Search

Friday, March 30, 2007

TIMUR dan BARAT

Seorang teman, lelaki Korea, pergi ke Jepang. Setelah urusannya selesai, tentu saja ia ingin merasakan pemandian umum yang eksotis itu. Kolam air panas di musim dingin, alam terbuka. Tata lampu dan uap yang mengepul akan membikin efek filter-lembut pada mata kita sehingga bokong yang bopeng tak terlalu kentara. Ia pergi ke sebuah ujung yang menyediakan pemandian campur, telanjang, nyemplung, lalu berharap ada gadis-gadis yang berbuat sama. Setelah menunggu lama, muncul sepasang muda-mudi. Tapi ceweknya pakai handuk. Setelah pasangan itu mentas, yang datang hanya sekelompok wanita tua. Tengsinlah teman itu. Alih-alih dia memandang-mandang tubuh muda cewek, malah tubuhnya yang dipandang-pandang nenek-nenek. Tak ada lagi anak-anak muda yang mau nyemplung ke pemandian campur.

Saya bertanya pada teman Jepang dimana ada pemandian campur sebab saya juga pingin coba. Sekarang sulit, katanya. Ia bercerita tentang masa kecilnya. Dulu di pedesaan, ketika belum ada tenaga gas, rumah tangga biasa membikin kolam mandi air panas secara giliran dengan bara. Barangkali karena sulitnya menggodok air dalam koyah, pneuduk desa mandi bersama-sama di tempat yang kena giliran. Ketika itu telnjang bersama-sama bukan hal yang dosa.

Kini orang Jepang telah memakan juga buah kuldi brengsek itu. Seperti Adam dan Hawa yang diceritakan Kitab Kejadian, mereka jadi malu dengan ketelanjangan mereka. Nuditas kehilangan kepolosan, ketelanjangan menjadi senantiasa bermaksa seksual. Nah, dari mana mereka menemukan pohon pengetahuan itu?

Saya kira buah kuldi itu diimpor dari Barat.

Kita juga mengimpor buah-buahan itu dari Barat, sebagaimana ceri dan plum atau korma, lewat agama-agama monoteis dan modernitas. Apa yang dilihat Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tentang kita? Antara lain seperti Bali dalam album juru potret jerman Gregor Krause yang memesona Miguel Covarrubias. Timur yang eksotis, perempuan mandi di pancuran. The last paradise, firdaus yang terakhir. Sebab di situlah orang masih boleh telanjang dengan polos.

Namun, Timur juga seperti dalam buku pegangan nyonya-nyonya Belanda yang dibuat dokter kolonial di akhir tahun 1800-an. Buku itu mengajaarkan agar jangan sekali-sekali anak-anak Belanda dibiarkan tidur dengan babunya. Sebab babu menidurkan si bocah dengan “cara-cara yang sulit dipercaya ..., yang akan merusak masa depan si anak dan yang tak dapat dituliskan di sini.” Anak-anak Belanda akan kehilangan keinosenannya. Maksudnya, babu akan membuat si anak suka merangsang organ seksnya pada usia amat dini dan itu berbahaya. Ketika itu, saat Eropa masih bau victorian, para kolonialis itu percaya bahwa masturbasi bukan kecenderungan anak Eropa, tapi diajarkan oleh para inlander, atau karena udara tropis. Anak-anak pribumi dianggap mengenal seks sejak dini. Itulah pengaruh jahat Timur terhadap moral Eropa.

Aneh ya? Sekarang kitalah yang suka mengutuk-ngutuk Barat karena moral seksnya yang rendah. Banyak orang yang menyederhanakan Barat sebatas film biru. Orang yang percaya bahwa seks ekstramarital itu tidak jahat, seperti saya, sering dituduh kebarat-baratan. Padahal, dulu Eropa yang menganggap itu ketimur-timuran. Seandainya saya sekarang jalan-jalan tanpa beha, tak akan ada yang memaki, “Ketimur-timuran lu!” Padahal beha itu kita impor dari luar negeri. Kalau saya goler-goler tanpa baju di pantai pasti saya dituduh tiru-tiru londo, padahal bule-bule di Kuta itulah yang semula tiru-tiru kita. Sisa-sisa keeksotisan Timur barangkali ada pada satu teman lelaki Indonesia yang tinggal di Washington DC. Dia jalan-jalan dengan celana bokser, yang adalah celana dalam bagi orang Amrik. Tapi lelaki Indonesia punya celana dalam yang mini sehingga celana kathok begitu terhitung celana pendek. Atau, rombongan Sardono W Kusumo yang menari hanuman dengan celana dalam termal. Mereka bisa menemukan jejak celana dalam dari potongan di bawah pusar, tapi bagi para penari itu adalah baju senam.

Jadi, adakah esensi Timur dan Barat jika kita telah berubah dan mereka juga telah berubah secara berbalikan. Siapakah kita, siapakah mereka? Sejarah menunjukkan bahwa tak ada kita atau mereka yang abadi.

Modernitas abad ke-19 dan ke-20, yang di dalamnya jejak-jejak monoteisme disekularisasi, telah mencabut kepolosan kolam mandi di Jepang, juga pikiran kita. Apa boleh buat. Kita—kalau ada “kita”—selalu berubah-ubah secara aneh. jika para feminis di Amerika Serikat telah memberontak terhadap korset dan beha dengan gerakan anti-bra, di Indonesia beha pernah menjadi lambang kemajuan. Dan kini beha punya dua maksa yang nampak kontradiktif. Untuk menutupi sekaligus untuk mennjolkan.

Dari SI PARASIT LAJANG, halm107-110

Oleh Ayu Utami

Jakarta: Gagas Media, 2003

Saturday, March 24, 2007

Poligami = Sunnah?

Artikel dari sebuah milis. Well, ide yang ditulis tidak beda jauh dari apa yang kutulis dari Polygamy = Sunnah Rasul? yang dalam bahasa Inggris itu. :) It shows that Faqihudin Abdul Kodir and I are sailing in the same boat. :)

Benarkah Poligami Sunah?
Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.

Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan social saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati,
kecuali Aisyah binti bu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûhal-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimana disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir
Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas
Syariah Universitas Damaskus, Suriah

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia

http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C-25%7CP Januari 26, 2005

Senin, 01 November 2004
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia
Oleh KH. Husein Muhammad

