40 260607

Jogja vs Semarang

Putu, salah satu teman kuliah, dan termasuk salah satu member “Gang of Seven” pernah bilang padaku bahwa Yogya bukanlah tempat yang tepat untuk mencari makanan yang enak. Dia yang berdarah Bali namun lahir dan besar di Semarang bilang Yogya bukanlah saingan Semarang untuk wisata kuliner (istilah yang cukup popular akhir-akhir ini berkat program di televisi). Dan aku percaya saja apa yang dikatakannya tatkala aku sangat jarang menemukan masakan yang cocok dengan lidahku sepanjang kuliah S2. (Ternyata aku gampang juga diprovokasi kadang-kadang. LOL.) Semua makanan yang kumakan rasanya paling banter standar lah, ga sampai uenak banget.
Tidak pernah aku makan nasi goreng selezat nasi goreng yang biasa kutemukan di warung-warung Nasi Goreng Surabaya yang terletak di Semarang. Nasi goreng yang biasa kita pesan ketika nongkrong di kantin BONBIN di belakang FIB pun tentu rasanya sangat jauh dibanding nasi goreng yang biasa kubelikan untuk Angie, atau di warung tenda dekat kantor dimana teman kerjaku kadang-kadang beli untuk kita (yang kita kenal sebagai “nasi goreng akhir term”).
Tidak pernah aku makan bakso sedahsyat bakso PAK GEGER yang pernah kukunjungi bersama mbak Icha, teman milis dari Jakarta. Semua bakso yang pernah kumakan di Yogya rasanya biasa-biasa saja. Apalagi yang dijual di pedagang kaki lima di sekitar bundaran UGM maupun di sekitar gelanggang mahasiswa. Kebetulan juga mungkin aku bukanlah penggemar bakso.
Ayam goreng tulang lunak NINIT memang cukup enak di lidahku, namun sayang tidak dibarengi dengan sambel yang hhmmm ...
Lesehan di sepanjang Malioboro juga rasanya biasa-biasa saja.
Pernah satu kali aku dan teman-teman seangkatan makan bareng di salah satu rumah makan yang terletak di Jalan Kaliurang km 5.5, dengan menu ikan bakar. Ikan bakarnya tidak selezat dibanding masakan ikan bakar di Ngrembel maupun Jimbaran. Sambelnya pun kurang ‘nendang’. (well, bakal mbak Omie terheran-heran dengan kata ini, “Mana bisa sambel nendang Na?” LOL. Terlalu lama tinggal di USA membuatnya “kuper” bahasa gaulnya bahasa Indonesia.
Namun tatkala aku mendengarkan obrolan antara Mayda dan Adit, aku jadi berpikir mungkin karena aku kurang berkeliaran aja untuk mencoba makan di satu rumah makan dengan rumah makan yang lain. Aku suka makan di rumah makan ayam bakar PAK TO yang terletak di pinggir Selokan Mataram mungkin karena harga yang cukup murah untuk kantong mahasiswa S2 yang keuangannya tergantung kepada beasiswa dari pemerintah. LOL. Dan bukan karena masakan yang lezat. Ah ...
Sementara itu, tatkala ditanya Abang, “Di Semarang dimana kita bisa makan enak Na?” Nah lo, aku juga ga begitu ngerti. Hahahahaha ... Sewaktu kecil ortu tidak membiasakan anak-anak makan di luar. Berbeda dengan Putu yang masa kecil dan remajanya dia habiskan di Semarang, dia mungkin lebih tahu banyak tempat. (FYI, Semarang cukup terkenal sebagai kota dimana penduduknya lebih suka mengeluarkan uang untuk makan enak. Sedangkan Bandung cukup terkenal sebagai kota dimana penduduknya lebih memilih kelaparan karena menggunakan uangnya untuk belanja baju baru.)
Yang aku tahu ya yang cukup sering aku kunjungi bersama Angie untuk eating out. Pertama, “Kahuripan” yang terletak di Puspogiwang, tidak jauh dari sekolah Angie sewaktu SMP. Setiap kali kesini aku pesan kwetiau. Menurut lidahku kwetiau di “Kahuripan” mengalahkan rasa kwetiau yang dijual di Rumah Makan Bakso Tennis Lapangan Tembak yang terletak di Grage Mall Cirebon. Yang di Semarang aku sendiri belum pernah nyoba. Kwetiau di rumah makan “de Koning” Semarang juga uenak banget, sayang porsinya super besar untuk perutku yang mungil ini. LOL.
Kedua, setiap kali aku dan Angie makan di food court Citraland Mall, aku paling sering pesan Bakmi Jowo. Ada beberapa stand yang berjualan Bakmi Jowo di situ, dan sekarang aku lupa yang mana yang biasa kupesan. LOL.
Aku dan Angie dulu suka sekali beli nasi goreng di food court Java Mall lantai 2. (BACA, DULU  sekitar tahun 2000-2001) Terakhir kali kesana beberapa bulan lalu, aku sudah lupa di stand sebelah mana untuk memesan nasi goreng yang uenak tenan itu.
Untuk bakso, bakso PAK GEGER memang terkenal nyamleng, apalagi pernah masuk ke acara wisata kuliner di televisi. Aku pernah juga ditraktir teman bakso yang terletak di taman Erlangga. Enak juga. Tapi aku agak curiga, apa karena ditraktir sehingga rasanya enak? LOL.
Untuk pecel, well, di warung dekat rumahku rasanya cukup enak. Malah kadang menurutku bumbunya lebih enak dibanding bumbu pecel BU SRI yang sangat terkenal di kota Semarang itu. (demi alasan yang etis aku tidak cantumkan lokasinya. LOL. Well, the real reason is aku lupa nama daerahnya. Wakakakaka ...)
Lumpia sebagai salah satu makanan khas kota Semarang memang uenak tenan jikalau kita membeli yang satu biji seharga 5000 perak itu, yang bisa kita beli di Jalan Pandanaran, pusat belanja oleh-oleh khas kota Semarang. Well, mungkin harganya sekarang sudah naik? Entahlah. Aku sendiri ga pernah beli sendiri. Kadang-kadang dibelikan oleh mahasiswa yang berbaik hati, sebagai balasan aku membimbing skripsinya. LOL. Atau dibelikan kakakku tatkala dia balik ke Semarang.
Anyway, I love these two cities with different reasons. Siapa bilang kita ga bisa berbagi cinta? LOL. LOL. LOL.
PT56 13.35 260607

From Semarang to Jogja with Love

Hari Minggu 24 Juni 2007 aku mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu juri seleksi tahap ketiga program AFS dari Yayasan Bina Antarbudaya Chapter Semarang (The Indonesian Foundation for Intercultural Learning). Kebetulan aku ditempatkan di ruang 4, bersama dua juri lain (still very much younger than I am) yang kemudian kuketahui mereka adalah alumni AFS (BACA  pernah terpilih dalam seleksi AFS beberapa tahun lalu). Kebetulan salah satu dari mereka, bernama Mayda, sekarang tercatat sebagai mahasiswa UGM jurusan Komunikasi.


Bertemu seseorang yang sekarang sedang mengejar masa depannya di UGM, apalagi dia tinggal di kos dekat mantan kosku dulu, wah, benar-benar membawaku membawa kembali ke kota kedua yang kucintai di Indonesia ini. (No matter what, I still put Semarang, my hometown, in the first rank!) Kebetulan Mayda kos di daerah yang disebut Tawangsari, di daerah Jalan Kaliurang (untuk singkatnya disebut Jakal. Btw, menurut salah satu guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, orang-orang Yogya terkenal paling suka membuat singkatan. Contoh lain adalah Jalan Monjali yang merupakan singkatan dari Monumen Jogja Kembali) km 5. untuk masuk ke daerah Tawangsari seseorang bisa masuk melalui Gang Megatruh. Di sebelah Gang Megatruh ada gang yang cukup mungil—kayak aku LOL—yang disebut Gang Mijil. Nah, zaman aku kuliah S1 (1986-1990) juga ketika aku kuliah S2 (tahun 2004 bulan Februari sampai Oktober) aku tinggal di sebuah rumah nomor 11.


Tatkala Mayda menyebut kosnya berada di satu lokasi dengan salon “Larasati”, wah, aku jadi ingat lagi dulu aku cukup sering melewati jalan itu, terutama dalam perjalanan dari kos ke kolam renang UNY. Sering juga aku beli sego pecel di warung yang terletak dekat salon “Larasati” itu. Atau kadang mampir hanya untuk membeli es teh dalam perjalanan pulang dari kampus di siang hari yang cukup terik.


Usai “menonton” partisipan AFS unjuk kebolehan kekreatifan mereka, aku dan para juri yang lain asik makan siang di sebuah ruangan yang biasa dipakai untuk Sekretariat. (Ups, lupa bilang, seleksi diadakan di SMP N 3 Semarang.) Saat makan siang ini aku mendengarkan obrolan Mayda dengan Adit, salah satu juri lain, yang baru kuketahui ternyata juga merupakan “salah satu penduduk temporer” Yogya. Mayda yang sedang senang-senangnya menikmati kehidupannya sebagai mahasiswa di kota yang mendapatkan predikat KOTA PELAJAR di Indonesia, ternyata sudah cukup berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencicipi makanan/masakan lezat di Yogya. Mulai dari angkringan di daerah UGM, sampai warung makan yang terletak lumayan jauh dari daerah UGM yang terletak di daerah Malioboro maupun lebih ke Selatan lagi.


Mendengarkan obrolan ini mengingatkanku saat-saat aku kuliah S2. AKU GA KEMANA-MANA!!! Dan nama-nama rumah makan yang disebut Mayda dan Adit sangat asing di telingaku yang kuper ini. LOL. Sedangkan rumah makan PAK TO yang ayam bakarnya sangat kusukai sama sekali tidak disebut oleh mereka berdua. NAH LO.


Kalau kuingat-ingat lagi apa yang menyebabkan aku tidak tahu menahu nama-nama rumah makan maupun angkringan yang disebut oleh Mayda dan Adit ada dua alasan kuat yang membuatku kuper.
Pertama, aku tidak bergaul baik dengan teman-teman satu kos. Aku memang dengan sengaja membentengi diri untuk tidak sangat terlibat dengan kegiatan teman-teman kos yang kebetulan kebanyakan jauh lebih muda dariku. Yah, seperti membeli makan bersama-sama, jalan-jalan, sampai berangkat shalat tarawih bersama, baik yang diadakan di masjid UGM, maupun masjid-masjid sekitar kos. Dengan tidak terlalu terlibat dengan kegiatan teman-teman kos, aku bisa “bersunyi sepi” di kamar untuk lebih fokus mengerjakan tugas-tugas kuliah.


Di kos pertama yang kudiami yang terletak di Jl. C. Simanjuntak no. 53 (sekarang sudah almarhum  awal tahun 2004 kita semua penghuni diusir dengan semena-mena karena kos (dan beberapa rumah/bangunan di sekitar) akan dirubuhkan dan dibangun gedung yang entah dipakai untuk apa. Di sini ada sekitar 30 penghuni yang berasal dari berbagai daerah seluruh Indonesia, dan tentu aku tidak mengenal mereka semua. LOL. Ada beberapa mahasiswa S2 (tak lebih dari empat orang termasuk aku), beberapa mahasiswa S1, dan sejumlah siswa Madrasah Aliyah Negeri yang terletak kurang lebih hanya 300 m dari kos.


Aku benar-benar individual selama tinggal di sini. Melakukan ini itu sendiri. Aku ingat ikut makan bersama tatkala beberapa teman berinisiatif masak besar bersama-sama dan kemudian seluruh penghuni kos diundang untuk makan bersama-sama. Baru kali itulah aku masuk ke kamar teman dan sempat ngobrol sejenak dengan beberapa teman kos lain.


Di kos kedua yang terletak di Gang Mijil no. 11, ada seorang teman kos yang rajin menyambangiku. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik kepadaku dan lumayan rajin dolan ke kamarku. Namanya Berty, mahasiswa fakultas hukum UGM. Dengannya aku ngobrol lumayan banyak. Waktu itu aku sudah masuk semester 4, dan tidak terbebani dengan tugas menulis paper yang bejibun, kecuali dua mata kuliah yang diberikan oleh dosen tamu yang tidak wajib kuikuti. Sifatku yang kadang suka menunda-nunda satu pekerjaan yang membuatku berasyik-masuk mengikuti kuliah Prof. Kenneth Hall, dari Michigan, dan melenakan diri dengan tidak sesegera mungkin mulai menulis tesis. Selain itu, yah, aku lumayan jenuh juga dikejar deadline mengerjakan tugas-tugas selama semester 1, 2, dan 3. Pada saat yang sama pula aku menikmati persahabatanku dengan Berty. Ngobrol hampir tiap hari, pagi, siang, sore, malam ketika aku berada di Yogya.


Pernah satu kali aku pergi berenang bersama Berty dan satu teman kos lain (jelas aku lupa namanya!!! LOL.) Kita bertiga berangkat dan pulang naik bus kota. Dan tatkala berenang, aku jadi ngobrol dengan mereka berdua, satu hal yang sangat tidak kusukai. Ngapain juga ngobrol harus pindah ke kolam renang? Asik juga ngobrol di kamar kos, sambil tiduran di tempat tidur! dan ini adalah satu-satunya kesempatan aku pergi bersama teman kos. Beberapa kali pergi beli makan bersama, tapi melulu di rumah makan di sekitar kos.


Alasan kedua aku kuper adalah aku tidak punya sarana ngeluyur. Kemana-mana harus naik bus kota, atau jalan kaki. Sama sekali tidak praktis kan? Seandainya ada motor, mungkin (CATAT  MUNGKIN) aku akan mencoba makan di sini situ, ato di sana sini. LOL. Demi kepraktisan, aku dan Julie sering makan siang di KANSAS (KANtin SAStra) yang memang terletak di Fakulas Ilmu Budaya (dulu bernama Fakultas Sastra) atau terkadang di kantin yang diberi julukan BONBIN yang juga terletak di belakang FIB. Mengapa namanya BONBIN? Aku sendiri tidak begitu tahu sejarahnya. Satu hal yang aku tahu adalah kantin ini agak jorok, penuh dengan lalat yang berterbangan. LOL. Namun tentu saja harganya lebih miring dibandingkan KANSAS.