Surat-kabar harian "al Alam allslami" terbitan 16 Agustus 2004 memuat sebuah artikel menarik meskipun sangat klasik. Artikel yang ditulis Dr Khalid Sa'ad al Najjar tersebut berjudul `Baraa-ah Jumhur al Fugaha min al,Qaul bi Jawa.Z Tawliyah al Mar-ah .. Manshab al Qadha" (mayoritas ahli fiqh tidak bertanggungjawab atas keabsahan perempuan memangku jabatan hakim pengadilan). Judul ini jelas menggambarkan kepada kita betapa pandangan fiqh klasik tentang otoritas perempuan masih tetap ingin dipertahankan atau dikokohkan sampai hari ini. Argumen-argumen yang dikemukakan penulis masih tetap argumen-argumen lama. Satu hal yang menarik dari argumen penulis adalah penolakannya yang keras terhadap logika perubahan zaman dan tempat atas hukum-hukum Allah. Katanya : "Demikianlah mereka (kaum sekularis, red) berpendapat (tentang logika perubahan sosial yang mengharuskan perubahan hukum). Pandangan ini merupakan cara dan metode mereka untuk mengubah syari'at dan agama Allah suatu pandangan yang menjadikan hukum-hukum Allah hanya untuk masa terbatas. Ini merupakan bentuk perubahan hukum syara' atas dasar hawa nafsu, kebodohan dan tanpa pengetahuan. Yang benar adalah bahwa hukum-hukum Allah berlaku sepanjang masa dan di semua tempat, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Apa yang dihalalkan Allah adalah tetap halal sampai hari kiamat dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram sampai hari kiamat.
Pemikiran konservatif ini kemudian menjadi landasan bagi seluruh persoalan yang menyangkut relasi laki-laki: dan perempuan. Dalil utamanya adalah surah al Nisa, 34 dengan keyakinan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan dari sisi al `aql 1va al ray wa ghai ihiman min muahhalat al hukm wa al riasah', (akal, nalar dan kemampuan-kemampuan mengatur dan memimpin) adalah sesuatu yang tetap tidak bisa berubah. Mengutip pendapat Syeikh Abnd Aziz bin Baz, penulis selanjutnya mengatakan bahwa ketidaklayakan perempuan menempati posisi pengambil keputusan publik tersebut menjadikan dasar pula `bagi ketidaklayakannya menempati posisi pengambil keputusan pada wilayah domestik bi al awlawi(secara apriori).
Demikianlah pandangan seorang sarjana muslim sampai hari ini. Dr Khalid dalam hal ini tidak sendirian, karena ini juga masih menjadi pandangan mainstream masyarakat muslim yang lain di seluruh dunia Islam. Pandangan fiqh tersebut menunjukkan dengan jelas bagaimana kebudayaan teks (hadharah an hash) mengutip istilah Nasr Hamid Abu Zaid, dengan pemaknaannya yang sangat literal masih menjadi acuan keberagamaan sebagian besar masyarakat muslim sampai hari ini. Teks-teks keagamaan (nushush diniyah) dalam budaya teks, dianggap sebagai kebenaran yang tidak dapat dikalahkan oleh apapun. Realitas sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung di dunia modern hari ini sama sekali tidak menjadi dasar pertimbangan untuk menganalisis teks. Bahkan seluruh realitas harus diukur baik-buruk dan benar-salahnya berdasarkan bunyi literal teks tersebut. Meski dunia telah berubah, bunyi literal teks haruslah tetap dipertahankan sebagai kebenaran selama-lamanya. Pada sisi lain logika-logika rasional juga seakan-akan (kalau tidak benar-benar) dinafikan atau hanya menjadi pertimbangan sekunder belaka.
Mempertahankan cara berfikir seperti Dr. Khalid di atas sama saja artinya dengan mengingkari kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat negara bangsa dewasa ini dan mengingkari perubahan-perubahan alamiah yang niscaya. Maka akan sulit dihindari jika kemudian hukum Islam dalam banyak pandangan masyarakat dikesankan sebagai hukum. yang eksklusif. Keadaan ini pada gilirannya bisa mengalami proses sejarah di mana hukum Islam teralienasi dari kehidupan masyarakatnya. Teks-teks hukum tersebut hanya ada dalam tulisan dan pikiran, sementara sejarah akan berjalan menurut logikanya sendiri yang terus bergulir dan tidak akan berhenti.
Satu hal yang perlu dikemukakan adalah bahwa apa yang dinyatakan sebagai hukum Islam dalam realitasnya sekarang' sesungguhnya tidak lain dari fiqh itu sendiri. Apa yang diamalkan adalah keputusan-keputusan fiqh. Dan fiqh sebagaimana dirumuskan para ahli fiqh adalah keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan para ahli fiqh (mujtahid) setelah melalui analisis dan penelitian mendalam terhadap teks-teks keagamaan otoritatif yaitu al Qur-an dan hadits Nabi (al sunnah) dan dasar-dasar, yang lain melalui cara-cara (metodologi) tertentu yang dikenal dengan ushul fiqh. Dan karena fiqh merupakan produk nalar ijtihad, maka keberadaannya memungkinkan bagi sejumlah interpretasi dan berbeda-beda. Fiqh pada sisi lain adalah pendapat-pendapat pribadi. Ia tidak mengikat masyarakat secara nasional, meskipun mengikat secara moral dan personal, kecuali ketika sudah menjadi hukum positif menjadi, menjadi undang-undang atau menjadi 'qanun' atau atas dasar keputusan pengadilan.
Fiqh al Ahwal al Syakhshiyyah
Hukum Keluarga Islam dewasa ini populer disebut Fiqh al Ahwal al Syakhshiyyah. Ini adalah istilah baru dan tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqh klasik. Di dalamnya dibicarakan hukum-hukum pernikahan, perceraian, rujuk waris dan hal-hal lain yang terkait. Membaca warisan intelektual muslim (kitab-kitab klasik) yang menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan dalam sikap, pandangan dan tingkahlaku keberagamaan masyarakat muslim, tampak jelas bahwa masalah-masalah perempuan dalam al ahwal al yakhshiyyah diposisikan sebagai makhluk subordinat (makhluk kelas dua) di bawah laki-laki. Penempatan perempuan dalam posisi ini merupakan bagian dari sistem sosial- budaya patriarki. Dalam sistem seperti ini semua keputusan final berkaitan dengan relasi laki-laki-perempuan baik dalam wilayah kerja domestik maupun publik/politik berada di tangan laki-laki. Dan karena relasi yang tidak setara ini, maka tingkat bergaining (daya tawar) perempuan dalam hal ini secara hukum sangat lemah kalau tidak boleh dikatakan tidak berdaya.
Perkawinan
Di dalam masalah perkawinan, bangunan budaya patriarkhis ini tampak nyata.Ini misalnya terlihat dalam definisi perkawinan yang dirumuskan oleh mayoritas ulama fiqh terkemuka. Dari sejumlah besar pandangan para ahli fiqh empat mazhab, Abd al Rahman Al Jaziri kemudian menyimpulkan bahwa nikah adalah akad yang memberikan hak (keabsahan) kepada laki-laki untuk memanfaatkan tubuh perempuan demi kenikmatan seksualnya.(al fqh `ala mazahib al arba’ah, IV/2-4). Al Jaziri mengatakan ini merupakan pengertian yang disepakati para ulama meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda. Hal yang perlu dicatat dari definisi tersebut adalah bahwa perkawinan tampak hanya dimaksudkan sebagai wahana kenikmatan seksual (min haitsu al taladzdzudz/rekreasi) , atau paling tidak ia (rekreasi, kesenangan seksual) sebagai tujuan utama. Tujuan lain sebagaimana disebutkan al Qur-an bahwa perkawinan dimaksudkan untuk sebuah kehidupan bersama yang sehat dan penuh cinta-kasih tidak dikemukakan secara eksplisit.(Q.S. al Rum, 21). Ayat al Qur-an ini agaknya merupakan kritik Tuhan terhadap perkawinan yang semata-mata untuk tujuan rekreasi sebagaimana tradisi masyarakat selama itu “Inna fi dzalika la aayaat li Qaum Yatafakkarun”" (Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir).
Hilangnya perkawinan sebagai interaksi yang secara sosial memiliki makna kemanusiaan, cinta dan kebersamaan akan dapat memunculkan sejumlah masalah. Lebih dari itu adalah bahwa penikmatan seksual tersebut tampak hanya diberikan kepada laki-laki (suami) bukan kepada perempuan. Mazhab Syafi'i yang terkuat menyatakan : "al ma'qud 'alaib huwa al intifa' bi al mar'ah dung al rajul" Hal yang sama juga dikemukakan golongan Hanafiyah : "inna al haq fi al tamattu' li al rajul la li al mar'ah" Pandangan-pandangan ini membawa konsekuensi bahwa laki-laki dapat memaksa isterinya dan tidak sebaliknya untuk berhubungan seksual. Kalaupun ada kewajiban maka is hanya sekali saja dan dalam rangka menjaga moralitas isteri (anna Ii al rajul anyujbira al mar'ah `ala al istimta' biha bi khilaftba.fa laisa laha jabruhu illa marrab wahidab wayajibu `alaibi diyanatan). (Ibid).
Definisi nikah tersebut tampaknya merupakan rumusan konseptual dari prinsip otoritas dan superioritas laki-laki yang dibakukan atau dinormatifkan. Hal ini tentu saja akan membawa konsekuensi-konsekuensi lain secara lebih luas dalam relasi perempuan dan laki-laki, dan lebih khusus dalam hubungan seksual dan hak-hak reproduksi perempuan yang boleh dikatakan sebagai hubungan yang timpang. Laki-laki (suami) memiliki hak utama atas hubungan seksual kapan saja dan di mana saja dan perempuan (isteri) wajib mengabulkannya tanpa boleh menolak. Tetapi hak ini tidak berlaku bagi perempuan (isteri). Hasrat seksual perempuan hanya dapat terpenuhi sepanjang suami mengabulkannya. Kewajiban suami melayani kebutuhan seksual isterinya dipandang sebagai kewajiban moral (diyanatan) belaka dan bukan kewajiban hukum (lahukman). Paling tidak ini adalah pendapat mazhab Syafi'i yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Para ulama dalam hal ini memang menekankan pentingnya suami melayani keinginan seksual isterinya sepanjang tidak ada halangan (udzur). Di samping didasarkan atas argumen teks yang ditafsirkan secara bias gender, pandangan ini pada sisi lain dilandasi pula oleh asumsi-asumsi dominan yang menyatakan bahwa gairah seksual laki-laki jauh' lebih tinggi daripada gairah seksual perempuan, Ibnu al Qayyim al Jauziyah menyatakan bahwa kekuatan (energi) dan gaira''-i libido yang diberikan Tuhan kepada laki adalah lebih banyak atau lebih besar daripada yang diberikan kepada perempuan. (I'lam al Muwaggi'in 11/105). Syeikh Athiyah Shaqar, ulama besar al Azhar kontemporer, sambil menyetujui pendapat ini mengatakan : "Saya berpendapat bahwa dalam banyak keadaan, tidak untuk semua keadaan, laki-laki lebih membutuhkan perempuan daripada sebaliknya".(Mausu'ah al Usrab tabta Ri'ayah al Isla. 11/9). Argumen ini tampak sangat bias gender dan merupakan definisi yang dibuat laki-laki. Hal ini karena kebutuhan seks pada dasarnya merupakan kebutuhan yang sangat manusiawi dan hakiki dalam kehidupan seorang manusia. baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan kita menyaksikan terdapat banyak perempuan yang memiliki hasrat seksual lebih tinggi dari laki-laki. Akan tetapi konstruksi sosial yang patriarkis telah membenamkan hasrat-hasrat seksual yang tersembunyi dari perempuan, karena itu lalu tidak muncul kepermukaan.
Ada hal lain yang lebih penting tetapi kurang mendapatkan apresiasi masyarakat ketika perempuan tidak memiliki hak untuk menolak hubungan seksual. Yaitu bahwa hal ini bisa melahirkan sistem reproduksi perempuan yang tidak sehat, misalnya, manakala dia terpaksa (ditakdirkan) hamil dan melahirkan dalam jarak waktu yang pendek dan tanpa pengaturan yang baik. Dibanding dengan laki-laki, sistem reproduksi perempuan jauh lebih rentan terutama ketika hamil. Data terakhir menunjukkan bahwa risiko kematian pada perempuan hamil di Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara. Saat ini kematian ibu hamil di Indonesia mencapai 425 per 100.000 kelahiran hidup.(Ford Foundation-YLKI, ' Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, 89).
Atas dasar itu semua, maka perlu ada rumusan nikah yang lain yang lebih memberikan kepada perempuan memperoleh hak-hak seksualnya secara seimbang. Ini harus dimulai dari upaya kita merevisi definisi perkawinan ke arah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini pendapat minoritas Syafi'iyah yang menyatakan bahwa pernikahan merupakan akad ibahab dan bukan akad tamlik seharusnya dapat diapresiasi (Al Jaziri, Al Fiqh, IV/2).
Perceraian
Dalam masalah putusnya hubungan perkawinan (perceraian, talak) keputusan untuk bercerai atau tidak sangat tergantung kepada laki-laki (suami). Suami dapat menjatuhkan kata-kata cerai kepada isterinya kapan saja dan di mana saja. Argumen yang dikemukakan untuk masalah ini tetap menggunakan argumen tafsir ayat tentang "keunggulan laki-laki" (afdbaliyah al rajul) dan kekuasaan ekonomi ; laki-laki rasional dan penuh pertimbangan, sementara perempuan cepat emosional, laki-laki menafkahi, perempuan dinafkahi, laki-laki membayar maskawin - dan kebutuhan ekonomi lainnya, perempuan menerima semuanya, dan seterusnya. Ini benar-benar bias gender. Jika relasi suami isteri adalah relasi privacy, maka perlindungan hukum bagi perempuan menjadi sangat sulit dan tertutup. Dengan begitu, keselamatan perempuan dari tindakan suami untuk suatu perceraian sangat tergantung pada tingkat moralitas suaminya yang tentu saja sangat subyektif. Dengan bahasa yang provokatif ; nasib perempuan memang berada di tangan laki-laki.
Bagaimana jika perempuan (isteri) ingin bercerai dari suaminya karena alasan-alasan yang dibenarkan? Para ahli fiqh menyatakan bahwa perempuan dapat mengajukan. perceraian melalui apa yang disebut "khulu". la adalah perceraian yang diajukan isteri kepada suami; dengan `iwadh/fidyah (uang pengganti atau tebusan) kepada suami. Dalam bahasa yang umum `khulu' sering dikatakan sebagai gugatan cerai. Keputusan kata cerai dalam hal ini tetap diucapkan oleh suami. Dengan demikian perbedaan antara talak dengan khulu' hanya terjadi dalam proses, sementara keputusan tetap berada di tangan laki-laki (suami).
Dalam rangka menghindarkan terjadinya perceraian sepihak yang tidak terkontrol, subyektif dan sering merugikan perempuan, sejumlah negara Islam telah melakukan pembaharuan hukum melalui proses perceraian di pengadilan termasuk dalam hal ini adalah rumusan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia. KHI ini berbunyi : `la yaga' al thalaq illa amam al qadhi ".(perceraian hanya jatuh setelah melalui proses di pengadilan). Walaupun demikian, tradisi perceraian sepihak (oleh suami) sebagaimana ketentuan dalam kitab-kitab filth masih terus berlangsung di masyarakat. Kitab ensiklopedi fiqh kontemporer "al Fiqh al Islami wa Adillatuhu" karya Wahbah al Zuhaili, misalnya, bahkan tetap mempertahankan keabsahan ini sambil menolak keputusan perceraian di tangan lembaga peradilan. "Ini tidak ada gunanya dan bertentangan dengan syara"'. Wahbah selanjutnya menyatakan bahwa perceraian oleh laki-laki tetap sah tanpa harus menunggu keputusan hakim. Proses perceraian di pengadilan menurutnya justeru akan membongkar atau menelanjangi rahasia rumah tangga di hadapan publik (Wahbah, al.Figh, IX/6878). Pandangan dan dengan argumen yang sama sebelumnya telah dikemukakan oleh Dr. Musthafa al Siba'i. (Baca Siba'i, Al Mar-ah baina al Figh wa al Qanun, 128). Argumen terakhir ini memperlihatkan bahwa wilayah domestik adalah wilayah privat. yang tidak bisa diintervensi pihak luar, bahkan pihak negara, meski di dalamnya mengandung kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Baik pernikahan maupun perceraian menurut kitab-kitab fiqh dinyatakan sah sepanjang memenuhi persyaratan dan rukun-rukunnya. Pencatatan perkawinan di kantor urusan agama (KUA) bukanlah merupakan kewajiban dan bukan pula bagian dari rukun perkawinan. Pertanggungjawaban dan pembuktian hukum atas berlangsungnya perkawinan sudah dianggap cukup memadai melalui kesaksian dua orang yang "adil" (jujur). Dalam hal perceraian keadaannya jauh lebih sederhana lagi yaitu bukan hanya tidak diperlukan pencatatan bahkan juga tidak wajib adanya kesaksian. Kesaksian dapat dipenuhi sebagai anjuran belaka (mustahab). Ketentuan-ketentuan fiqh seperti itu sesungguhnya dapat difahami ketika kejujuran sudah merupakan tradisi masyarakat. Dengan kata lain is bisa diterima hanya untuk masyarakat yang menjungjung tinggi kejujuran sedemikian rupa sehingga kesaksian dua orang yang jujur dipercaya sebagai dasar pembuktian perkawinan. Konteks sosial-budaya masyarakat hari ini tampaknya telah berubah. Kesaksian dua orang tidak lagi cukup sebagai dasar pembuktian yang kuat dan menentukan. Dalam sistem hukum modern di manapun pembuktian selain keterangan saksi diperlukan pembuktian tertulis. Maka ketika pencatatan oleh negara tidak dilakukan, manipulasi pernikahan sangat mungkin terjadi. Dan dalam keadaan seperti ini perempuan (isteri) seringkali menjadi korban berikut akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa hukum perkawinan dan perceraian yang berjalan di Indonesia menganut dua sistem hukum; yaitu menurut UU No. 1/1974 berikut KHI dan menurut kitab-kitab fiqh. Sebagian masyarakat menyebut yang pertama sebagai hukum negara atau dirgama atau sekuler, sementara yang kedua disebut sebagai hukum agama. Pembedaan ini memiliki akibat psikologis masing-masing yang pertama dianggap profan sedangkan yang kedua sakral. Kenyatan ini menunjukkan pula bahwa UU perkawinan belum diakui sebagai hukum agatna.
Waris
Problem yang sama juga berlaku dalam.masalah hukum waris. Sampai hari ini hukum waris sebagaimana yang tertulis di dalam kitab-kitab fiqh klasik masih tetap belum mengalami perubahan. Pembagian waris antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1. Upaya ke arah reformasi, reinterpretasi dan kontekstualisasi hukum waris seperti yang pernah dikemukakan oleh Munawir Syadzali telah menimbulkan kontroversi dan resistensi yang besar dan kritik yang sangat tajam dari sebagian besar masyarakat. Mereka belum bisa menerima reformasi tersebut karena dipandang menentang teks-teks (nushush) gath'i (pasti). Nasb Qathi' adalah teks yang memiliki makna yang jelas dan tegas atau teks yang hanya mengandung satu makna. Ketentuan pembagian waris termasuk dalam katagori ini, karena dikemukakan dalam bahasa matematis. Teks-teks hukum seperti ini menurut para ahli hukum Islam tidak boleh dilakukan interpretasi. Sebuah kaedah fiqh menyatakan : La ijtihah ma'a al nash "(tidak ada nalar bersama nash) atau `La majaala li al Ijtihad fi wurud al Nash al Qath i" (tidak (boleh) ada bidang nalar ketika ada nash yang pasti).
Dengan mengesampingkan perdebatan mengenai teori gathi'-zhanni yang mungkin bisa dilakukan, satu hal yang perlu mendapat perhatian kita adalah mengenai konteks sosio-kultural ketika hukum tersebut diberlakukan. Secara pasti kita dapat mengatakan bahwa keputusan al Qur-an memberi waris kepada perempuan merupakan langkah transformatif yang sangat progresif atas tradisi yang berlangsung ketika itu. Tradisi dan budaya Arab pra Islam seperti diketahui bukan hanya tidak memberikan hak apa-apa kepada perempuan bahkan juga sangat membenci makhluk jenis kelamin ini. Islam melalui ayat-ayat waris yang diturunkan secara tidak langsung mengkritik tradisi tersebut. Islam menghargai perempuan sebagai makhluk yang memiliki hak-hak otonom baik: atas dirinya sendiri maupun atas harta benda (properti) atau hak milik. Pada sisi lain secara sosio-kultural pula fungsi-fungsi ekonomi keluarga diurus dan dilakukan oleh laki-laki sepenuhnya. Dengan kata lain seluruh kebutuhan ekonomi isteri dan keluarga menjadi tanggungjawab laki-laki (suami/ayah). Laki-laki juga menanggung beban kewajiban mahar (mas kawin), sandang pangan dan papan (tempat tinggal) isterinya, serta mut'ah jika terjadi perceraian. Sementara isteri berfungsi melayani kebutuhan seksual suami dan mengurus rumah tangga. Fungsi ekonomis keluarga seperti ini dikemukakan secara jelas dalam surah al N sa 34 di atas. Dalam konstruksi sosial-ekonomi seperti ini, maka pembagian waris 2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan adalah keputusan yang proporsional, adil.