Aku ingat satu kali seorang professor bilang, “Kalian mahasiswa S2 malu dong kalau makan di BONBIN, masak makan kok berebut dengan lalat?” wakakakaka ... Sayangnya aku dan teman-teman kuliah lain yang dijuluki “Gang of Seven” oleh Prof. Hugh Egan, dosen tamu dari Ithaca College, suka makan di warung Pak Sis karena nasi gorengnya lumayan enak, dan tatkala menunggu pesanan kita matang, kita suka bercanda, melepaskan stress karena beban kuliah yang cukup melelahkan.
Satu tempat makan lain yang sering kita (“Gang of Seven”) kunjungi adalah rumah makan yang terletak di Fakultas Ekonomi, persis di sebelah FIB. Tempatnya lebih bersih dibandingkan KANSAS, dan tentu saja jauh lebih elegan dibanding BONBIN. LOL. Di sini kita bertujuh sering ngobrol berjam-jam sambil makan bersama.


Pernah satu kali kita makan di kantin yang terletak di Gedung Lengkung, pusat Sekolah Pasca Sarjana UGM. Suasana cukup sepi karena para pengunjung tidak banyak bicara tatkala makan. Nah, ini menjadi satu kendala bagi kita bertujuh yang suka berhahahihi. Ga enak kan menjadi pusat perhatian seantero kantin? Selain itu harga relatif lebih mahal dibandingkan dengan KANSAS maupun kantin di FE. Plus, kita jarang kuliah di Gedung Lengkung karena kebanyakan kelas dilaksanakan di gedung FIB maupun gedung Pasca Sarjana lama yang terletak di belakang FE atau di depan Fakultas Psikologi. Hal-hal inilah yang membuat kita bertujuh hanya satu kali makan di kantin Gedung Lengkung.


Di antara kita bertujuh hanya dua orang yang memiliki motor, Putu dan Wiwin. Tyas selalu diantar jemput suaminya. Itu sebab kita bertujuh tidak pernah jauh-jauh cari makan karena tidak praktis.
Mengingat kedua alasan ini membuatku mencoba mengingat-ingat lagi masa kuliah S1 dulu. Beban kuliah S1 jelas jauh lebih ringan dibanding S2 yang membuatku tentu tidak perlu mengurung diri melulu di kamar. Dan aku juga diperbolehkan membawa motor oleh orang tuaku. Saat itu aku dan teman-teman kos lumayan sering pula berhura-hura makan di sana sini. Kadang-kadang jalan-jalan rame-rame ke Malioboro, Kraton, Kebun Binatang Gembira Loka, Kaliurang, pantai Parangtritis, dll.


Kesimpulan: aku tidak bener-bener kuper tatkala aku masih seusia Mayda. Salah satu alasanku melanjutkan kuliah di luar kota adalah aku ingin bebas dari harus minta ijin ke orang tua untuk pergi kesana sini. Sebagai anak perempuan pertama, aku cukup sering tidak diijinkan untuk ini itu. Well, aku cukup menikmati masa kuliah S1 dengan dolan kesana kemari. Tatkala kuliah S2, tujuanku memang bukan untuk menikmati kebebasan main kesana kemari, melainkan untuk memperluas wawasan, mendapatkan pengetahuan yang kubutuhkan di tempat kerja, dan kembali merasakan duduk di bangku mahasiswa setelah sekian tahun aku selalu berdiri di depan kelas sebagai dosen/guru. So, aku tidak perlu menyesali mengapa aku kuper selama kuliah S2.


PT56 12.15 260607

Monday, June 25, 2007

Memilih Sekolah 2

Dalam kolom SURAT PEMBACA harian SUARA MERDEKA dua hari lalu ada satu surat yang cukup menarik perhatianku. Surat itu berjudul “Ilmu atau Gengsi” ditulis oleh seorang siswa salah satu sekolah swasta yang cukup terkenal di Semarang. Ricko—demikian nama si penulis surat pembaca tersebut—menuliskan beberapa jalur yang bisa diambil oleh seorang lulusan SMA tatkala akan melanjutkan pendidikannya ke PTN. Saat ini beberapa PTN favorit Indonesia memiliki tiga macam jalur: pertama PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), UM (Ujian Masuk), dan SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang di zamanku dulu disebut Sipenmaru.

Di zamanku lulus SMA 21 tahun yang lalu, yang namanya PMDK, semua siswa kelas 3 bisa mengikuti proses penyeleksian. Universitas negeri memberikan formulir pendaftaran sejumlah siswa kelas 3, tidak ekslusif untuk anak-anak yang memiliki ranking tinggi, misal ranking 1-5 di masing-masing kelas. Semua universitas negeri bekerja sama, mirip dengan Sipenmaru, sehingga tidak mungkin satu anak diterima di lebih satu universitas negeri. Begitu seorang siswa dinyatakan diterima di salah satu PTN melalui jalur PMDK, hanya satu syarat yang harus dia lakukan, dikarantina selama dua hari, bersamaan dengan dilaksanakannya Sipenmaru, sehingga dia tidak mungkin akan “mengambil kesempatan” untuk calon mahasiswa lain. Tidak ada wawancara berapa jumlah uang yang akan dibayarkan oleh orang tua.

Tidak lulus PMDK, hanya ada satu kesempatan lain lagi yang bisa dilakukan oleh calon mahasiswa PTN, bersaing dalam Sipenmaru.. Jika dia gagal pada tahun itu, dia masih bisa mengulangi tahun berikutnya.

Zaman telah berubah. Sistem penerimaan mahasiswa baru pun berubah. PMDK ekslusif hanya milik para murid yang memiliki ranking tinggi di sekolah. Selain itu, masih ada proses berikutnya: tawar menawar berapa jumlah uang yang akan dibayarkan oleh orang tua calon mahasiswa. Konon bahkan tiap-tiap fakultas telah memiliki jumlah minimal dimana orang tua murid diharapkan tidak menawar di bawah itu. Misal: di UGM untuk fakultas kedokteran, orang tua calon mahasiswa harus menyiapkan uang sejumlah minimal 80 juta rupiah, jumlah paling tinggi di antara fakultas-fakultas lain karena sampai sekarang fakultas kedokteran tetap merupakan jurusan yang terfavorit. (Hal ini berdasarkan wawancara yang kulakukan dengan seorang siswa di lembaga tempatku mengajar.)

Untuk jalur PMDK ini masing-masing PTN mengelolanya sendiri-sendiri. Demikian juga UM (Ujian Masuk). UGM yang merupakan PTN pelopor pelaksana UM ini, tidaklah “semata duitan” PTN lain. Jika di PTN lain, pertimbangan utama diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa melalui UM adalah jumlah uang sumbangan, sedangkan hasil tes tidak terlalu mempengaruhi, di UGM, jika hasil tes benar-benar bagus, sumbangan nol pun tetap bisa diterima. (Hal ini berdasarkan surat pembaca di Suara Merdeka 19 Juni 2007).