Perkembangan sejarah sosial-ekonomi ternyata tidak berjalan liner. Realitas sosial sekarang menunjukkan perkembangan yang semakin luas di mana fungsi ekonomi keluarga tidak hanya menjadi monopoli laki-laki atau suami, melainkan juga isteri. Para isteri tidak hanya duduk di rumah dan melayani kebutuhan seks suami, melainkan~ juga bergulat dengan usaha dan kerja-kerja ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Penghasilan ekonomi isteri juga tidak sekedar menjadi sumber ekonorni tambahan atau sampingan tetapi sudah menjadi sumber pokok atau utama. Bahkan kini semakin banyak terjadi penghasilan isteri justeru menjadi tumpuan ekonomi keluarga termasuk untuk suaminya. Dengan begitu isteri punya beban ganda (double burden). Jadi adalah jelas bahwa telah terjadi perubahan besar antara kebudayaan lama dengan kebudayaan baru, antara bangunan sosial abad-abad yang lampau dengan bangunan sosial abad sekarang. Maka menarik seluruh hukum. lama untuk diterapkan ke dalam struktur sosial baru menjadi tidak proporsional. Inilah sebabnya mengapa reinterpretasi hukum waris dirasa sangat mendesak dilakukan agar prinsip keadilan dapat ditegakkan. Kehendak melakukan perubahan terhadap pembagian waris sesungguhnya pernah dilakukan oleh Syeikh Arsyad Banjar sebagaimana dituangkan dalam karya besarnya `Sabil al Muhtadin ". Dia memperkenalkan pembagian waris berdasarkan adat perpantangan. Harta waris dibagi dua terlebih dahulu antara suami dan isteri. Dari hasil pembagian ini kemudian baru dibagikan kepada ahli waris. Keputusan fiqh Syeikh Arsyad ini dilatarbelakangi oleh konteks sosial-ekonorni masyarakatnya dimana sumber ekonomi keluarga diperoleh dari hasil kerja bersama antara suami dan isteri baik melalui usaha perdagangan maupun perikanan.(Abdurrahman Wahid, majalah Pesantren, 2 vol. 11/1985).
Mengomentari pandangan Syeikh Arsyad ini, Abdurrahman Wahid mengatakan : "Kontekstualisasi karena terpenuhinya beberapa persyaratan seperti adanya kepemilikan bersama atas harta dalam kasus yang disebutkan di atas, menunjuk dengan jelas betapa besarnya peluang bagi perumusan kembali hukum agama dalam fiqh, sebuah situasi yang mau tidak mau harus diakui sangat kompleks dalam rumusannya, tetapi yang justru mampu menjawab tantangan-tantangan zaman".(ibid, him. 4).
Di samping Munawir Syadzali dan Abdurrahman Wahid, K.H. Ibrahim Hosen ahli fiqh terkemuka Indonesia, juga menyetujui perlunya kontekstualisasi hukum waris ini. Ibrahim mengatakan : "Tetapi fiqh yang lebih sesuai dengan keadaan Indonesia memang diperlukan seperti nampak pada soal perkawinan, waris, zakat yang cukup mendesak. Misalnya saja dalam perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan (Ibid, him. 46).
Pembaruan Hukum Keluarga Islam: kebutuhan mendesak
Dari uraian serba singkat di atas tampak jelas bahwa pembaruan hukum keluarga Islam merupakan langkah yang perlu dilakukan. Tidak ada alasan lain dari langkah ini kecuali didasarkan atas keinginan yang kuat untuk memperlihatkan watak hukum Islam sebagai hukum yang dinamis dan dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah tersebut dalam konteks sosial yang berubah, tanpa mengabaikan prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip yarg dimaksud adalah tegaknya kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan manusia. Kemaslahatan dan keadilan disepakati para Ulama fiqh sebagai tujuan utama hukun Islam (magashid al syari'ah al Islamiyah).
Karya-karya fiqh klasik yang demikian kaya raya dan memuat beragam pandangan itu sesungguhnya memperlihatkan kepada kita bahwa pikiran-pikiran fiqh tersebut disampaikan di dalam rangka menjawab kasus-kasus yang terjadi didalam ruang dan waktunya masing-masing di bawah prinsip kemaslahatan sosial tersebut. Sulit difaharni bahwa fatwa-fatwa fiqh tersebut dimaksudkan oleh pengarangnya (para mujtahid) untuk diberlakukan di seluruh ruang dan sepanjang waktu. Saya menyepakati tesis Dr. Faruq Abu Zaid yang menyatakan bahwa pandangan figh para Imam Mazhab tidak lain kecuali merupakan refleksi sosial, budaya dan politik masing-masing.(Faruq, Al Syari'ah al Islamiyah baina al muhafribin wa al Mujaddidin). Oleh karena itu disadari sepenuhnya bahwa produk-produk fiqh yang dihasilkan para mujtahid adalah sesuatu yang paling baik, paling maslahat, kontekstual dan relevan untuk ruang dan waktunya sendiri-sendiri.
Keniscayaan perubahan hukum karesaa konteks sosial yang berubah, dalam sejarah pernah diberikan contohnya oleh Umar bin al Khattab untuk sejumlah kasus, termasuk terhadap teks yang jelas dan tegas, misalnya tentang al thalaq al tsalats (talak tiga). Demikian juga, para sahabat yang lain dan Imam Syafi'i melalui gaul gadim dan jadid nya. Perubahan hukum karena perubahan konteks sosial juga telah diberikan elaborasi secara cukup luas oleh Ibnu al Qayyim al Jauziyah, guru Ibnu Katsir dalam karya populernya "A 'lam al Muwaggi in” Dia membuat judul besar untuk uraian ini : `Taghayyur al Fatwa wa ikbtilafuha bi Hasab Taghayyur al Azminah wa al Amkinah wa al Ahwal wa al Niyyat wa al Awaid" (perubahan -fatwa dan perbedaannya didasarkan pada pertimbangan perubahan waktu, tempat, kondisi sosial, motivasi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat). Maka adalah sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat dimaknai sebagai merubah atau mengganti hukum-hukum Tuhan. Syeikh Muhammad Musthafa Syalabi dengan kritis menjawab persoalan ini. Dia mengatakan :"Perubahan hukum sama sekali bukan berarti pembatalan (terhadap hukum-hukum Tuhan). Adalah tidak mungkin bagi siapa saja betapapun kedudukannya dapat menyetujui pandangan tersebut. Perubahan hukum tersebut sejatinya terjadi karena kondisi sosial yang berubah dan karena kemaslahatannya yang berganti. Hukum-hukum yang dibangun atas dasar kemaslahatan akan tergantung atas ada atau tidak adanya kemaslahatan itu". (Syalabi, Ta'lil al Ahkam, 316). Apa yang terjadi adalah sebaliknya langkah-langkah perubahan tersebut justeru di dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip syari'ah dalam situasi-situasi yang berubah.
Syalabi lebih jauh berpandangan tentang kemungkinan perubahan atas hukum yang disepakati (ijma) manakala ia sudah tidak lagi sejalan dengan kemaslahatan umat. Katanya : "Saya menyetujui pendapat mereka bahwa memang tidak boleh merubah ijma' (konsensus) hanya ketika ijma' tersebut benar-benar nyata, disampaikan kepada kita 'melalui jalan yang benar terhadap suatu hukum yang kemaslahatannya tidak berubah sepanjang masa".(ibid 327). Pernyataan ini tentu dapat di pahami bahwa terhadap masalah-masalah yang kemaslahatannya bisa berubah-ubah" ijma' tidak selamanya dapat dipertahankan. Dan kita mengetahui dengan pasti bahwa masalah-masalah al ahwal al syakhshiyyah merupakan bagian dari masalah-masalah yang bisa berubah-ubah kemaslahatannya.
Terkait erat dengan kaidah hukum , ada sejumlah kaidah fiqh lain yang memberikan kemungkinan kepada kita untuk melakukan perubahan hukum. Antara lain; `Al Hukm yaduru ma'a illatihi wujudan wa`adaman " (hukum tergantung pada illatnya/logika rasional), Al Tsabit bi al Urf ka al Tsabit bi al Syar' (ketetapan. yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara') atau `Tasharruf al Imagm 'ala al Ra'yyah manuthun bi al mashahah" (kebijakan publik pemerintah harus didasarkan atas kemaslahatan masyarakat) dan lain-lain. Beberapa kaidah hukum ini dan masih ada sejumlah kaidah lain menunjukkan kepada kita bahwa teks-teks hukum klasik tidak semata-mata dipahami dari bunyi tekstualnya dan diberlakukan secara final melainkan perlu dianalisis melalui pikiran-pikiran rasional, konteks sosial-ekonomi dan politik yang mengitarinya kemudian menghubungkannya dengan kenyataan-kenyataan empiris kontemporer menyangkut aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik serta tradisi-tradisi baru lainnya.
Kini diakui atau tidak zaman telah berubah dalam bentuknya yang luar biasa. Tradisi-tradisi juga berubah. Fakta-fakta sosial menunjukkan bahwa kaum perempuan tidak lagi berperan dalam urusan-urusan domestik dan tidak juga sekedar mempunyai fungsi reproduksi; mengandung, menyusui, melahirkan dan mengasuh. Kaum perempuan.-juga dalam skala yang cukup besar telah terbukti memiliki peran-peran produksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Tingkat pendidikan dan intelektualitas mereka juga terbukti tidak selalu berada di bawah laki-laki. Sebagian dari mereka justeru melebihi laki-laki. Dengan begitu kita tidak bisa melakukan generalisasi bahwa tingkat dan potensi intelektual semua perempuan lebih rendah dari tingkat dan potensi intelaktual semua laki-laki. Demikian juga dengan kemampuan fisiknya. Generalisasi sama sekali tidak realistis. Di sinilah, maka reinterpretasi dan reformulasi fiqh dalam masalah-masalah hukum keluarga Islam termasuk dalam UU Perkawinan dan KHI perlu mendapatkan apresiasi yang serius sedemikian rupa sehingga kaum perempuan Indonesia mendapatkan hak-haknya secara adil dan dijalankan melalui proses-proses yang demokratis. Bukankah pilar utama hukum adalah keadilan?. Pembaruan Hukum Keluarga Islam dengan begitu perlu ditempuh melalui tiga arah ; sosio-kultural, struktural (peraturan perundang-undangan) dan politik.

Cirebon, 14 September 2004.
KH. Husein Muhammad adalah Board Of Director Rahima dan badan penasihat Fahmina Cirebon. Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam acara Diskusi dan Launching Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, yang diselenggaran oleh Pokja Pengarusutamaan Gender Depag, di Jakarta, 4 Oktober 2004

Diskusi RUU APP

Dari milis perempuan di http://groups.yahoo.com/group/perempuan

Transkrip talk show

Acara : Sahabat Perempuan
Tempat : Studio I Radio Suara Jombang FM
Tanggal : 30 Mei 2006
Waktu : 09.00 - 10.00 wib
Topik : Kontroversi RUU APP dalam Konteks Pluralisme Bangsa
Pembicara : 1. Drs.KH. Abdul Kholiq, SH,M.Hum (Ketua MUI Jombang)
2. Iva Cahyaningtyas (Kord. Advokasi WCC Jombang)
3. Aan Anshori (Kord. Divisi Kampanye ICDHRE Jombang/Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment)
Moderator : Fian

=====================================================================

Mod: Selamat pagi kawan, tema kita dalam diskusi pagi ini adalah 'Kontroversi RUU APP dalam Konteks Pluralisme Bangsa' , saya akan ke pak Kholiq dulu sebagai ketua MUI, bagaimana pandangan anda terhadap RUU ini? Apa yang menjadi sorotan anda terhadap RUU ini? Yang bukan hanya menjadi perbinvcangan tapi juga perpecahan di berbagai kalangan?.

MUI: Baik, dari MUI pusat sampai daerah sebenarnya sangat-sangat mendukung agar Ruu ini segera disyahkan. Sebab itu nantinya akan menjadi payung hukum. Namun apa boleh buat karena di Indoneseian ini dengan kebhinnekaannya, keragamannya sebagaimana yang tercantum dalam al Qur'an Inna kholaqnakum min dzakin wa untsa wa ja'alnaakum syu'uban wa qobaaila li ta'arofu Inna akromakum indallohi atqokum., Alloh swt menciptakan manusia laki-2 dan perempuan , bersuku-2 dan berbangsa, sebagaimana bhinneka tunggal ika, adalah untuk saling mengenal, saling menghargai dan menghormati. Tapi disana ada kata-2..inna akromaku 'indallohi atqokum..yang mulia dihadapan alloh adalah orang yang bertaqwa. Sebenarnya RUU ini kalau dicermati sebetulnya memberikan keleluasaan, artinya mengayomi menjadi payung hukum bagi kawan-2 perempuan. Jadi bukannya mendiskreditkan tapi justru memberikan payung hukum agar negara kita menjadi negara yang aman tentram, terkendali, kondusif dalam lindungan Alloh SWT. Itu yang mendasari kita.

Mod: Lantas apa yang menjadi masukan MUI dalm RUU ini?

MUI: Yang tidak diperbolehkan adalah menumbar auratnya di depan umum sehingga menimbulkan nafsu atau syahwat, itu yang paling penting. Kalau kita berpendapat sebelum disyahkan tentunya perlu dipertimbangkan daerah-2 seperti Bali, Papua.Jangan dianggap sama, artinya ada pengecualian bagi daerah-2 seperti itu. Dimana Bali sebagai tempat wisata dan masyarakat Papua masih memakai koteka seperti itu. Dan kalau kita boleh bicara, sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Gusdur di media beberapa waktu yang lalu. GD pernah menyampaikan bahwa sebenarnya Islam itu juga mengajarkan tentang porno. Bahkan katanya ada ayat yang mengajarkan tentang Porno bahkan maha porno. Di alqur'an itu ada ayat menyusui...khawlaini kamilaini....berarti disitu orang perempuan mengeluarkan teteknya kan. Juga ada ayat hunna libasullakum wa antum libasullahunna...perempuan menjadi pakaian bagi laki-2 dan begitu juga sebaliknya. Juga ada ayat lain, nisaaukum khartsullakum..fa'tukhartsakum anna syi'tum..perempuan itu adalah sawah ladangmu maka pergaulilan mereka sesenang kamu. RUU ini nantinya diharapkan bisa menjadi payung hukum yang paling tidak bisa mengayomi orang-orang perempuan, sebetulnya al qur'an itu luar biasa, terutama terhadap perempuan. Ada surat an Nisa' (perempuan,red), yang perlu dicatat Islam terhadap perempuan itu sangat menghormati, jadi menurut saya tidak ada arahan untuk mengecilkan perempuan. Rasululloh sudah mebuktikan itu, .

Mod: Kalau tadi bicara tentang pengecualian, MUI melihat pengecualiannya akan seperti apa? Karena kita ketahui banyak masyarakat pedesaan di sekitar kita, masih sering mandi di sungai secara bersama. Apakah akan ada pengecualian bagi mereka?

MUI: Ya, formatnya nanti biar dipikir oleh para pakar-2nya lah. Jadi yang dimaksud porno disini adalah kalau memang dipertontonkan di muka orang banyak tapi maaf-2 kalau seperti mandi di sungai, bali atau papua, itu perlu dikecualikan. Harapan kami dari MUI ketika RUU ini sudah menjadi UU, tujuan kami tidak ingin mendiskreditkan pihak-2 tertentu.

Mod: Oke, saya ke mas Aan, sebagai pihak yang kontra terhadap RUU ini. Gimana ini?

Aan : Secara substansi (penolakan terhadap pornografi,red) tidak ada yang berbeda dari paparan pak Kholiq tadi. Karena memang baik yang pro maupun yang kontra terhadap RUU ini ketemu dalam satu titik; yaitu sama-2 menolak adanya pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Hanya kemudian cara menjawabnya yang berbeda. Saya cenderung menolak RUU ini karena kalau kita baca pasal-per pasal itu ada pasal yang sama sekali tidak melakukan penghormaatan terhadap kebhinekaan dan keberagaman kita.

Mod : Contohnya?

Aan : Coba dilihat dalam pasal 25 RUU APP. 'Setiap orang dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual" Dalam penjelasannya, bagian tubuh tertentu yang sensual itu meliputi alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan baik yang kelihatan sebagian maupun seluruhnya. Intinya apa, implikasi dari ini akan sngat dahsyat. Saudara-2 kita di papua yang tudak mendapatkan pemerataan hasil pembangunan, dengan itu mungkin mereka memakai koteka, atau karena memang sudah budayanya, ini akan kena oleh RUU APP ini, juga tradisi-tradisi di sebagian wilayah Jomban, dimana kita seringkali kita menjumpai di desa-desa ada banyak perempuan yang hanya memakai BH sewaktu nyantai di lingkungannya. Saya sepakat dengan beliau ada pengecualian-2,tapi kan ya lucu kalau kita akan mendapati banyak sekali pengecualian untuk menghormati kebudayaan kita, lantas buat apa RUU itu dibuat. (Diskusi terpotong oleh telpon yang nyasar di jalur online radio,red)

Mod: Oke silahkan diteruskan mas Aan.

Aan : Jadi disitu titik berbeda kita. Saya berkali-kalingomong ke kawan-2 yang pro RUU, mbok yao RUU ini dibaca dulu, dikritisi implikasinya nanti seperti apa. Contoh lain yang akibat ditimbulkan dari pasal ini adalah ibu yang neteki anaknya di tempat dengan cara memperlihatkan sebagai payudara akan terkena pasal ini. Pertama dia berada di tempat umum bukan di ruang privat, kedua dia mempertontonkan sebagian payudaranya, itu sudah memenuhi unsur hukum yang mengharuskan terkena pasal itu. Dalam konteks warisan budaya bangsa kita, patung-patung atau relief yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu itu sebagai obyeknya, yang banyak kita jumpai di beberapa candi, ketika RUU ini disahkan harus dirobohkan dan dibongkar. Apakah implikasi ini juga dipikirkan. Kita ngomong hukum lho,

Mod: Ya sebenarnya titik tolaknya sama, menolak pornografi tapi kemudian jalan yang dipilih ini berbe, dan cukup mencolok tampaknya. Ada upaya penyeragaman budaya jika RUU ini diberlakukan. Apa MUI juga potensi penyeragaman ini?
Yang jelas sudah ada bocoran yang saya dapat, draft itu akan dirobah karena ada banyak pertimbangan-2. Jadi ketika didok awal Juli sudah banyak yang berubah karena dipertimbangkan betul. Yang penting ada kemaslahatan begitu lah, jika memang nantinya seperti yang diomongkan oleh mas Aan ya harus kita godok yang lebih baik lagi.
Aan: Ya.jangan didukung lah, Pak Kholiq. Kasihan dengan sodara-2 kita yang di Papua dan tempat lain
MUI: Tadi kan kita sudah kita muqoddimahi (diawali,red) bahwa harus ada pengecualian. Jika tidak, bagaimana itu orang-2 Papua, Bali dll. Makanya kita akhirnya menyerahkan kepada pansus bagaimana ini nanti lebih baiknya.
Aan: Dan saya mungkin bisa tambahkan lagi implikasinya, bukan hanya budaya saja. Saya yakin pak Kholiq orang pesantren yang punya banyak santri. Implikasi terhadap pesantren adalah beberapa kitab-kitab yang sudah umum dingajikan, terutama yang masuk dalam kategori kamasutra seperti Kitab al Nikah dan Qurrotul 'Uyun itu juga nggak boleh diajarkan karena berisi eksploitasi terhadap yang dilarang dalam RUU ini, lho ini kan kacau kalau gitu. Jadi atas nama RUU ini jika disahkan maka kitab-kitab yang selama ini sudah seattled ini harus diberangus dan tidak boleh dijual bebas dan tidak boleh dikaji secara sembarangan. Jadi siap-siap nggak boleh ngaji ini pada waktu bulan ramadhan nih pak ha..ha ini kan berbahaya
Mod: Oke kita terima telpon dulu...hallo..
Penelpon: Halo ini bu Catur, saya ingin menanggapi soal meneteki yan termasuk porno, saya ingi menginformasikan bahwa sudah ada BH yang ada lubang pas diputingnya sehingga seorang ibu tidak perlu memperlihatkan sebagia payudaranya, memang ada yang tidak puas jika belum mengeluarkan semuanya. Jadi bagaimana caranya agar membuat perempuan supaya mempunyai rasa malu (melakukan hal tersebut,red) agar supaya bisa lebih disembunyikan jika mau neteki.Tolong dijelaskan.