SPMB merupakan jalur tanpa sejumlah uang sumbangan tertentu yang harus dibayarkan oleh orang tua calon mahasiswa. Meskipun begitu, nampaknya kepopuleran SPMB semakin memudar karena para calon mahasiswa yang tidak begitu pede apakah mereka akan mampu menembusnya, mengingat masing-masing PTN telah mampu menjaring sejumlah calon mahasiswa melalui jalur PMDK dan UM, sehingga PTN hanya akan menerima sedikit jumlah calon mahasiswa, hanya untuk menutup kekurangan jumlah kursi yang ditawarkan. Selain itu, peminat SPMB jauh lebih tinggi dibandingkan jalur UM yang membuat persaingan amat ketat. Banyak siswa di lembaga tempatku mengajar yang menunjukkan ketidakpedeannya mengikuti SPMB karena ketatnya persaingan ini. SPMB hanya merupakan alternatif terakhir jika ternyata mereka tidak lulus UM.

Mengetahui perubahan jalur penerimaan calon mahasiswa di universitas negeri ini sangatlah penting bagiku, mengingat dua tahun lagi Angie akan berada di posisi itu.

Time does fly!!!

PT56 13.40 210607

Memilih Sekolah 1

Tahun ajaran 2006/2007 akan segera usai. Para orang tua mulai disibukken mencari sekolah buat anak-anaknya. Yang lulus TK, sibuk mencari SD, yang lulus SD, sibuk mencari SMP, yang lulus SMP, sibuk mencari SMA, yang lulus SMA, sebagian telah lulus Ujian Masuk yang telah diselenggarakan oleh beberapa universitas (misal UGM dan Undip), yang belum berharap-harap cemas menunggu SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Menurutku, para orang tua yang keuangannya pas-pasan, atau yah .. berlebih sedikit, akan berharap anaknya diterima di Universitas Negeri karena selain mutu yang tidak begitu mengecewakan, SPP juga tidaklah sememberatkan seperti universitas swasta dengan mutu yang lumayan bagus.

Tahun ini aku tidak disibukkan kegiatan mencari sekolah karena tahun lalulah aku sibuk menimbang-nimbang SMA mana yang akan dimasuki oleh Angie. Alhamdulillah Angie diterima di sekolah impianku (dan juga impiannya, SMA N 3 Semarang). Namun ada seorang rekan kerjaku yang anaknya akan masuk SD tahun ini. Hampir tiap hari tatkala kita berbincang di kantor, tak bosan-bosannya dia bercerita tentang TK tempat anaknya bersekolah yang mata duitan dan tidak memperhatikan mutu.

Dulu dia pernah bilang bahwa baginya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, demi pembentukan sifat dan mental seseorang, orang tua harus (dengan catatan jikalau mampu) menyekolahkan anaknya di TK yang bermutu dan agamis, karena pendidikan TK lah yang akan menjadi dasar bagi seseorang. Itu sebabnya dua tahun yang lalu dia memasukkan anaknya ke sebuah TK Islam yang lumayan terpandang di Semarang, yang terletak tepat di pusat kota Semarang. Biaya masuk dan SPP bulanan yang lumayan mahal (bagi kantong seorang guru, bukan seorang pengusaha atau pegawai kantoran kelas atas) tidak menghalanginya asal anaknya mendapatkan pendidikan dasar yang, well, diharapkannya bermutu dan agamis.

Namun, apakah dia mendapatkan apa yang dia harapkan dan impikan?

“Masak sekolah Islam kok tidak mengajari murid-muridnya mengaji?” komplainnya satu kali.

Memang sangatlah mengherankan, meskipun kemampuan untuk mengaji ini menurutku tidak bisa orang tua mempasrahkannya kepada pihak sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Waktu Angie masih duduk di bangku TK, aku telah memperkenalkannya dengan huruf-huruf Arab dengan mengajarinya membaca QIRAATI atau yang sejenis itu yang kita (di Indonesia) kenal sebagai IQRA. Sehingga ketika di sekolah Angie belajar membaca huruf Arab dari guru-gurunya, Angie tak lagi merasa asing.

Kebetulan waktu itu Angie kumasukkan ke TK Islam, yang masih termasuk kategori sekolah baru didirikan di tahun 1995 itu. Ada dua alasan kuat mengapa Angie kumasukkan di sekolah itu dan tidak di TK Islam yang sudah terkenal yang terletak di pusat kota Semarang itu. Alasan pertama: karena masih sekolah baru, biaya masuk dan SPP bulanan tentu tidak semahal di TK Islam yang telah terkenal tersebut. Alasan kedua: sekolah baru ini terletak dekat dengan rumah, sekitar 300m.

Tatkala Angie duduk di bangku TK, belajar membaca huruf Arab termasuk salah satu pelajaran wajib di sekolah. Sedangkan di TK Islam terkenal dimana temanku menyekolahkan anak sulungnya, membaca huruf Arab merupakan kegiatan ekstra kurikuler. Sekolah mengundang guru mengaji. Satu orang guru mengaji akan mengajari sekelompok anak, dan orang tua anak-anak itu harus iuran untuk membayar guru mengaji tersebut.

Salah satu contoh komersil sekolah swasta menurutku. Istilah yang dipakai adalah “Sekolah membantu para orang tua mencarikan guru mengaji untuk anak-anaknya.” Istilah lainnya, sekolah memiliki bisnis sampingan. Menurutku. Juga menurut temanku itu.

Tatkala aku bertanya apakah orang tua murid lain juga mengeluhkan hal yang sama dengannya, temanku bilang, “Nampaknya tidak. Mereka semua orang kaya yang uangnya berlebih. Tentu mereka tidak keberatan mengeluarkan uang tambahan tiap bulan untuk itu.” BACA => bagi orang miskin jangan bermimpi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta mahal karena memimpikan pendidikan yang bermutu untuk anak-anaknya.

Komplain lain lagi dari temanku adalah tidak adanya kurikulum yang jelas di sekolah. Hal ini dia simpulkan dari jawaban sang guru kelas, “Ya kita lihat saja nanti Pak...” tatkala temanku bertanya kepadanya, “Outputnya nanti diharapkan anak-anak bisa mencapai apa/melakukan apa di akhir semester?”

Selain itu tidak adanya kerjasama antar guru kelas untuk melakukan satu kegiatan setiap hari. Ada empat kelas dengan empat guru yang berbeda. Di satu kelas yang gurunya kreatif menciptakan kegiatan tertentu pada hari-hari tertentu, para murid di kelas itupun akan ikut kreatif belajar melakukan ini itu. Di tiga kelas lain mungkin saja tidak melakukan apa-apa kecuali melanjutkan aktifitas yang belum selesai di hari-hari sebelumnya. Ketika temanku bertanya kepada anaknya, “Kok hari ini kamu menggambar pemandangan lagi?” anaknya menjawab, “Kemarin belum selesai. Ya hari ini dilanjutkan.” Jawaban yang menunjukkan tidak adanya tujuan yang jelas apa yang diharapkan dari anak-anak. Mungkin para guru akan merasa senang tatkala anak-anak belum selesai melakukan satu kegiatan di satu hari sehingga keesokan hari sang guru tak perlu repot mempersiapkan kegiatan apa yang akan dilakukan di kelas.

Kecenderungan sekolah “memanfaatkan” para orang tua yang kebetulan kaya (BACA è memiliki mobil) juga terlihat dari beberapa kegiatan yang mengharuskan anak-anak keluar sekolah. Beberapa kali pihak sekolah memberikan alasan, “Karena mobil sekolah tidak ber-AC” atau “Mobil sekolah sedang rusak” untuk kemudian meminta para orang tua murid untuk meminjamkan mobilnya untuk mengangkut anak-anak ke satu tempat, misal: museum.

Jika memang kegiatan keluar sekolah ini telah menjadi agenda rutin dari pihak sekolah, dan masuk dalam kurikulum, seharusnya sekolah selalu siap dengan armada angkutan yang akan membawa anak-anak ke lokasi tersebut.

Puncak kekecewaan temanku adalah tatkala acara perpisahan/pelepasan kemarin. Setiap anak dimintai iuran Rp. 100.000,00. Dengan jumlah uang yang cukup besar ini temanku mengharapkan paling tidak konsumsi yang pantas untuk orang tua murid dan para murid. Namun ternyata tidak. Yang dia dapati hanyalah snack sekedarnya. “Kemana uang yang Rp. 100.000,00 itu?” tanya temanku pada para orang tua murid lain.

“Oh, uang itu dipakai untuk membuat seragam baru para guru agar mereka memakai seragam baru di hari perpisahan ini. Juga untuk memberikan kenang-kenangan kepada para guru, masing-masing guru menerima cincin emas sebesar 2 gram. Dan hal ini telah berlaku selama bertahun-tahun.”

Dan, sekali lagi, bagi para orang tua yang kebanyakan orang kaya, tak satupun komplain. Hanya temanku yang mengeluh.

Satu peringatan bagi orang tua yang tidak memiliki uang berlebih, telitilah sebelum memilih sekolah untuk anak-anak.

PT56 12.42 210607

Friday, June 15, 2007

DESKTOP

MY DESKTOP
Aku membeli desktop tercintaku (maklum cuma satu, huehehehe ...) some time in June 1004, tatkala aku mendapatkan uang untuk penelitian tesis. (Thanks to BPPS dan UGM sehingga impianku untuk memiliki desktop pribadi tercapai. J) Waktu itu (dari tempat tinggalku yang terletak di Bulan—akronim yang biasa kupakai untuk menyebutnya—di Semarang) aku akses internet pula menggunakan telkomnet instant. Beasiswa BPPS yang bagiku jumlahnya lumayan telah memungkinkanku untuk membayar tagihan telepon yang tentu membengkak karena penggunaan internet.
Aku pindah ke Yogya untuk lebih berkonsentrasi ke tesis bulan April 2005. kabel internet yang menghubungkan komputer dengan telepon tidak kubawa serta kerena tentu saja aku tak yakin apakah akan diperbolehkan menggunakan telepon kos untuk keperluan pribadi. Meskipun kalau dipikir-pikir (cuma berhenti di angan-angan doang nih LOL) temana-teman kosku mungkin tidak terlalu keberatan asal internet bisa dipakai bersama. J Satu hal yang agak mustahil karena my being aloof, ngumpet di kamar melulu. Mana mungkin aku akan menyukai ide now and again teman-teman kos main ke kamarku berjam-jam untuk ngenet.
Selama tinggal di Yogya menulis tesis sampai aku lulus kuliah bulan Januari 2006, aku lumayan sering wira-wiri ke warnet—media bagiku untuk berinteraksi dengan khalayak luas, karena di kos aku adalah seorang individualis, dan seorang recluse. Bukannya sombong atau selfish atau apa, tapi karena kalau aku bisa menjalin hubungan dekat dengan seorang penghuni kos lain, bakal kegiatan nulis tesis terganggu, dikarenakan hobby chit chat. So, untuk menghindarinya, aku lebih memilih mengurung dir di kamar. Dan jika ingin terinteraksi degan dunia luar, warnet lah jawabannya, menjumpai beberapa teman maya di chat room. Atau ke kos Julie maupun Asih, teman kuliah yang asik kuajak berbincang, diskusi, plus curhat.
Selama itu aku belum menggunakan flash disk untuk menyimpan data, masih dengan tradisional menggunakan floppy disk. Lumayan banyak data yang kudownload dari internet untuk tesis yang berarti desktop ku berresiko terkena virus jika data yang kudownload dari internet yang kusimpan di floppy disk mengandung virus. Di desktop aku tidak punya antivirus. Btw, waktu itu aku masih lebih gaptek dibandingkan sekarang. LOL. Ngeliat bentuk flash disk aja belum pernah. LOL. LOL. (Thanks to my Abang yang telah memperkenalkanku dengan media flash disk. J)
Ternyata toh desktopku aman-aman saja, tak pernah sekalipun terganggu virus.
Aku balik ke Semarang and decided to live with my mom at PT56 in Januari 2006.
Sampai beberapa bulan kemudian desktopku tetap aman, meskipun aku tetap melanjutkan aktifitasku berselancar ria di dunia maya. Sampai satu hari beberapa bulan lalu, adikku menyarankan demi keamanan desktop, aku memasang antivirus. (waktu itu komputernya terserang brontok.) Berdasarkan sarannya, aku menggunakan avg antivirus. Dan semenjak itu, justru desktop kesayanganku malah terkena virus now and again, lebih sering, dan sering lagi. :( :(
HERAN KAN???
LL TBL 10.00 130607

V I R U S

Virus menyerang komputerku. :(
What does that mean?
1. Aktifitasku yang berkenaan dengan komputer akan sangat terganggu. :(
2. Tidak mampu mengekspresikan diriku dalam bentuk tulisan (karena media yang kupakai diganggu oleh virus sehingga unusable L), berarti depressing moment bagiku. Depressing yang kadang-kadang menurutku setara dengan patah hati karena ditinggalkan kekasih hati tempat mencurahkan segala rasa. LOL.
Bayangkan tatkala kamu tak mampu mengekspresikan dirimu, semua blocked up inside. To some extent, i believe it can lead someone to insanity. Cerita THE YELLOW WALLPAPER yang memberiku ide ini, selain juga my own life experience.
3. Acara bersih-bersih kamar harus digiatkan lagi. Tengsin berat ajalah kalo ada tamu masuk kamar (baca è TAMU = teknisi komputer) dan suasana kamarku kayak kapal pecah. Hahahahaha ...
What does it mean?
Berarti ada hikmah tersembunyi di balik komputer yang terserang virus, yakni aku beberes dan bersih-bersih kamar. Wakakakaka ...
LL TBL 09.30 130607

Saturday, June 09, 2007

My Literature Class

“To get an A in this subject is easy,” I usually say this to my students in some classes of mine; such as Poetry Analysis Class because I recognize the tendency of many students not to like the subject although they majored in English Department. Some other subjects that are considered frightening by my students are Prose and Drama Analysis Classes, Introduction to Literature, and Methodology of Literary Research.

“Tell us how Ma’am,” one student asked me in the beginning of this semester.

“Read all the material I ask you to and get involved in the discussion in the classroom actively.” I answered.