Mod: Terimakasih, mungkin bisa langsung ditanggapi.

MUI: Teima kasih, jadi nantinya kalau RUU ini disyahkan orang neteki ini harus disediakan ruang khusus seperti orang merokok di Jakarta. Bisa jadi seperti itu, sebab jika tidak, ini akan sulit. Saya pernah lihat ada laki-laki bertengkar dengan seorang perempuan yang neteki anaknya, kejadiannya di atas bis waktu itu. Ibu keberatan dengan asap rokok yang dihisap oleh laki-2 tersebut karena kebetulan dia disebelahnya. " Mas kasihan anak kecil saya (kena asap,red)' kata ibu itu. Dengan entengnya laki-laki itu menjawab ' Saya juga kasihan dengan 'wakil kepala' (penis,red) akibat melihat payudara ibu jadi tolong ditutupi itu'. Saya Cuma tertawa aja mendengarnya dari belakang.

Iva: Saya mungkin bisa tanggapi itu. Menyusui itu adalah bagian dari hak reproduksi bagi perempuan setelah mengandung dan melahirkan. Ketika RUU ini disahkan mungkin ada area khusus yang dibangun. Jadi tidak boleh menyusui kalau tidak ditempat itu. Jika dilanggar ini bisa termasuk kriminalisasi. Bayangkan, seorang ibu menyusui bayinya sendir malah dapat dipenjara. Hebat benar negara ini. Dari cerita pak Kholiq tadi sebenarnya RUU itu tidak pada perempuannya tapi pada pikiran porno yang ada diotak kepala masing-masing. Apa yang dilakukan ibu tersebut adalalah menjalankan hak reproduksinya, menyusui anaknya. Disisi lain justru dianggap pornoaksi.

Aan: betapa sia-sianya sebuah RUU ini jika hanya sibuk ngurusi persoalan ini...waste of time, waste of money. Kalau ujungnya cuma pengen bikin tempat khusus menyusui, dengan asumsi orang menyusui bisa memprovokasi birahi laki-2, ya mendingan dana pembahasan RUU ini aja langsung digunakan bangun itu. Tapi saya setuju dengan Iva, ada hal krusial yang musti dicermati, saya memelihat RUU ini dilatar belakangi oleh sebuah asumsi yang nggak bener, menganggap kebobrokan moral bangsa ini hanya disebabkan oleh kebejatan moralitas kaum perempuannya. Itu kan gak bener. Kita harus akui kebobrokan bangsa ini juga juga banyak dikontribusi oleh ulah para pemimpin yang nggak mempedulikan kesejahteraan warganya. Kalau kita menganggap perempuan sebagai setan lah, penggoda laki- dan segudang stereotype yang lain. Emang kita lahir bukan dari perempuan?! Atasnama mengagungkan perempuan makanya mereka harus direstriksi hak dan kebebasannya. Ini kan kacau. Demi agar supaya perempuan tidak memprovokasi libido laki-laki maka perempuan harus dikendalikan. Logika ini salah. Jika kita ketangkap karena mencuri sepeda motor, masak kita menolak ditahan dan minta agar sepeda motornya saja yang ditahan dengan tuduhaan memprovokasi kita untuk mencuri. Logika macam apa ini? Persoalan terbesar yang dihadapi bangsa ini adalah kebodohan kemiskinan. Akibat kemiskinan banyak orang yang tidak bisa hidup secara layak. Jangankan untuk membeli BH dengan teknologi seperti yang disampaikan bu Catur tadi sampaikan, untuk hidup layak minimal aja sudah susah. Apa ya ibu-2 yang tidak bisa membeli BH ini gara-gara nggak punya uang harus dihukum ketika sedang neteki. Saya membayangkan kenapa jadi ribet seperti ini?. Ada beberapa kebudayaan di negara kita yang menganggap memperlihatkan sebagian payudara itu nggak apa-2, bukan barang tabu. Dan itu harus kita hormati karena mereka punya standart masing-masing.Ada relativisme ukuran yang tidak bisa kita paksakan untuk sama. Nah RUU mau melakukan penyeragamaan terhadap nilai-nilai lokal ini. Itu jelas-2 menyalahi konsep (pluralitas) yang ada dalam alqur'an ya kan, pak? Waja'alnakum syu'uban wa qobaaila lita'arofu. Tuhan sendiri tidak mengandaikan dunia ini hanya ada satu suku. Makanya itu (penyeragamaan,red) nonsens. Persoalan moralitas itu tidak bisa dipisahkan dengan 2 persoalan besar tadi, kemiskinan dan kebodohan. Jika sepakat dengan hipotesis ini maka RUU ini tidak akan bisa menjawab problem moralitas. Disamping mungkin sudah menjadi budayanya, bisa jadi orang papua pakai koteka karena tidak mampu membeli pakaian layak akibat deraan pemiskinan struktural dari pusat meskipun kekayaan mereka sangat melimpah ruah. Apa ya adil kalau mereka ditangkap gara-2 pakai koteka?

Mod: saya bergeser dulu ke mbak Iva, bener nggak sih sasarannya tembaknya hanya perempuan seperti menyusui tadi? Kenapa tidak laki-laki yang harus dirubah?

Iva: Sebenarnya tadi sudah ada kesepahaman tentang bagaimana pornografi ini tidak ada di bumi kita, seperti itu.Tapi yang perlu dicatat sebelum ada RUU ini perempuan sejak dulu yang selalu dijadikan korbannya. Dimana dia terhimpit oleh kapitalisasi yang dilakukan oleh negara, disatu sisi dia akan terbentur dari sisi hukumnya juga ketika RUU ini disahkan. Inul misalnya sebagai pekerja seni yang juga mengais rejeki di ibukota misalnya harus dicekal oleh RUU ini. Apakah negara pernah memikirkan nasib keluarga yang bergantung dari pekerjaannya sekarang?.Terus bagaimana kita mengungkap RUU ini secara substansi akan mengorbankan perempuan, karena dari awal pornografi masih dimaknai bahwa yang menyebabkan adalah perempuan bukan bagaimana seorang itu menganggap itu pornografi atau tidak. Karena ada sebuah pemaknaan yang berbeda terkait pornografi dan itu terletak pada mindset individu bukan pada perempuannya.

Mod: Jadi sebenarnya WCC sendiri sepakat pornografi itu dilarang?

Iva: ya memang sepakat tapi caranya seperti apa? Kalau kita sering menganalogikan ini ada yang sakit panas tapi dikasih obat lain (bukan khusus obat panas,red).

Mod: jadi secara substansi apa yang seharusnya diatur oleh RUU ini sehingga tidak lagi merugikan perempuan?

Iva: Mungkin ada hal-2 yang bisa diungkap disini, terkaut bagaimana pronografi itu ada di media-media. Lantas siapa sih yang membuat itu?dalam budaya patriakhi, itu yang membuat adalah laki-2, jadi sebuah konstruk, saya rasa. Oleh karena perempuan harus tunduk dalam konstruk itu. Saya mendapati , dalam blue film, perempuan itu banyak lho yang menjadi korban trafficking, dia dipaksa untuk berbuat seperti itu. Jadi bukan dia yang menyodorkan diri untuk menjadi pemainnya.

Mod: Mas Aan poin-poin apa saja yang seharusnya diatur dala RUU ini?

Aan: Saya rasa RUU itu menghapus poin-poin yang mengancam pluralisme yang ada di negara ini. Sederhananya, poin yang harus dieliminasi adalah pasal yang ingin menyeragamkan, menstandarisasi atas apa yang harus dipakai dan tidak boleh dipakai oleh bangsa Indonesia.

Mod: Jadi isinya apa dong RUU tadi?

Aan: Mungkin lebih mengatur soal distribusi barang-barang yang masuk dalam kategori pornografi. Tapi sebenarnya upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah optimalisasi UU yang sudah ada, UU Pers, Perfilman, Penyiaran dan KUHP. Itu sudah jelas diatur mengenai pornografi. Argumen kontranya kan biasanya, menganggap UU tersebut sudah tidak memadai lagi. Lho saya balik bertanya, yang salah itu contentnya atau law enforcer-nya? Jadi kalau mau benahi yang disitu. Bagi saya yang harus kita dorong adalah aparat penegak hukumnya agar bersungguh-sungguh menjalankan UU.

Mod: Jadi itu artinya RUU ini nggak perlu ada?

Aan: Kalau mau jawab secara radikal, ya nggak perlu, karena mafsadah (sisi negatifnya,red)-nya lebih besar.Karena yang kita pertaruhkan adalah pluralitas bangsa ini. Pepatah jawa mengatakan mburu uceng kelangan delek (mencari sesuatu yang nilainya jauh lebih kecil dibanding harga yang harus kita bayar). Ini sama dengan kita mau mengusir tikus di lumbung padi kita dengan bom. Tikusnya mungkin mati tapi kita akan kehilangan padi kita karena habis kena bom. Jadi usulam bom itu agak nggak masuk akal, saya kira.

Mod: Gimana pak Kholiq semakin panas diskusinya pagi ini.

MUI: (terdiam sejenak) Setelah melihat pro kontra ini saya melihat pengesahan ini akan diulur-ulur, sehingga kalau nanti disahkan kita harapkan untuk betul-betul arif bisa mengakomodir yang pro dan kontra, karena kita kembali ke bhinneka tunggal ika.

Mod: Jadi menurut MUI RUU ini harus tetap diterbitkan?

MUI: Tetap diterbitkan, tetapi nggih maaf tetap mengakomodir kedua pendapat tersebut. Jadi nanti sekiranya tidak akan terjadi perpecahan. Ini kan ngeman, jangan sampai kebhinnekaan ini menjadi runyam. Saya sependapat dengan ibu tadi (Iva,red) bahwa perempuan sering menjadi korban. Makanya saya berharap DPR bisa mengakomodir pendapat yang masuk sehingga negara indonesia bisa menjadi sebuah negara yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur, negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo. Dijauhkan dari segala macam mara bahaya.

Mod: Jafi menurut MUI apa yang harus ada dalam RUU itu?

MUI: Jadi saya pikir tadi sudah dijelaskan oleh Pak Aan tadi. Intinya yang pro dan kontra RUU ini sepakat kita sikat. Sama-2 ada titik temunya disitu. Bahkan saya sependapat, definisi porno itu apa sih? Kadang-2, maaf, secara pribadi, mungkin juga paK Aan juga ya, kalau melihat wanita walaupun disitu toh sudah tertutup rapat, pake jilab, tapi maaf pakaiannya ketat sehingga menimbulkan syahwat. Saya membaca beberapa definisi porno itu juga nggak jelas juga.Yang penting bagaimana kebhinekaan itu harus tetap kita jaga. Kata Rhoma Irama, 135 juta penduduk Indonesia, terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia. Ada Sunda, Jawa, Bali, Madura, Papua, Irian Jaya, dan banyak lagi yang lainnya. Bhinneka Tunggal Ika awal negara kita Indonesia.

Aan : wah jarang ini pak kiyai yang bisa lagu ini ha...ha...

MUI: Intinya kalau pun tetap akan disahkan, tolong yang diatas, DPR RI, harus benar-benar arif (pak kholik memberikan intonasi yang cukup tinggi pada kata terakhir tadi, red) dan bijaksana.

Iva: Saya juga mau tambahkan, bukan hanya laki-laki saja yang menjadi warga negara tapi juga perempuan. Yang ingin saya tambahkan, kekerasan dan anarkis seringkali dilakukan oleh kelompok pro APP terhadap kelompok kontra, bahkan kadang-2 mereka tidak mengetahui kenapa mereka harus pro ataupun kontra. Pendidikan kepada masyarakat terkait isu sangat kurang.

Mod: Ya nampaknya waktu kita juga mepet. Terakhir apa iniharapannya terhadap RUU ini?

MUI: Harapan kami tidak lepas dari ayat alqur'an. Disana Alloh swt sudah menggariskan, audzubillahi minasy syaithonirrojim bismillahirrohmanirrohim Inna kholaqnakum min dzakin wa untsa wa ja'alnaakum syu'uban wa qobaaila li ta'arofu Inna akromakum indallohi atqokum. Alloh menciptakan manusia laki-2 dan perempuan, bersuku-suku, berbangsa-2, adat istiadatnya juga berbeda. Tetapi disana diwadahi dalam bentuk negara. Mudah-mudahan negara yang baldatun thoyyibatu wa robbun ghofur.

Mod: Kalau mas Aan, sebagai kubu yang kontra?

Aan: Kalau isi RUU masih seperti ini, ya kita akan tolak karena ini akan mencederai dan membahayakan pluralitas, dan berpotensi terhadap disintegrasi bangsa. Itu poin pertama. Kedua, saya sepakat dengan pak Kholiq tadi bahwa ke depan Indonesia harus menjadi negara yang baldatun thoyyibatu wa robbun ghofur. Dalam bayangan saya, kondisi negara itu (baldatun thoyyibatu wa robbun ghofur,red) ditandai dengan tidak adanya diskriminasi terhadap entnis, agama, jenis kelamin dan lain-lain. Yang ketiga, pencegahan pornografi itu sudah cukup dengan mengoptimalkan UU yang sudah ada. Jika harus ada UU baru, itu mungkin secara spesifik hanya mengatur tentang distribusi barang-2 yang masuk dalam kategori pornografi, agar tidak bisa diakses secara sembarang oleh individu yang menurut hukum tidak diperbolehkan.

Mod: Kalau dari WCC sendiri?

Iva: Kalau bicara soal moralitas bangsa, dalam konteks global saya kira jauh lebih penting membicarakan moralitas apa yang harus dibangun oleh bangsa ini ketimbang mengurusi bagaimana cara perempuan itu berpakaian. Terimakasih

Mod: Baik. Terimakasih atas kehadirannya di studio SJ FM.