“How about attendance in the class, Ma’am, is it necessary? Well you know, most of us are employees so that we often get office duties that will make us absent.” He continued asking.

“Well, actually for me your attendance in class is not really important. However, if you often skip classes, how can you get involved in the discussion? How can you get thorough understanding of the material we discuss in class?” I asked the class back.

The students just smiled.

****

Frankly I often get disappointed with my students’ ignorance or laziness to read the material. This semester before the mid-test, we discussed TRAGEDY, and I asked my students to read OEDIPUS THE KING for one example of classical tragedies, and TRIFLES for one example of modern tragedies.

This evening was the last (third) meeting to discuss LYSISTRATA, one example of classical comedies. Due to the laziness of the students, we needed three meetings to discuss this comedy written by Aristophanes although it was relatively much shorter than OEDIPUS THE KING. Well, after greeting the students, reviewing what we discussed last week—about how Lysistrata convinced her Athenian and Spartan folks to agree with her idea to stop the war between Athens and Spartan—I gave the students one question to generate the discussion, “How did the sex-strike work?”

The class was quiet for almost 15 minutes. All of the students were busy reading, busy trying to find in which part of the drama they would find the answer of my question. It means they hadn’t finished reading the material before coming to class.

When the class was idle like that, I suddenly remember when I said, “To get an A is easy in my class.” How will they get an A if they are lazy to read the material? Moreover to get actively involved in the discussion?

And I was broken-hearted.

PT56 22.07 070607

070607


 

070607 is a lovely number, isn’t it? You can read it as 7 June 2007.

And for me today is a lovely day too. Guess why? The fifth gift from my only Abang arrived this afternoon: two cute earphones, one for me and the other one is for Angie. Mine is white because my MP4 player is also white, and Angie’s is black because hers is black too. My Abang knows that Angie sometimes envies me when he sends me something so he also bought a new earphone for Angie. J

And as usual, when the gift from him came to me, I always felt like to be the happiest creature in the world, LOL, because his gift always makes me feel like to have everything.

Some weeks ago, out of the blue Abang sent me a message, “Belum sempet buka email, masih sibuk dgn kerjaan. Saya liat ada headset kecil yang cocok utk MP4 kamu dan bagus suaranya, nanti saya coba beliin.”

And I quickly replied, “Duhai Abangku yang super baik hati, aku mau!!!!!!!!” LOL.

FYI, the original earphone of my MP4 player had been in trouble for some weeks but I didn’t tell him. That’s why I was wondering how he could know that I need a new one? Did I come to his dream begging him a new earphone? Hahahaha … (I never thought that our telepathy is that good! LOL.)

In fact at that time I read that offer as his apology to me coz when he arrived in his hometown last April, he was so busy that he made me feel ignored. LOL. (“Beneran ga Bang?” huehehehehe …)

After going back to the country where he lives now, he was even busier. I myself was busy with my blogging business so that I seldom went online at the time to visit our RUANG RINDU, Yahoo Messenger. LOL. Therefore when one day, around two weeks ago, when I went online in my morning, greeted him at YM, he sounded happy. Aku tengarai dia sedang sibuk di kantor, jenuh dengan segala macam urusan yang datang bertubi-tubi, trus datanglah sang HUMMING BIRD yang biasa dia jailin, LOL, so keluar deh jailnya. Wakakakaka … I didn’t plan to stay long that morning, only to download his email, (karena sesuatu dan lain hal yang tak jelas apa, LOL, emailnya yang telah kudownload malam sebelumnya lenyap dimakan rayap flash disk, alias virus LOL) but karena kejailannya I stayed longer. LOL. He invited me to view his web cam (dia memang pede abis, ga kayak aku yang suka malu-malu tapi kadang-kadang malu-maluin. Huehehehehe …) and in that occasion, he showed me the earphones he bought for me. He showed two, black and white. Since he didn’t tell me yet that he also bought another for Angie, I didn’t understand. Then he said, “Yang putih buatmu, yang hitam buat Angie.”

“Oh Abang juga beli buat Angie? Aduh, Abang baik banget.”

(Pujian yang udah basi ya Bang? Huehehehehe …)

That afternoon, when picking up Angie from school, I told her that I had a chat with Abang, and he showed me the earphone via web cam. Instead of showing happy facial expression, Angie manyun. “Mama enak!!!” komplainnya.

“Lah, headset yang dia kirim beberapa minggu lalu dipake Angie melulu? Karena ukurannya kebesaran buat MP4 player Mama.”

“Tapi itu kan ukurannya besar Ma? Angie juga mau yang mungil gitu, yang kalau masuk telinga, ga bikin telinga sakit,” rengek Angie.

Maksud hati aku pengen memberi Angie surprise, entar aja kalau kirimannya datang, dia baru tahu. But ngeliat bibirnya yang manyun begitu, huehehehe …, ga tahan aku not to tell her the truth.

“Don’t worry honey, he also bought a new earphone for you. Ok?”

Dan seketika wajah Angie langsung cerah. LOL. Secerah sinar mentari yang membakar Semarang siang hari itu.

Going back to what happened this afternoon.

I directly tried the new earphone for my MP4 player. Wow, he is right, the sound is very great. It made me want to listen to music all the time from the MP4 player. LOL.

And when Angie went home from school, looking at me listening to the MP4 player in our shared bedroom, she directly concluded that the earphones had arrived. (FYI, at home, I usually listen to music from the playlist in the desktop or the cutie, and not from the MP4 player, kecuali waktu pertama kali datang dulu bulan November 2006, tidur aja yang meninabobokkanku ya musik dari MP. LOL.)

Her face was radiant, showing her happiness. But then she said, “Kalau di rumah, ndengerin MP pake headset aja. Earphone dipake kalo pas keluar rumah. Asik kan? Ga usah ngiri Ma, MP Mama kan terlalu mungil untuk dipakein headset?” hahahahaha …

Abang, thanks and thanks and thanks and thanks and thanks … (till million times). LOL.

LL 1904 070607

Sunday, June 03, 2007

Kodrat???

Mengomentari artikel yang berjudul “Dilema Gerakan Perempuan” yang dimuat surat kabar Suara Merdeka 18 April 2007 halaman 21.