Wanita, Perempuan, Betina

Betina, Wanita, Perempuan:
Telaah Semantik Leksikal,
Semantik Historis, Pragmatik
Sudarwati
D. Jupriono
Marilah Kita Dudukkan Masalahnya
Perbedaan makna kata betina dengan wanita atau betina dengan perempuan itu sudah jelas bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan perempuan ini yang belum jelas! Telaah ini memang mencoba mendudukkan posisi tiap kata, kapan orang harus menggunakannya sesuai dengan kandungan semantisnya dan maksud yang diinginkan. Dengan demikian, diharapkan segera bisa dijawab saat harus memilih manakah yang tepat: "Darma Wanita" ataukah "Darma Perempuan", "Pemberdayaan Perempuan" ataukah "Pemberdayaan Wanita", misalnya.
Telaah dilakukan berdasarkan arti kata leksikal dasarnya, menurut kamus (semantik leksikal) (cf. Hurford dan Heasley, 1984). Lalu, penjelajahan arti akan dilengkapi dengan memanfaatkan beberapa hasil penelitian yang ada, terutama tentang sejarah perubahan makna kata (semantik historis) (Palmer, 1986: 8-11). Kajian ini juga akan melihat bagaimana arti kata dalam pemakaian (pragmatik). Data dijaring dengan teknik dokumentasi acak dari kamus dan teknik studi pustaka terhadap tulisan yang relatif lama serta teknik rekaman tuturan keseharian. Dengan metode deskriptif, data akan dianalisis dengan teknik eksplanatori-komparatif, yang akan menjelasan perbandingan arti kata antarwaktu.
Apa Arti Betina?
Kata betina diduga kuat berhubungan dengan kata batina dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) ("Kamus Jawa Kuno Indonesia", Mardiwarsito, 1986). Bahasa Kawi sendiri kemungkinan besar menyerapnya dari bahasa Sanskrit (Sanskerta). Relasi fonis batina dengan betina beranalogi dengan relasi fonis mahardika-mardika-merdeka 'bebas'. Mungkin ini juga analog dengan saksama-seksama (?).
Menurut "Kamus Dewan" (KD) (Iskandar, 1970: 114), kata betina merupakan antonim jantan. Dalam pemakaiannya, betina cocok dilekatkan sebagai pemarkah jenis (gender) binatang atau benda yang tidak hidup. Misalnya dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita temui ayam betina, singa betina, bunga betina, dan embun betina.
Tidak jauh berbeda dengan KD, "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) (Tim, 1988: 111) menambahi satu makna lagi untuk betina, yakni 'sanak keponakan dari istri'. Ada dua hal yang dapat dicatat dari tambahan acuan di sini. Pertama, istilah "sanak keponakan" menunjukkan posisi generasi lebih muda. Sebagai yang lebih muda, tentu dia tetap berada di bawah generasi lebih tua. Kedua, pernyataan "dari istri" berarti bahwa yang dipandang bawah, yunior, itu karena istri, dan istri selalu perempuan! Oleh karena itu, ini juga menyiratkan muatan semantis bahwa apa yang datang dari istri (bukan suami) akan ditempatkan di bawah suami.
Sebagai nama jenis kelamin binatang, betina tidak mengundang persoalan; netral saja. Tidak ada muatan nuansa apa pun. Bagaimana seandainya kata ini dipakai untuk manusia? Ini baru masalah! Jika dikaitkan dengan aktivitas, keberadaan, dan sifat manusia, artinya menjadi tidak netral lagi. Peribahasa Melayu "Baik jadi ayam betina sepaya selamat" (Iskandar, 1970: 114), misalnya, berarti 'kita tak usah menonjolkan keberanian sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka'; dengan kata lain, 'sebaiknya kita diam, tak usah macam-macam, hindarilah tantangan'. Dengan demikian "bersikap betina" justru dinilai positif dalam pandangan lama.
Bisa dimengerti, sebagai peribahasa Melayu Kuno, kandungan nilai peribahasa ini juga tradisional, konvensioanl, dan feodal. Dalam pandangan tradisional, sikap individualistik mesti dihindari (cf. Dananjaya, 1984). Ini jelas bertolak belakang dengan pandangan modern, yang menempatkan eksistensi individu pada tempat yang diakui. Oleh karena itu, penonjolan individu tidak selalu jelek, bergantung pada konteks kepentingannya.
Dalam pemakaiannya sekarang, kata betina yang dikenakan pada manusia akan menemukan makna buruk. Misalnya pada wacana berikut:
(1) Kamu ini kok cerewet banget sih. Urus saja diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala. Dasar betina!
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.
Dalam wacana (1), kalimat "Dasar betina" bermakna negatif: 'cerewet, usil, mau tahu urusan orang saja'. Dalam kalimat (2), pernyataan "benar-benar betina", berdasarnya konteks kalimatnya, berarti "minor" juga: 'nympomania'. Di sini Winda digambarkan sebagai perempuan yang bernafsu menggebu-gebu, selingkuh dengan lelaki lain. Pada konteks inilah betina menemukan makna buruknya. Harus diakui bahwa semua pandangan ini tidak pernah bebas dari stereotipe gender perempuan dari masyarakat kita (Kweldju, 1993). Maka, dalam kondisi apa pun tak pernah ada yang senang disebut betina. Dengan demikian, yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan Bukan Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan "*Darma Betina" atau pun "*Bukan Betina Biasa".
Singkat kata, kata betina memuat makna (1) 'jenis kelamin binatang', (2) 'cerewet, usil, dan (3) 'haus seks', serta (4) 'generasi yunior dari garis istri'.
Apa Arti Wanita?
Sejarah kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh ini paradoksal. Sebab, jika wanita berupakan bentuk halus, mengapa ada kata genit-nya, sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga menyiratkan pandangan bahwa kata itu memang khas untuk manusia (perempuan), bukan lelaki, binatang, demit, ataukah benda lain.
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007), wanita berarti 'perempuan dewasa'. Sama seperti halnya KD, meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai "yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita, keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal, tak ada dalam arti kata ini.
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang dinginkan' dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang diinginkan pria'. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang "lawan mainnya", ya pria itu. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka. Adakah yang lebih rendah dari "hanya menjadi objek"?
Makna wanita sebagai 'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana dalam "Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif.
Ada juga pandangan lain, yang cukup "menyakitkan", yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut gejala bahasa) metatesis2) dan proses perubahan kontoid3) dari kata betina. Urutan prosesnya demikian. Mula-mula kata betina menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari [b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Mungkin karena itulah, organisasi "Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi "Iwak-e Papi-papi", "Dagingnya bapak-bapak" atau "Lauknya Bapak-bapak" seakan wanita itu tak lebih dari "daging" atau "lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja "Korps Polisi Wanita" (Polwan, 1948), "Korps Wanita Angkatan Darat" (Kowad, 1961), "Korps Wanita Angkatan Laut" (Kowal, 1962), "Korps Wanita Angkatan Udara" (Wara, 1963). Meskipun begitu, pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam tubuh ABRI pun masih terjadi. Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam bentuk ungkapan humor di masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang komandan serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur khusus serdadu wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan. Serdadu-serdadu wanita, yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer, memprotes ramai-ramai. "Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini tidak adil!" Jawab Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi komando ? 'tiaraaap ...', ee kamu malah terlentang."
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di di bawah gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejang gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dalam persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia "dipakai" salah satu barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta, senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi (tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.> > Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Apa Arti Perempuan?
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).
Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam pembangunan.
Dalam KD (1970: 853), kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' . Menurut KD, ada kata raja perempuan yang berarti 'permaisuri'. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti 'perihal perempuan', maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai 'penunggu rumah'.
KBBI (1988: 670) memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan sedikit, tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan juga berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga diri'.
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!! Ya. Jelasnya begini.
a.. Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
b.. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
c.. Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'. > Prof. Slametmuljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan' atau 'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka, ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami."
Itulah sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh. Menarik untuk dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI adalah "Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita. Sementara itu, jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi "Kajian Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi Perempuan".
Dari sudut sejarah pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan kontribusi historisnya. Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan tanding lelaki" ini dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama, yang berlangsung pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam Kongres I ini disepakati bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan adalah membentuk "Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI). Bahwa dalam perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI, BMOIWI, Ikwandep perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak historis lingual bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan "perempuan", sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri, melainkan perempuan penurut. (Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah lebih dari setengah abad kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai persamaan derajat, seperti> impian Kongres I).
Sejak kemerdekaan, seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah (di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).> > Perempuan Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu sesuatu yang bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita tak lagi mempersoalkan perbedaan istilah wanita, perempuan, betina, atau pun ibu, bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu secara global saja. Dahulu kaum ibu dikatakan sebagai "tiang masyarakat", diluhurkan sebagai "ratu kehidupan", dan dimitoskan sebagai "danyang kesuburan alam semesta", serta disembah-sembah ? sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman sekarang kaum ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama berhubungan dengan kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas seorang ibu, bukan bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila terjadi kericuhan keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing hitam. "Ini gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau kamu mendidiknya benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata ayah. Dahulu, nasib ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok perkara. Dia sangat dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak awal kehidupan manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah, manusia di bumi ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu akan dibela, sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda mengandung" dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili" atau "*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa mengandung itu lebih bernilai tinggi> daripada menghamili (Kweldju, 1991). Karena yang mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan di masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh nilai dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok, keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai "sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun "garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur dowo" (terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan porno dan pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah dari barisan pria.> > Tidak hanya persepsi kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat terhormat. Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan ini, yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka, menurut pandangan ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru ayah. Mungkin karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah mendengar pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah paling Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya, disebut "Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib, 1996). Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
Perempuan Indonesia, Akan ke Manakah Anda?
Di sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja". Setuju?
Bisa dipastikan siapa pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan daripada pada wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat mana pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?
Catatan
a.. Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini yang dinomorsatukan adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami tercinta. Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki nomor bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa di luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah tempat tepat wanita. Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu,> "Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an. Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42. > b.. Metatesis adalah gejala perubahan (pertukararn) letak huruf, bunyi, atau sukukata dalam suatu kata (Kridalaksana, 1993:136). Misalnya rontal menjadi lontar, sapu<-->usap; dalam bahasa Jawa misalnya kelek<-->lekek 'ketiak'. Dalam bahasa Inggris ada flim<-->film, brid<-->bird (Jack Richards, John Platt, dan Heidi Weber, 1987: 176), aks<-->ask (Crystal, 1985: 194). > c.. Proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dalam bahasa-bahasa di Nusantara dirumuskan dalam hukum-hukum perubahan bunyi. Salah satunya adalah perubahan [w] dalam bahasa Jawa atau Jawa Kuno menjadi [b] dalam bahasa Melayu (Indonesia) (Slametmulyana, 1964; Wojowasito, 1965; Keraf, 1987). Misalnya awu-->abu, watuk-->batuk, sewelas-->sebelas, wulan-->bulan. > d.. Raja, sultan, adipati, bangsawan, pada zaman dahulu umumnya memiliki banyak istri dan selir. Misalnya, Paku Buana IV (Surakarta) mengumpuli 25 istri dan selir; Hamengku Buwono II (Ngayogyakarta Hadiningrat) menyimpan 33 istri dan selir. Tujuan memiliki banyak wanita adalah menghindari kejahatan seksual dan mencapai konsolidasi kekuasaan politik untuk mengesankan bahwa pemimpin itu lelaki luar biasa sakti mandraguna (super human). Periksa: G. Moedjanto, "Selir", Basis, Januari 1973; juga Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987). > e.. Tentang konsep degradasi harkat martabat gender feminin, baca: D. Jupriono, "Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki", FSU in the Limelight edisi nomor ini juga. > f.. Lih. Ruth Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42. Dalam artikelnya, dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus berjalan hingga mencapai puncaknya pada 1965. Sejak itu berlakulah proses domestifikasi (pe-rumah-an) "perempuan" di segala bidang, menjadi "wanita". Tetapi, bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai organisasi "keras" perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). > g.. Pelesetan itu demikian. "Surga ada di bawah kaki ibu", katanya, "berlaku bagi seorang anak". Bagi seorang ayah, lain lagi, yaitu "Surga itu ada di antara kedua kaki ibu"; "Ooo ... itu sih nerakanya. Setannya ya kita-kita ini. Ha ha ha ...". Bahwa itu hanya kelakar, itu jelas. Tetapi, di sisi lain, ini mungkin saja juga karena tidak tahu (menyadari) bahwa yang mereka pelesetkan adalah sabda Rasul.
Daftar Pustaka
Buchori, B. & I. Soenarto. 1996. ngenal Dharma Wanita. Hal. 172-193. Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia.
Hurford, J.R. 1984. Semantics: a Coursebook. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Iskandar, T. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran.
Kweldju, S. 1983. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4(1), 7-18.
Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Cet. III. Ende: Nusa Indah.
Nadjib, E.A. 1966. Ibu Qur'an, bukan Bapak Qur'an. Padang Mbulan, 2, April: 29-38.
Noerhadi, T. 1991. Studi Wanita di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Wanita 11--13 Juni 1991, di Wisma Kinasih, Bogor.
Palmer, F.R. 1986. Semantics. Edisi II, Cet. V. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahayu, R.I. 1996. Politik gender Orde Baru: tinjauan organisasi perempuan sejak 1980-an. Prisma 15(5), Mei: 29-42.
Richards, J., J. Platt, dan H. Weber. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Cet. II. Harlow: Longman Group UK Limited.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suryochondro, S. 1996. Perkembangan gerakan wanita di Indonesia. Hal. 290-310. Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka dan Depdikbud.
Wojowasito, S. 1965. Linguistik: Sedjarah Ilmu (Perbandingan) Bahasa. Djakarta: Gunung Agung.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese--English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
________________
Sudarwati, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
D. Jupriono, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.