Ada dua poin utama yang ingin kukomentari, yakni mengapa gerakan kesetaraan jender dikatakan baru dimulai pada abad ke 19, dan bahwa mendidik anak secara eksklusif merupakan tugas perempuan
Ali Anshori sebagai penulis artikel tersebut mengemukakan bahwa perjuangan perempuan untuk kesetaraan jender dimulai pada abad ke 19. Sebenarnya kalau mau merunut lebih jauh lagi, tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh kaum perempuan untuk kesetaraan telah dimulai jauh dari abad ke 19. Contoh, Margaret Cavendish (1623-1674) yang tulisannya dikagumi oleh Virginia Woolf, terutama yang berjudul, “Female Orations” (Gilbert & Gubar halaman 72-73), Mary Astell (1666-1731) dengan tulisannya yang berjudul “A Serious Proposal to the Ladies” serta Mary Woolstonecraft (1759-1797) yang sangat terkenal berkat bukunya yang berjudul “A Vindication of the Rights of Woman”. Ketiga judul tulisan tersebut berisikan himbauan maupun ajakan kepada kaum perempuan untuk meyakini bahwa mereka setara dengan kaum laki-laki.
Meskipun begitu, gerakan kesetaraan jender memang mulai “mengkristal” di abad 19 ketika pertama kali dilaksanakan KTT perempuan pertama pada tanggal 19 Juli 1848 di Seneca Falls, New York, Amerika Serikat. KTT ini dimotori oleh Elizabeth Cady Stanton, ysng di kemudian hari menulis “The Woman’s Bible” untuk mengkritik bias jender dalam Tradisi Kristen Yahudi.
Revolusi Industri yang merambah dataran Eropa mulai pertengahan abad 18 dan abad 19 di Amerika memang telah mengubah kehidupan masyarakat kedua benua tersebut. Dengan semakin banyaknya didirikan pabrik, pergeseran ekonomi terjadi. Jika semula keluarga-keluarga berfokus kepada industri rumah tangga maupun bercocok tanam, kaum laki-laki mulai membanjiri pabrik-pabrik. Jika semula laki-laki dan perempuan bahu membahu bekerja mengelola industri rumah tangga maupun bercocok tanam bersama-sama, yang berarti pula mendidik anak-anak secara bersama-sama, karena keduanya tinggal di rumah, Revolusi Industri tiba-tiba menghasilkan gaya hidup baru, laki-laki keluar rumah dan perempuan tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak.
Ahli sejarah Barbara Welter menyebutkan bahwa Revolusi Industri telah mengubah kaum laki-laki Amerika menjadi kaum yang materialistik, dan tidak lagi relijius seperti nenek moyang mereka di awal abad 17. Merasa bersalah karena telah mengubah the New World (baca Amerika) dari tanah suci yang berisikan orang-orang terpilih oleh Tuhan menjadi tempat untuk mencari uang semata, demi urusan duniawi semata, kaum laki-laki Amerika bekerja sama dengan Gereja “menciptakan” domain baru bagi perempuan, yakni untuk tetap tinggal di rumah, dan tidak ikut berbondong-bondong memasuki dunia kerja di luar rumah, karena mereka memiliki “tugas suci” yakni mendidik anak-anak agar menjadi generasi baru yang selalu ingat Tuhan, yang relijius. ((http://pinzler.com/ushistory/cultwo.html) Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gaya hidup “baru” ini hanya berlaku di kalangan masyarakat golongan menengah ke atas. Bagi masyarakat kalangan bawah, maupun orang-orang Amerika Afrika (yang masih terbelenggu perbudakan), tentu saja hal ini tidak berlaku, karena perempuan-perempuan di golongan ini harus tetap bekerja demi kelangsungan hidup. Sehingga, mereka tidak mampu ikut serta mengikuti gaya hidup “baru” ini.
Melihat perkembangan dampak Revolusi Industri di abad 19 terhadap perempuan inilah yang melatarbelakangi mengapa kaum perempuan Amerika pada waktu itu bersatu dan memulai gerakan kesetaraan jender secara solid, dan tidak secara individual melalui tulisan-tulisan yang belum tentu dipublikasikan secara umum mengingat pada waktu itu, profesi penulis sangat disakralkan sebagai milik laki-laki. Conduct Literature (Sastra Tingkah Laku) yang banyak dipublikasikan pada waktu itu untuk “membentuk” kaum perempuan menjadi makhluk domestik menyebutkan bahwa perempuan hanya boleh membaca Injil dan bukan yang lain-lain. (http://muse.jhu.edu/demo/legacy/v017/17.2ash_worth.html) Perempuan dilarang membaca novel, apalagi menulis novel? Kalaupun ada novel hasil tulisan seorang perempuan (contoh “Uncle Tom’s Cabin” yang ditulis oleh Harriet Beecher Stowe) tidak jauh dari Conduct Literature yang sedang marak pada waktu itu. Ini pun, jumlahnya jauh di bawah tulisan yang dihasilkan oleh kaum laki-laki.
Poin yang kedua bahwa mendidik anak merupakan tugas ekslusif perempuan, demi membentuk generasi mendatang. Hal ini tidak bisa kita pisahkan dari apa yang didengung-dengungkan di Amerika pada abad ke 19 melalui ikut campur Gereja dan banyaknya publikasi Conduct Literature.
Kalau kita berbicara mengenai dikotomi tugas laki-laki dan perempuan, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari perbincangan apa yang disebut sebagai kodrat. Apakah yang disebut kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang terberi oleh Tuhan, yang bersifat tidak berubah, baik di zaman dahulu maupun sekarang, di belahan dunia yang satu maupun di belahan dunia yang lain. Di luar itu, yang misalnya merupakan satu kebiasaan di satu daerah di satu waktu, sedangkan di daerah lain di waktu yang lain hal ini tidak ditemui maka tidak bisa disebut sebagai kodrat.
Apakah kodrat perempuan?
1. Menstruasi. Tubuh perempuan diciptakan oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga tatkala seorang perempuan memasuki masa akil balik, dia akan mengalami hal ini.
2. Mengandung. Setelah seorang perempuan menstruasi, maka tubuhnya pun siap menghasilkan sel telur yang jika dibuahi oleh sperma akan membuat seorang perempuan mengandung.
Ada satu catatan penting di sini, atas kuasa dan izin Tuhan semata lah seorang perempuan akan bisa mengandung. Tuhan juga yang telah menggariskan bahwa meskipun mengalami menstruasi, tidak semua perempuan bisa mengandung. Hal ini merupakan rahasia Tuhan.
3. Melahirkan dan menyusui. Konsekuensi dari mengandung tentu saja adalah melahirkan. Tubuh perempuan telah dikondisikan oleh Tuhan bahwa setelah melahirkan payudaranya akan mengeluarkan air susu yang bisa diberikan kepada bayi yang baru saja dilahirkan.
Ada juga satu catatan yang penting ditambahkan di sini, yakni tidak semua perempuan yang telah melahirkan mampu mengeluarkan air susu. Konon, Nabi Muhammad SAW pun tidak disusui oleh ibunya sendiri, Aminah.
Keempat hal yang tersebut di atas berlaku kepada semua perempuan, di zaman kapan pun dan dimana pun dia berada. Dengan catatan mungkin hanya berhenti di nomor satu saja jika seorang perempuan ditakdirkan oleh Tuhan untuk tidak pernah mengandung. Keempat hal ini tidak mungkin berlaku kepada laki-laki karena tubuh laki-laki yang diciptakan untuk tidak mungkin menstruasi, sehingga tidak mungkin melakukan hal yang tercatat di nomor dua dan tiga.
Lantas, dimanakah letak mendidik anak? Untuk mendidik anak, seorang perempuan tidak membutuhkan kandungan, vagina, maupun payudara sehingga praktis mendidik anak tidak bisa disebut sebagai salah satu kodrat perempuan. Pandangan bahwa mendidik anak merupakan tugas eksklusif perempuan adalah hasil konstruksi masyarakat tertentu, di zaman tertentu. Ketika zaman berubah, apakah hasil konstruksi ini tidak mungkin berubah? Tentu saja jawabannya adalah “sangat mungkin berubah”.
Kembali ke tulisan Ali Anshori. Dalam salah satu paragraf Ali menuliskan “... perempuan bisa menuntut haknya untuk menjadi wanita karir, sembari tetap melaksanakan tugas dalam lingkup rumah tangga. Persoalan justru muncul ketika hak bisa berdiri tegak, sementara kewajiban terabaikan.”
Kewajiban yang manakah yang dimaksud? Menyusui anak tidaklah sama dengan mendidik anak. Apakah orang pun akan mengatakan bahwa mengandung pun merupakan kewajiban seorang perempuan? Di zaman dahulu tatkala belum ditemukan alat kontrasepsi ataupun cara untuk menghindari kehamilan, bisa jadi seorang perempuan melahirkan satu anak setiap tahun setelah dia menikah, bahkan mungkin sampai dia meninggal, atau katakanlah sampai dia menopouse. Di zaman sekarang? Dengan ditemukannya berbagai macam alat kontrasepsi, seorang perempuan bisa memilih apakah dia akan melahirkan satu anak setiap tahun setelah dia menikah (dengan catatan Tuhan mengizinkannya hamil), ataukah dia akan mengaturnya setiap lima tahun sekali, hal ini merupakan hak prerogatif perempuan.
Selain itu, dengan semakin terbukanya pintu karir bagi perempuan, tidak menutup kemungkinan untuk adanya “profesi” baru bagi laki-laki yakni bapak rumah tangga. Seorang perempuan yang karirnya cukup bagus, dan butuh dukungan penuh dari suami, bisa jadi kemudian keduanya memutuskan untuk sang suami yang tinggal di rumah, sehingga mendidik anak lebih cenderung menjadi tugas suami yang lebih sering berada di rumah. Adakah yang salah dalam hal ini? Jika hal ini adalah keputusan yang diambil berdua, tentu saja tidak ada yang salah. Berlawanan dengan kodrat? Kodrat yang mana?
PT56 06.55 220407


Mengomentari artikel yang berjudul “Perempuan Makhluk Sekunder?” yang dimuat surat kabar Suara Merdeka tanggal 21 April 2007 halaman 6.
Dalam salah satu paragraf artikel ini, Martin Moentadhim menulis “Konon, versi bahasa Inggris buku itu (baca è Habis Gelap Terbitlah Terang tulisan RA Kartini) sampai ke daratan AS. Ibu Negara AS—kalau tidak salah—Nyonya Franklin Delano Roosevelt, the First Lady, memidatokannya di mana-mana. lahirlah kemudian apa yang disebut gerakan Womans Liberation.”
Lahirnya gerakan Woman’s Liberation di Amerika Serikat tidaklah semudah seperti apa yang ditulis oleh Martin Moentadhim, bahwa Ibu Negara Amerika Serikat pada waktu itu terinspirasi oleh buku RA Kartini. Saya tidak bermaksud untuk mengecilkan nama RA Kartini yang entah bagaimana ceritanya dipilih oleh penguasa Orde Baru sebagai ikon pejuang perempuan dibandingkan perempuan-perempuan pahlawan lain, seperti Dewi Sartika dari Jawa Barat, Cut Nyak Dhien dari Aceh, dan lain-lain.
Gerakan perempuan di Amerika bisa dikatakan mulai dilaksanakan dengan solid oleh kaum perempuan di sana semenjak dilaksanakannya Konvensi Perempuan pertama di Seneca Falls, New York pada tanggal 19 Juli 1848. Elizabeth Cady Stanton menulis draft The Declaration of Sentiments sebagai ganti The Declaration of Independence (1776) yang menyatakan “All men are created equal”. Kata “men” dulu dianggap juga mewakili “women” jika kata “men” itu bermakna jamak. Namun kenyataannya kata “men” dalam The Declaration of Independence memang hanya dimaksudkan untuk “white men”; lebih lengkapnya lagi “white Anglo Saxon Protestant men”, karena dalam prakteknya, kesetaraan itu hanya untuk laki-laki berkulit putih yang beragama Anglo Saxon Protestant. Yang diluar itu, tentu saja masih mengalami diskriminasi, termasuk kaum perempuan, dan kaum kulit hitam yang masih terbelenggu perbudakan.
Stanton berpendapat bahwa seharusnya kalimat itu diubah menjadi “All men and women are created equal.”
Satu hal yang diperjuangkan oleh kaum pejuang perempuan fase pertama ini, yakni hak memilih dalam Pemilihan Umum. Para perempuan pada waktu itu berpikir bahwa jika mereka memiliki hak untuk memilih, mereka setara dengan laki-laki. Sebagian perempuan lain yang berpendapat bahwa jika perempuan mampu mandiri secara finansial akan menjadikannya setara dengan laki-laki masih kalah gaungnya dibandingkan yang memperjuangkan hak memilih.
Lewat perjuangan yang panjang, selain juga berjuang untuk kemerdekaan para kaum kulit hitam yang terbelenggu perbudakan, kaum perempuan Amerika akhirnya memperoleh hak pilih pada tahun 1920 di bawah pemerintahan Presiden Woodrow Wilson (memerintah dalam kurun waktu 1913-1921).
Setelah perjuangan mereka terpenuhi—memperoleh hak pilih dalam Pemilihan Umum—gerakan kaum perempuan gelombang pertama ini mulai menurun. Selain itu juga kebanyakan para pejuang perempuan tersebut telah mencapai usia yang uzur dan belum mendapatkan ganti. http://college.hmco.com/history/readerscomp/rcah/html/ah_030901_ifromitsorig.htm
Setelah perang dunia kedua, 1950-an merupakan domestic decade (dekade domestikisasi) kaum perempuan. Budaya massa yang muncul pada waktu itu lebih menekankan peran domestik perempuan, mengolok-olok wanita karir, merendahkan kaum ibu yang bekerja, dan melabeli kaum feminis sebagai kaum penyimpang.
Namun begitu, pada dekade yang sama kampanye pedidikan tinggi bagi kaum perempuan juga meningkat dengan pesat. Jumlah kaum perempuan yang melanjutkan kuliah tambah banyak. Di antara mereka inilah muncul Betty Friedan yang menuliskan pengalamannya sebagai seorang perempuan terpelajar yang “dikungkung” tembok rumah tangga (dan juga banyak perempuan yang lain yang dia wawancara sebelum menuangkannya dalam buku yang berjudul “A Feminine Mystique” (1963).
Selain itu, kebutuhan konsumerisme yang semakin meningkat, dan dengan semakin meluasnya kehadiran “kaum kelas menengah” dalam mencukupi kehidupannya, banyak keluarga yang akhirnya memiliki dua pencari nafkah—baik suami maupun istri. Dari sinilah muncul kebutuhan akan perlakuan yang sama kepada pekerja laki-laki maupun perempuan, termasuk di antaranya adalah gaji dan kesempatan untuk meningkatkan karir yang sama.
Bersama-sama dengan para pejuang kulit hitam untuk menghapus segregasi antara kulit putih dan kulit hitam dengan adanya Jim Crow Law, para feminis muda ini menyuarakan women’s liberation.
PT56 12.05 240407